Menimbang Efek Puasa
A
A
A
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
DI berbagai forum diskusi keagamaan sering muncul pertanyaan, mengapa Indonesia yang warganya rajin meramaikan masjid, ibadah umrah, haji, dan puasa Ramadan, masih saja mau melakukan korupsi dan lemah dalam etika sosialnya?
Tulisan ini tidak akan memberi jawaban panjang lebar. Silakan pembaca ikut memikirkannya dan mencari jawaban yang tepat serta mencarikan jalan keluar.
Dalam ibadah puasa setidaknya terdapat tiga aspek yang saling berkaitan. Pertama, aspek puasa yang bersifat metafisis, vertikal, sepenuhnya menuntut respons iman.
Sebuah hubungan yang sangat pribadi antara seseorang dan Tuhannya. Misalnya pahala orang puasa dan keyakinan bahwa bulan puasa adalah bulan pembakaran dosa serta pengampunan, itu semua merupakan keyakinan iman.
Evidence ilmiah secara empiris tidak bisa diukur dan dibuktikan sekarang ini. Pendeknya, orang dituntut untuk meyakininya sebagai respons iman.
Kedua, dampak terhadap aspek psikologis dan fisik terhadap individu yang berpuasa. Berkat ilmu kedokteran dan psikologi, aspek ini bisa diamati dan dibuat instrumen pengukurannya, seperti apakah dampak puasa bagi kesehatan mental dan fisikal.
Bahkan berdasarkan hasil penelitian neurosains, berpuasa selama sebulan akan membantu terjadinya peremajaan sel-sel jaringan otak serta terjadi semacam detoksifikasi, sehingga kinerja otak lebih tenang dan lebih jernih berpikir. Kontribusi ilmu kedokteran untuk meneliti dampak puasa sudah banyak ditulis.
Intinya, puasa itu mendatangkan kesehatan jasmani, sebagaimana sabda Nabi: Berpuasalah niscaya kamu akan sehat. Begitu juga halnya hasil kajian ilmu psikologi, mereka yang berpuasa akan lebih bisa mengendalikan emosi dan memiliki daya juang lebih ketika menghadapi masalah.
Aspek ketiga, yaitu dampak puasa dalam konteks sosial. Ini juga mudah diamati. Perhatikan saja bagaimana suasana di kantor dan kehidupan sosial selama Ramadan.
Terjadi perubahan perilaku dan relasi sosial yang signifikan. Lebih damai, sejuk dan masyarakat lebih mampu menahan diri agar tidak menciptakan keributan yang akan merusak kesucian dan kemuliaan bulan Ramadan. Agenda demonstrasi massa pun biasanya tidak terjadi selama bulan puasa.
Kesan saya mendengarkan berbagai ceramah keagamaan, umumnya yang ditekankan adalah puasa merupakan bulan pembakaran dan pengampunan dosa. Dalam bahasa Arab, kata ramadhan memang punya konotasi pembakaran.
Tetapi jika penekanannya hanya pada aspek metafisiknya, yaitu bulan pahala dan ampunan, maka Ramadan seakan menjadi bulan penebusan dosa yang terakumulasi selama sebelas bulan sebelumnya. Nanti setelah berakhir puasa ditandai datangnya hari Lebaran. Artinya tugas berat sudah usai dilakukan, lalu masuk agenda rutin seperti sedia kala.
Di sini muncul kesan, puasa itu sebuah siklus pengulangan, bukan sebuah proses metamorfosis untuk naik kelas, ibarat ulat berproses menjadi kupu-kupu. Padahal jika dikaji rangkaian ayat tentang perintah berpuasa, juga berbagai sabda Rasulullah, maka aspek puasa mesti berlanjut pada pembentukan pribadi dan masyarakat yang tahan godaan terutama dari korupsi yang tak kunjung surut pertumbuhannya.
Salah satu kata kunci puasa adalah imsak. Kemampuan menahan diri dari rayuan kenikmatan fisik (physical pleasure) sesaat yang merusak aset kebaikan lebih besar. Pesan imsak ini berlaku universal. Kalau saja dilaksanakan dengan konsisten, dampaknya mudah diamati serta diuji.
