Jaksa Kembali Ditangkap, Pengawasan Internal Kejagung Dipertanyakan
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap jaksa, Jumat (9/6/2017) dini hari. Kali ini jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu.
Penangkapan kembali jaksa oleh KPK menunjukkan pengawasan internal di lembaga kejaksaan masih lemah. "Ini juga menyiratkan bahwa pembinaan dan pengawasan harus lebih ditingkatkan," kata Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil kepada wartawan, Jumat (9/6/2017). (Baca juga: Dengar Jaksa Kena OTT, Jaksa Agung Langsung Telepon KPK )
Dia mengakui ada sejumlah faktor yang memicu perilaku buruk jaksa. "Selain godaan materi yang sulit untuk ditepis, anggaran penanganan perkara juga masih jauh dari cukup," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Terkait penanganan kasus pidana umum, kata dia, anggaran yang disediakan oleh negara hanya mampu membiayai 30 persen perkara yang ditangani kejaksaan. "Kondisi tentu berdampak terhadap akuntabilitas dan integritas personel di kejaksaan," ucapnya.
Kâe depan, lanjut dia, negara dituntut untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk Kejaksaan. "Diharapkan kejaksaan juga mampu merencanakan anggarannya sehingga daya serapnya bisa mencapai 100 persen," kata Nasir.
Penangkapan terhadap jaksa terkait kasus korupsi bukan kali pertama. Pada April 2016, dua oknum jaksa di Kejati Jawa Barat juga ditangkap KPK terkait perkara suap penanganan kasus di Sumedang.
Kemudian, Jaksa Ahmad Fauzi dari Kejati Jawa Timur terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus suap pembelian tanah di Sumenep. ââ
Penangkapan kembali jaksa oleh KPK menunjukkan pengawasan internal di lembaga kejaksaan masih lemah. "Ini juga menyiratkan bahwa pembinaan dan pengawasan harus lebih ditingkatkan," kata Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil kepada wartawan, Jumat (9/6/2017). (Baca juga: Dengar Jaksa Kena OTT, Jaksa Agung Langsung Telepon KPK )
Dia mengakui ada sejumlah faktor yang memicu perilaku buruk jaksa. "Selain godaan materi yang sulit untuk ditepis, anggaran penanganan perkara juga masih jauh dari cukup," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.
Terkait penanganan kasus pidana umum, kata dia, anggaran yang disediakan oleh negara hanya mampu membiayai 30 persen perkara yang ditangani kejaksaan. "Kondisi tentu berdampak terhadap akuntabilitas dan integritas personel di kejaksaan," ucapnya.
Kâe depan, lanjut dia, negara dituntut untuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar untuk Kejaksaan. "Diharapkan kejaksaan juga mampu merencanakan anggarannya sehingga daya serapnya bisa mencapai 100 persen," kata Nasir.
Penangkapan terhadap jaksa terkait kasus korupsi bukan kali pertama. Pada April 2016, dua oknum jaksa di Kejati Jawa Barat juga ditangkap KPK terkait perkara suap penanganan kasus di Sumedang.
Kemudian, Jaksa Ahmad Fauzi dari Kejati Jawa Timur terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus suap pembelian tanah di Sumenep. ââ
(dam)