Tragedi Banjir Bandang di Bandung
A
A
A
Nyoto Santoso
Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Dalam sewindu terakhir, Kota Bandung makin sering dilanda banjir. Rabu lalu (3/5), misalnya, banjir bandang menerjang wilayah Pasirjambu, tepatnya di Kampung Cihanjawar, Desa Margamulya, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung. Lima rumah hancur berantakan. Berdasarkan data dari Basarnas, 5 rumah yang hancur itu berada di RW 5 sebanyak 3 unit dan di RW 6 sebanyak 2 unit. Danramil Pasir Jambu Kapten Inf Arm Suwoto menyatakan bahwa banjirnya mengerikan sekali. Suwoto mengatakan banjir bandang tersebut terjadi setelah hujan dengan intensitas tinggi turun di wilayah Ciwidey dan Pasirjambu. Tampaknya air limpahan banjir itu menggerus tanah yang rapuh (akibat penggundulan hutan setempat), lalu menghanyutkan lumpur, batu, kayu, dan sampah sehingga menjadi banjir bandang yang menyeret apa pun yang dilaluinya.
Banjir bandang pada Rabu kelam itu mengingatkan kita pada banjir Oktober 2016 lalu. Saat itu (24/10) Jalan Pasteur yang menjadi landmark Kota Bandung sejak zaman baheula tergenang banjir. Padahal, selama ini, jalan legendaris tersebut nyaris tak pernah dilanda banjir. Di samping itu, banjir yang menerjang Jalan Pagarsih di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, mengakibatkan satu mobil Nissan Grand Livina, Daihatsu Charade, dan satu motor hilang ditelan Sungai Citepus. Ironis? Kang Emil-panggilan akrab Wali Kota Bandung Ridwan Kamil-pernah berkata bahwa Bandung aman dari serbuan banjir. Tapi apa nyatanya? Setelah Kota Bandung dilanda banjir berkali-kali, Kang Emil mulai mengernyitkan kening. What happened? Kang Emil pasti masih ingat, Maret 2016 lalu banjir yang melindas Bandung Selatan menewaskan 2 orang dan merendam 35.000 rumah. Sepuluh ribu orang lebih mengungsi karena rumahnya tenggelam. Luapan air di Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang itu demikian besar, nyaris seperti lautan.
Kenapa Bandung banjir? Konon kata "Bandung" berasal dari kata "bendung" atau "bendungan" karena terbendungnya Sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang kemudian membentuk telaga. Karena telaga itu berada di Gunung Tangkuban Perahu, pemandangannya indah dan udaranya sejuk. Di sekitar telaga itulah terhampar tanah berundak yang subur dan menyuguhkan pemandangan yang indah luar biasa. Itulah sebabnya pada awal abad ke-19, Gubernur Jenderal Herman William Daendels berniat membuat kota di "cekungan telaga" Bandung untuk tempat peristirahatan. Kota yang terletak di cekungan gunung Sunda Purba ini diproyeksikan Daendels kelak hanya bisa menampung 200.000 penduduk.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Setelah Indonesia merdeka, Bandung terus berkembang. Jika tahun 1941 jumlah penduduk di cekungan Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung) masih sekitar 200.000 (tepatnya 226.000) sesuai impian Daendels, sekarang tahun 2016 jumlah penduduk di kawasan tersebut mencapai 8,3 juta lebih. Naik lebih dari 41 kali lipat.
Bisa terbayang, betapa sesaknya Bandung Raya. Dalam kondisi seperti itu, penataan wilayah pun compang-camping. Jangan tanya bagaimana rusaknya penataan kota di Kota Bandung di mana Ridwan Kamil yang sohor itu menjadi wali kotanya. Di pusat kota ini, sudah nyaris tak ada tempat penampungan air seperti situ atau rancak. Kawasan hijau pun nyaris habis. Jalan-jalan beraspal dan bersemen nyaris mendominasi kota.
Jika hujan lebat, ke mana larinya air di Kota Bandung ini? Jawabnya, ke selatan, ke Kabupaten Bandung. Di pihak lain, Bandung bagian utara, yang merupakan wilayah tangkapan air, kini sudah berubah jadi perumahan dan pusat wisata. Wilayahnya yang sejuk memang cocok untuk tempat peristirahatan. Sekarang wilayah Bandung Utara ini sudah sesak dengan perumahan, hotel, dan tempat-tempat wisata. Ke mana larinya air jika hujan? Lagi-lagi ke Bandung bagian selatan. Yang jadi masalah serius, di kawasan ini terdapat beberapa sub-DAS (daerah aliran sungai) atau anak Sungai Citarum seperti Sungai Cikapundung, Cinambo, Cidurian, Cicadas, dan Cibeureum. Parahnya, sempadan anak sungai-sungai tersebut kondisinya juga kritis sehingga tidak bisa menampung limpahan air hujan. Dalam kondisi seperti itulah, sungai induk Citarum mudah sekali meluap. Hujan besar sebentar saja sudah cukup untuk menimbulkan banjir karena sempadan sungai tersebut rusak parah.
