Siaran Agama dan Industrialisasi Televisi
A
A
A
Yuliandre Darwis, PhD
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Universitas Andalas (Unand)
PADA bulan Ramadan perbincangan tentang fenomena siaran keagamaan di stasiun televisi selalu menarik disimak. Sejumlah pemikiran berkembang untuk menjelaskan fenomena tersebut.
Ketika konten agama disiarkan di televisi tentu memiliki relasi kepentingan dengan hukum industri media. Ini jelas tidak dapat dihindari. Hubungan agama dan televisi di Indonesia begitu erat sekali, apalagi pada saat bulan puasa seperti sekarang ini.
Mengapa fenomena seperti itu kerap kali hadir di layar kaca televisi kita? Seberapa besar pengaruh konten keagamaan disajikan TV terhadap tingkat keimanan dan akhlak pemirsa? Apakah dengan maraknya tayangan keagamaan di televisi perubahan yang lebih baik akan terjadi di bangsa ini?
Sesungguhnya televisi hadir di tengah masyarakat bukan hanya tuntutan kebutuhan akan informasi publik. Akan tetapi, televisi hadir karena suatu peradaban masyarakat modern.
Dalam artian fenomena itu merupakan dampak dari budaya pasar dan budaya pop yang berkembang cukup masif di berbagai penjuru dunia, termasuk mendera negeri ini.
Dengan kata lain, kondisi tersebut mencerminkan realitas budaya pop (pop culture) ditampilkan melalui siaran televisi. Apa sesungguhnya budaya pop itu? Budaya pop menurut Dominic Strinati adalah budaya yang secara praktis diaktualisasikan masyarakat secara masif.
Ini artinya tayangan yang dihadirkan dengan beraroma agama yang kental, termasuk pada bulan-bulan tertentu, merupakan wujud dari fenomena budaya pop.
Sejumlah program keagamaan seperti ceramah atau tausiyah, dialog keagamaan, iklan, tayangan sejarah suatu agama hingga sinetron dapat dikaitkan dengan budaya pop media. Begitu pun dalam format yang disajikan dalam bentuk berita agama.
Informasi seputar kegiatan keagamaan diekspose meskipun kadang tidak utuh yang ditampilkan. Siaran hiburan berupa lawak tidak mau kalah menyentil soal agama dalam dialog atau interaksi antarartis dengan menggunakan berbagai komunikasi simbolis serta identitas agama tertentu.
Agama menjadi komoditi para pelawak dengan berbagai joke mereka tampilkan, meski tidak jarang mereduksi dan bahkan mengaburkan esensi ajaran agama.
Bahkan, program menelusuri jejak kebudayaan agama yang terdapat di dalam maupun luar negeri disiarkan televisi pada jam-jam khusus sehingga menjadi daya tarik bagi pemirsa di rumah.
Menyingkap Religiotainment
Realitas tersebut satu sisi kita patut berucap terima kasih kepada lembaga penyiaran dan pekerja media (baca: televisi) yang menyajikan informasi seputar keagamaan. Sebab, ada juga program tayangan keagamaan diapresiasi publik.
Sebagai contoh program acara terbaik Ramadan 2015 versi KPI: Hafidz Indonesia (RCTI), Muslim Traveler (Net.TV), Para Pencari Tuhan Jilid 9 (SCTV), Kupenuhi Panggilanmu (RTV). Apresiasi Program Ramadan 2015: Aksi Junior (Talent Show-Indosiar), Hafizh Quran 2015 (Talent Show-Trans 7), Di Bawah Lindungan Abah (Trans TV), Cahaya Hati Ramadan (antv), Fatwa (TVRI), Hijab Stories Spesial Ramadan (TV One), Ngabuburit ke Pesantren Bareng Opick (MNC TV), Inspirasi Hari Ini (iNews), Cerita Hati Ramadan (Kompas TV), Tafsir Al Mishbah (Metro TV), Rindu Suara Adzan (Global TV).
Tayangan keagamaan masih sangat dibutuhkan publik dibandingkan sinetron atau infotainment yang banyak mengumbar sisi negatif kehidupan sosial. Kisah hidup yang menggunjing orang lain atau ghibah, mengumbar aib dan fitnah sering kali dijadikan komoditi yang menggiurkan dalam program televisi.
Menurut penulis, memang muatan siaran agama dalam televisi masih perlu mendapat porsi lebih. Hanya, perlu berhati-hati jangan sampai nilai-nilai agama yang esensi mengalami desakralisasi hanya karena praktik industrialisasi televisi yang mengejar kepentingan ekonomi belaka. Siaran agama sebatas hiburan belaka yang kering makna.
Muzakki (2003) mengungkapkan dengan terminologi religiotainment, yaitu ketika agama menyatu dengan budaya populer, maka hasilnya adalah religi yang dikemas dalam bentuk hiburan. Sementara substansi nilai-nilai agama kurang mendapat porsi secara dominan.