Seseorang atau bangsa yang maju ekonominya pada umumnya memiliki ketahanan mental untuk membiasakan hidup hemat, tidak mudah tergoda menghamburkan uang untuk membeli gaya hidup glamour. Tidak senang hidup foya-foya.
Ceramah-ceramah Ramadan mestinya juga menekankan urgensi pembentukan karakter, berangkat dari kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial, politik, dan birokrasi. Saya pernah baca sebuah buku, lupa persisnya judul dan pengarangnya, bahwa keberagamaan yang lebih menekankan ritual sebagai lembaga atau sosok penebusan dosa, akan membuat etika sosialnya lembek karena merasa berbagai salah dan dosa yang dilakukan akan mudah dihapus cukup lewat ritual.
Dosa sosial-horizontal diselesaikan dengan formula ritual-vertikal. Asumsi atau sinyalemen ini menarik direnungkan. Jangan-jangan sebagian pejabat negara yang rajin umrah, puasa, dan haji tujuan utamanya adalah untuk penebusan dosa-dosa politiknya, termasuk dosa korupsi.
Perlu ditegaskan di sini, tak ada yang salah seseorang melakukan ritual untuk minta ampun pada Tuhan. Tapi perlu juga diingat bahwa berapa banyak ayat-ayat Alquran dan sabda Nabi yang mengajarkan bahwa iman itu mesti berlanjut pada pembentukan karakter serta bertindak jujur dan adil ketika memangku amanat jabatan publik.
Makanya perlu dibuat pembedaan antara sin dan crime. Yang pertama lebih bersifat pribadi dan vertikal, yang kedua adalah kejahatan horizontal di mana sikap Islam sangat tegas dan jelas hukumannya.
Asumsi di atas mungkin juga membantu menjelaskan, mengapa banyak negara sekuler dan kafir tingkat korupsinya rendah. Karena hukumannya langsung dijatuhkan di dunia melalui lembaga pengawasan dan pengadilan yang tegas, tidak mesti menunggu di akhirat, sehingga orang lain mesti berpikir ulang kalau mau korupsi.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
DI berbagai forum diskusi keagamaan sering muncul pertanyaan, mengapa Indonesia yang warganya rajin meramaikan masjid, ibadah umrah, haji, dan puasa Ramadan, masih saja mau melakukan korupsi dan lemah dalam etika sosialnya?
Tulisan ini tidak akan memberi jawaban panjang lebar. Silakan pembaca ikut memikirkannya dan mencari jawaban yang tepat serta mencarikan jalan keluar.
Dalam ibadah puasa setidaknya terdapat tiga aspek yang saling berkaitan. Pertama, aspek puasa yang bersifat metafisis, vertikal, sepenuhnya menuntut respons iman.
Sebuah hubungan yang sangat pribadi antara seseorang dan Tuhannya. Misalnya pahala orang puasa dan keyakinan bahwa bulan puasa adalah bulan pembakaran dosa serta pengampunan, itu semua merupakan keyakinan iman.
Evidence ilmiah secara empiris tidak bisa diukur dan dibuktikan sekarang ini. Pendeknya, orang dituntut untuk meyakininya sebagai respons iman.
Kedua, dampak terhadap aspek psikologis dan fisik terhadap individu yang berpuasa. Berkat ilmu kedokteran dan psikologi, aspek ini bisa diamati dan dibuat instrumen pengukurannya, seperti apakah dampak puasa bagi kesehatan mental dan fisikal.
Bahkan berdasarkan hasil penelitian neurosains, berpuasa selama sebulan akan membantu terjadinya peremajaan sel-sel jaringan otak serta terjadi semacam detoksifikasi, sehingga kinerja otak lebih tenang dan lebih jernih berpikir. Kontribusi ilmu kedokteran untuk meneliti dampak puasa sudah banyak ditulis.
Intinya, puasa itu mendatangkan kesehatan jasmani, sebagaimana sabda Nabi: Berpuasalah niscaya kamu akan sehat. Begitu juga halnya hasil kajian ilmu psikologi, mereka yang berpuasa akan lebih bisa mengendalikan emosi dan memiliki daya juang lebih ketika menghadapi masalah.
