Krisis Qatar dan Efek Al-Jazeera

Jum'at, 16 Juni 2017 - 09:11 WIB
Krisis Qatar dan Efek...
Krisis Qatar dan Efek Al-Jazeera
A A A
Muhammad Takdir
Alumni Geneva Centre for Security Policy (GCSP), Swiss

SETELAH krisis hubungan diplomatik menerpa Qatar dan Arab Saudi pada 2002 dan 2014, krisis Qatar menyeruak kembali di tengah kemunculan dan kobaran beberapa titik ketegangan di Timur Tengah.

Arab Saudi bersama Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, Libya, Yaman, dan Maladewa mendadak memutuskan hubungan diplomatik secara unilateral.

Di antara banyak kausalitas menarik, faktor Al-Jazeera tampaknya menjadi salah satu sorotan yang saya kira perlu dicermati karena kini menjadi bayangan laten yang menghantui hubungan Qatar dengan negara-negara lain di Teluk. Doha dianggap memelihara hostile media yang dianggap kerap "menyulitkan" monarki Saudi, UEA, dan Bahrain.

Saluran Perubahan

Al-Jazeera adalah metamorfosis glasnost-perestroika versi Arab yang bibitnya disemai pada paruh kedua dasawarsa 1990-an.

Jika CNN dahulu primadona war broadcasting di medan tempur Perang Teluk I ketika Irak menginvasi Kuwait pada Agustus 1990, Al-Jazeera adalah etalase live coverage yang berhasil memotret petualangan militer AS di Afghanistan dan Irak.

Al-Jazeera telah menyajikan langsung ke ruang-ruang keluarga siaran invasi AS ke Irak dalam Perang Teluk II pada 2003 yang menempatkan namanya sebagai alternatif lebih objektif dan kritis daripada CNN .

Komunitas Arab di Teluk dapat menyaksikan langsung drama konflik di kawasan mereka dengan lensa sendiri, Al-Jazeera.

Televisi kabel pemberitaan yang bermarkas di Doha itu perlahan menggeser CNN, BBC, RT atau MSNBC serta mengambil tempat sangat penting dalam perjalanan berbagai serpihan konflik di Timur Tengah. Saat ini tiga media paling berpengaruh di kawasan ini adalah Al-Jazeera, Al-Arabiya, dan Abu Dhabi TV .

Ketika Al-Jazeera yang didirikan pada 1996 menjadi satu-satunya satellite broadcaster yang masuk ke Afghanistan dan memperoleh izin Taliban melakukan liputan, persepsi publik mulai kritis dan banyak reservasi terhadap aksi-aksi militer AS di kawasan.

Hal ini memberikan pengaruh besar terhadap menguatnya pandangan negatif invasi AS ke Irak tahun 2003 serta "penyesalan" publik terhadap sikap apatis dan skeptis negara-negara Arab di tengah situasi yang dihadapi.

Kolumnis New York Times Thomas Friedman bahkan menyebut Al-Jazeera tidak hanya fenomena media terbesar sejak televisi ditemukan pertama kali, melainkan juga fenomena politik terbesar yang menghantam dunia Arab.

Transformasi branding Al-Jazeera dari alleged terrorist mouthpiece menjadi sumber informasi yang kredibel dan bereputasi tinggi telah membuat penerimaan publik Timur Tengah terhadap jejaring media milik Pemerintah Qatar ini sebagai media darling dan pembawa aspirasi the hidden voice.

Sebuah transisi yang mengilhami gerakan perubahan lebih masif di Timur Tengah dan menjadikan Al-Jazeera sebagai salah satu cable carriage yang mendorong gelombang Arab Spring di Afrika Utara dan Jazirah Arab.

Jejaring Kritis

Selama lebih dari dua dasawarsa, Al-Jazeera berkembang sebagai jejaring media yang sangat kritis terhadap rezim-rezim pemerintahan di Arab daripada terhadap AS atau Eropa.

Al-Jazeera dikenal aktif menyiarkan reportase tentang dinamika politik dan keamanan di kawasan yang sebagian besar memiliki nuansa korektif terhadap eksistensi dan prospek masa depan demokrasi rezim monarki di Arab.

Selain itu, dengan sudut pandang yang berani dan objektif, Al-Jazeera mengupas kepemimpinan orang-orang seperti Muammar Gaddafi, Zine el-Abidine ben Ali, Husni Mubarak atau Bashar al-Assad jauh sebelum Arab Spring atau junta militer Al-Sisi selepas kemunculan uprising di Mesir.

Harus diakui bahwa peran Al-Jazeera telah mengilhami gelombang Arab Spring yang kemudian banyak dikenal sebagai Al-Jazeera effect . Kebangkitan jejaring mendia ini menandai munculnya pengaruh the diverse and different voice di Timur Tengah.

Fenomena yang dibawa Al-Jazeera di negara-negara Teluk membantu mereformulasi identitas politik, jaringan, afiliasi maupun kecenderungan gerakan politik di kawasan, baik dalam konteks pergumulan internal maupun eksternal kawasan.

Mesir, Libya, Bahrain, Tunisia, Suriah, dan Yaman merupakan hasil inkubasi exercise perubahan penetrasi informasi dan pemberitaan yang sebagian besar belum happy ending karena kompleksitas kepentingan proksi.

Pengakuan terhadap peran dan kontribusi krusial itu turut diberikan oleh Presiden AS Barrack Obama pada 2011 ketika dalam satu pertemuan dengan kelompok donor Partai Demokrat menyebut Al-Jazeera sebagai force for democracy di Timur Tengah. Obama berkata, "Reform, reform, reform-you are seeing it on Al-Jazeera.

"Mungkin peran ini yang tidak terlalu disukai sebagian besar negara monarki di Teluk dan berakibat situasi yang kini dihadapi Qatar meskipun pemerintahan Doha sendiri juga bertumpu pada kekuasaan monarki.

Sebagai media cable carriage , Al-Jazeera memang tidak sama dengan televisi satelit berita lainnya yang menempatkan banyak koresponden luar negerinya di Eropa atau Amerika Utara.

Sikap kritis Al-Jazeera membuatnya memilih mengonsentrasikan korespondennya di Timur Tengah untuk mengupas lebih banyak isu-isu ipoleksosbud-hankam di kawasan melalui berbagai program reportase maupun in-depth documentary yang dijalankan para anchor asing di Al-Jazeera .

Satu hal yang mungkin paling dikhawatirkan sebagian besar negara-negara di Teluk dari gigantisme Al-Jazeera dalam pemberitaan adalah terbentuknya komunitas regional di Timur Tengah yang sinis terhadap masa depan kekuasaan monarki ataupun pemerintah yang less-democratic di kawasan.

Meskipun demikian, pemberitaan pemutusan hubungan diplomatik Saudi bersama 6 negara dari Qatar sejauh ini memang masih didominasi alasan tuduhan harboring teroris maupun para aktivis garis keras di Timur Tengah oleh Doha.

Bagi Qatar sendiri, situasi terkini yang dihadapinya adalah konsekuensi dari perubahan yang diyakini akan terus disuarakan lebih baik oleh Al-Jazeera sehingga dalam kondisi pilihan melindungi cable (saluran) perubahan dengan risiko trouble (kesusahan) pembaruan, Doha pasti akan menyadari keduanya sebagai opsi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (twitter@emteaedhir).
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8391 seconds (0.1#10.140)