Tayangan keagamaan yang ditampilkan televisi pada titik tertentu kurang dilandasi dengan basis pengetahuan agama yang kuat dan kaffah maka yang terjadi kemudian bukan tidak mungkin adanya bias, distorsi, bahkan reduksi terhadap ajaran agama.
Agama dipahami sebatas simbol dan ritual belaka. Akibatnya, tayangan agama di televisi kurang dapat memberikan pengaruh positif yang besar terhadap tingkat keimanan manusia dan perubahan sosial yang lebih berarti.
Spiritualitas agama menjadi kering dan hampa. Ajaran agama dimaknai dan dimengerti dalam bahasa simbol-simbol yang mengalami kedangkalan pesan agama yang hakiki. Siaran industrialisasi agama bukan tidak mungkin mendangkalkan agama karena kajian dibatasi waktu dan durasi sehingga ada kesan sajian agama ala kadarnya. Yang penting tayang urusan dianggap selesai.
Pemahamannya tidak seperti itu sesungguhnya. Makna-makna yang lebih fundamental terhadap ajaran agama dalam konteks spiritual, ritual, kultural, sosial, dimensi kemanusiaan/toleransi, menjaga kebhinekaan, semangat kebersamaan tidak tampak dominan dalam program keagamaan televisi.
Siaran hiburan keagamaan justru menyulap agama pada definisi maupun idiom-idiom yang kadang penuh dengan bias. Untuk itu upaya menyaring sajian dakwahtainment televisi adalah langkah penting agar masyarakat tidak keliru memahami tayangan agama.
Publik mesti kritis terhadap tayangan televisi dengan menjadi pemirsa cerdas dan melek terhadap informasi media yang menjadikan agama an sich sebagai komoditi pasar atau sebagai orientasi bisnis.
Televisi sebagai produk kebudayaan merupakan industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif-imperatif komersial sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta massifikasi (Kellner, 1995).
Artinya, mengubah semua jenis barang dan tontonan menjadi sekadar sebagai entitas dagangan yang memang diarahkan untuk tujuan-tujuan komersialisme. Namun, apakah hanya karena motif ekonomi substansi ajaran agama diabaikan? Saya kira tidak. Pesan-pesan agama yang esensi, penuh kebaikan dan kebenaran seharusnya diletakkan di atas kepentingan apa pun termasuk orientasi ekonomi industri media.
Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat/Dosen Komunikasi FISIP Universitas Andalas (Unand)
PADA bulan Ramadan perbincangan tentang fenomena siaran keagamaan di stasiun televisi selalu menarik disimak. Sejumlah pemikiran berkembang untuk menjelaskan fenomena tersebut.
Ketika konten agama disiarkan di televisi tentu memiliki relasi kepentingan dengan hukum industri media. Ini jelas tidak dapat dihindari. Hubungan agama dan televisi di Indonesia begitu erat sekali, apalagi pada saat bulan puasa seperti sekarang ini.
Mengapa fenomena seperti itu kerap kali hadir di layar kaca televisi kita? Seberapa besar pengaruh konten keagamaan disajikan TV terhadap tingkat keimanan dan akhlak pemirsa? Apakah dengan maraknya tayangan keagamaan di televisi perubahan yang lebih baik akan terjadi di bangsa ini?
Sesungguhnya televisi hadir di tengah masyarakat bukan hanya tuntutan kebutuhan akan informasi publik. Akan tetapi, televisi hadir karena suatu peradaban masyarakat modern.
Dalam artian fenomena itu merupakan dampak dari budaya pasar dan budaya pop yang berkembang cukup masif di berbagai penjuru dunia, termasuk mendera negeri ini.
Dengan kata lain, kondisi tersebut mencerminkan realitas budaya pop (pop culture) ditampilkan melalui siaran televisi. Apa sesungguhnya budaya pop itu? Budaya pop menurut Dominic Strinati adalah budaya yang secara praktis diaktualisasikan masyarakat secara masif.
Ini artinya tayangan yang dihadirkan dengan beraroma agama yang kental, termasuk pada bulan-bulan tertentu, merupakan wujud dari fenomena budaya pop.
Sejumlah program keagamaan seperti ceramah atau tausiyah, dialog keagamaan, iklan, tayangan sejarah suatu agama hingga sinetron dapat dikaitkan dengan budaya pop media. Begitu pun dalam format yang disajikan dalam bentuk berita agama.
Informasi seputar kegiatan keagamaan diekspose meskipun kadang tidak utuh yang ditampilkan. Siaran hiburan berupa lawak tidak mau kalah menyentil soal agama dalam dialog atau interaksi antarartis dengan menggunakan berbagai komunikasi simbolis serta identitas agama tertentu.