Aspek ketiga, yaitu dampak puasa dalam konteks sosial. Ini juga mudah diamati. Perhatikan saja bagaimana suasana di kantor dan kehidupan sosial selama Ramadan.
Terjadi perubahan perilaku dan relasi sosial yang signifikan. Lebih damai, sejuk dan masyarakat lebih mampu menahan diri agar tidak menciptakan keributan yang akan merusak kesucian dan kemuliaan bulan Ramadan. Agenda demonstrasi massa pun biasanya tidak terjadi selama bulan puasa.
Kesan saya mendengarkan berbagai ceramah keagamaan, umumnya yang ditekankan adalah puasa merupakan bulan pembakaran dan pengampunan dosa. Dalam bahasa Arab, kata ramadhan memang punya konotasi pembakaran.
Tetapi jika penekanannya hanya pada aspek metafisiknya, yaitu bulan pahala dan ampunan, maka Ramadan seakan menjadi bulan penebusan dosa yang terakumulasi selama sebelas bulan sebelumnya. Nanti setelah berakhir puasa ditandai datangnya hari Lebaran. Artinya tugas berat sudah usai dilakukan, lalu masuk agenda rutin seperti sedia kala.
Di sini muncul kesan, puasa itu sebuah siklus pengulangan, bukan sebuah proses metamorfosis untuk naik kelas, ibarat ulat berproses menjadi kupu-kupu. Padahal jika dikaji rangkaian ayat tentang perintah berpuasa, juga berbagai sabda Rasulullah, maka aspek puasa mesti berlanjut pada pembentukan pribadi dan masyarakat yang tahan godaan terutama dari korupsi yang tak kunjung surut pertumbuhannya.
Salah satu kata kunci puasa adalah imsak. Kemampuan menahan diri dari rayuan kenikmatan fisik (physical pleasure) sesaat yang merusak aset kebaikan lebih besar. Pesan imsak ini berlaku universal. Kalau saja dilaksanakan dengan konsisten, dampaknya mudah diamati serta diuji.
Seseorang atau bangsa yang maju ekonominya pada umumnya memiliki ketahanan mental untuk membiasakan hidup hemat, tidak mudah tergoda menghamburkan uang untuk membeli gaya hidup glamour. Tidak senang hidup foya-foya.
Ceramah-ceramah Ramadan mestinya juga menekankan urgensi pembentukan karakter, berangkat dari kesalehan pribadi menuju kesalehan sosial, politik, dan birokrasi. Saya pernah baca sebuah buku, lupa persisnya judul dan pengarangnya, bahwa keberagamaan yang lebih menekankan ritual sebagai lembaga atau sosok penebusan dosa, akan membuat etika sosialnya lembek karena merasa berbagai salah dan dosa yang dilakukan akan mudah dihapus cukup lewat ritual.
Dosa sosial-horizontal diselesaikan dengan formula ritual-vertikal. Asumsi atau sinyalemen ini menarik direnungkan. Jangan-jangan sebagian pejabat negara yang rajin umrah, puasa, dan haji tujuan utamanya adalah untuk penebusan dosa-dosa politiknya, termasuk dosa korupsi.
Perlu ditegaskan di sini, tak ada yang salah seseorang melakukan ritual untuk minta ampun pada Tuhan. Tapi perlu juga diingat bahwa berapa banyak ayat-ayat Alquran dan sabda Nabi yang mengajarkan bahwa iman itu mesti berlanjut pada pembentukan karakter serta bertindak jujur dan adil ketika memangku amanat jabatan publik.
Makanya perlu dibuat pembedaan antara sin dan crime. Yang pertama lebih bersifat pribadi dan vertikal, yang kedua adalah kejahatan horizontal di mana sikap Islam sangat tegas dan jelas hukumannya.
Asumsi di atas mungkin juga membantu menjelaskan, mengapa banyak negara sekuler dan kafir tingkat korupsinya rendah. Karena hukumannya langsung dijatuhkan di dunia melalui lembaga pengawasan dan pengadilan yang tegas, tidak mesti menunggu di akhirat, sehingga orang lain mesti berpikir ulang kalau mau korupsi.
(dam)