Agama menjadi komoditi para pelawak dengan berbagai joke mereka tampilkan, meski tidak jarang mereduksi dan bahkan mengaburkan esensi ajaran agama.
Bahkan, program menelusuri jejak kebudayaan agama yang terdapat di dalam maupun luar negeri disiarkan televisi pada jam-jam khusus sehingga menjadi daya tarik bagi pemirsa di rumah.
Menyingkap Religiotainment
Realitas tersebut satu sisi kita patut berucap terima kasih kepada lembaga penyiaran dan pekerja media (baca: televisi) yang menyajikan informasi seputar keagamaan. Sebab, ada juga program tayangan keagamaan diapresiasi publik.
Sebagai contoh program acara terbaik Ramadan 2015 versi KPI: Hafidz Indonesia (RCTI), Muslim Traveler (Net.TV), Para Pencari Tuhan Jilid 9 (SCTV), Kupenuhi Panggilanmu (RTV). Apresiasi Program Ramadan 2015: Aksi Junior (Talent Show-Indosiar), Hafizh Quran 2015 (Talent Show-Trans 7), Di Bawah Lindungan Abah (Trans TV), Cahaya Hati Ramadan (antv), Fatwa (TVRI), Hijab Stories Spesial Ramadan (TV One), Ngabuburit ke Pesantren Bareng Opick (MNC TV), Inspirasi Hari Ini (iNews), Cerita Hati Ramadan (Kompas TV), Tafsir Al Mishbah (Metro TV), Rindu Suara Adzan (Global TV).
Tayangan keagamaan masih sangat dibutuhkan publik dibandingkan sinetron atau infotainment yang banyak mengumbar sisi negatif kehidupan sosial. Kisah hidup yang menggunjing orang lain atau ghibah, mengumbar aib dan fitnah sering kali dijadikan komoditi yang menggiurkan dalam program televisi.
Menurut penulis, memang muatan siaran agama dalam televisi masih perlu mendapat porsi lebih. Hanya, perlu berhati-hati jangan sampai nilai-nilai agama yang esensi mengalami desakralisasi hanya karena praktik industrialisasi televisi yang mengejar kepentingan ekonomi belaka. Siaran agama sebatas hiburan belaka yang kering makna.
Muzakki (2003) mengungkapkan dengan terminologi religiotainment, yaitu ketika agama menyatu dengan budaya populer, maka hasilnya adalah religi yang dikemas dalam bentuk hiburan. Sementara substansi nilai-nilai agama kurang mendapat porsi secara dominan.
Tayangan keagamaan yang ditampilkan televisi pada titik tertentu kurang dilandasi dengan basis pengetahuan agama yang kuat dan kaffah maka yang terjadi kemudian bukan tidak mungkin adanya bias, distorsi, bahkan reduksi terhadap ajaran agama.
Agama dipahami sebatas simbol dan ritual belaka. Akibatnya, tayangan agama di televisi kurang dapat memberikan pengaruh positif yang besar terhadap tingkat keimanan manusia dan perubahan sosial yang lebih berarti.
Spiritualitas agama menjadi kering dan hampa. Ajaran agama dimaknai dan dimengerti dalam bahasa simbol-simbol yang mengalami kedangkalan pesan agama yang hakiki. Siaran industrialisasi agama bukan tidak mungkin mendangkalkan agama karena kajian dibatasi waktu dan durasi sehingga ada kesan sajian agama ala kadarnya. Yang penting tayang urusan dianggap selesai.
Pemahamannya tidak seperti itu sesungguhnya. Makna-makna yang lebih fundamental terhadap ajaran agama dalam konteks spiritual, ritual, kultural, sosial, dimensi kemanusiaan/toleransi, menjaga kebhinekaan, semangat kebersamaan tidak tampak dominan dalam program keagamaan televisi.
Siaran hiburan keagamaan justru menyulap agama pada definisi maupun idiom-idiom yang kadang penuh dengan bias. Untuk itu upaya menyaring sajian dakwahtainment televisi adalah langkah penting agar masyarakat tidak keliru memahami tayangan agama.
Publik mesti kritis terhadap tayangan televisi dengan menjadi pemirsa cerdas dan melek terhadap informasi media yang menjadikan agama an sich sebagai komoditi pasar atau sebagai orientasi bisnis.
Televisi sebagai produk kebudayaan merupakan industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif-imperatif komersial sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta massifikasi (Kellner, 1995).
Artinya, mengubah semua jenis barang dan tontonan menjadi sekadar sebagai entitas dagangan yang memang diarahkan untuk tujuan-tujuan komersialisme. Namun, apakah hanya karena motif ekonomi substansi ajaran agama diabaikan? Saya kira tidak. Pesan-pesan agama yang esensi, penuh kebaikan dan kebenaran seharusnya diletakkan di atas kepentingan apa pun termasuk orientasi ekonomi industri media.
(dam)