Akibatnya banjir pun menyerbu sejumlah kecamatan di Bandung bagian selatan seperti Rancaekek, Baleendah, Cicalengka, Bojongsoang, Majalaya, Dayeuhkolot, Cileunyi, dan Banjaran. Tiga kecamatan menderita paling parah, yaitu Bale Endah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang, karena wilayahnya berdekatan dengan Sungai Citarum. Banjir di Bandung bagian selatan tersebut sebenarnya telah lama terjadi, sejak berpuluh tahun lalu. Tapi intensitas dan keparahannya tidak sebesar sekarang. Pemprov Jawa Barat sudah berpuluh kali menyatakan akan membuat waduk untuk menampung limpahan air dari Bandung "atas" agar tidak menenggelamkan Bandung "bawah". Tapi, nyatanya, dari tahun ke tahun, rencana tersebut hanya tinggal rencana. Alasannya, macam-macam. Pertama, masalah dana. Padahal, membuat waduk dananya tidak sebesar membuat jalan tol atau kereta layang.
Kedua, masalah otonomi. Konon karena permasalahannya terletak pada meluapnya Sungai Citarum, kewenangannya berada di pemerintah pusat. Daerah hanya bisa mengusulkan, tidak bisa mengeksekusi. Akibatnya pembangunan waduk pun tertunda-tunda. Akibatnya dari tahun ke tahun, luapan banjir yang menerjang Bandung bagian selatan terus bertambah.
Sebetulnya, solusi untuk mengatasi banjir di Bandung selatan ini pernah dikemukakan Prof Dr Otto Soemarwoto (1926-2008), guru besar ilmu lingkungan hidup Universitas Padjadjaran, dengan sangat baik. Pada tahun 2003, Otto menyatakan banjir di Bandung bagian selatan hanya bisa diatasi dengan penataan ekologis di wilayah sekitarnya. Otto mengusulkan daerah resapan air diperbanyak dan pemda membuat embung atau waduk-waduk kecil sebanyak mungkin untuk menampung limpahan air dari Bandung "atas".
Waduk-waduk kecil itu di samping berguna untuk menampung limpahan air dari Bandung "atas" juga berfungsi untuk memperbaiki ekosistem yang rusak di wilayah bersangkutan sekaligus menjadi kawasan hutan mini yang memperbaiki kondisi iklim di Bandung yang makin panas. Menurut Otto, penanggulangan banjir secara instan tidak mungkin bisa dilakukan untuk mengatasi banjir di Bandung bagian selatan. Penataan ekologis di sekitar Bandung dan sempadan Sungai Citarum merupakan solusi strategis untuk mengatasi banjir tersebut. Tentu saja kesadaran masyarakat Bandung dan sekitarnya untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak menutup semen atau aspal di fasilitas lahan publik, dan banyak menanam pohon di sekitar lingkungan mereka akan berperan besar dalam mengatasi banjir tersebut.
Melihat topografi Bandung Raya yang seperti mangkuk, banjir di cekungan mangkuk terbawah memang sulit dihindarkan. Untuk itu, satu-satunya cara untuk mengatasi banjir dan penderitaan korban banjir tersebut, pemda setempat harus merelokasi warga yang berada di dasar mangkuk tersebut. Selama ini ada tiga kecamatan, yaitu Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang, yang rutin terkena banjir. Di samping berada di bagian "bawah" mangkuk, tiga kecamatan tersebut letaknya berdekatan dengan Sungai Citarum. Untuk ketiga wilayah tersebut, solusi terbaik adalah relokasi penduduk. Pemda menyiapkan tempat lain (permukiman atau rumah susun dengan seluruh fasilitasnya) untuk menampung warga relokasi tersebut seperti dilakukan Pemprov DKI.
Daerah langganan banjir tersebut kemudian dikembalikan fungsinya sebagai penampungan air atau waduk. Tapi mungkinkah? Seorang pemimpin harus berani bertindak menyelamatkan warganya tanpa kompromi. Kapan? Sekaranglah waktunya. Jika ditunda, masalahnya akan makin besar dan sulit dilaksanakan. Itulah tanggung jawab "Pemkot Bandung Raya" untuk mengatasi banjir yang menyengsarakan warga di Bandung "bawah" tersebut.
Gagasan Ridwan Kamil untuk membuat "tol air", yaitu membuat gorong-gorong besar di Kota Bandung agar luapan air dari banjir di kota segera turun ke sungai, hanya bagian kecil dari restrukturisasi Bandung Raya untuk mengatasi banjir. Tanpa ada solusi menyeluruh dan terintegrasi dengan penataan ekologis di wilayah Bandung Raya dan sekitarnya, mustahil Bandung akan bebas banjir.
Dosen Fakultas Kehutanan IPB, Bogor
Dalam sewindu terakhir, Kota Bandung makin sering dilanda banjir. Rabu lalu (3/5), misalnya, banjir bandang menerjang wilayah Pasirjambu, tepatnya di Kampung Cihanjawar, Desa Margamulya, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung. Lima rumah hancur berantakan. Berdasarkan data dari Basarnas, 5 rumah yang hancur itu berada di RW 5 sebanyak 3 unit dan di RW 6 sebanyak 2 unit. Danramil Pasir Jambu Kapten Inf Arm Suwoto menyatakan bahwa banjirnya mengerikan sekali. Suwoto mengatakan banjir bandang tersebut terjadi setelah hujan dengan intensitas tinggi turun di wilayah Ciwidey dan Pasirjambu. Tampaknya air limpahan banjir itu menggerus tanah yang rapuh (akibat penggundulan hutan setempat), lalu menghanyutkan lumpur, batu, kayu, dan sampah sehingga menjadi banjir bandang yang menyeret apa pun yang dilaluinya.
Banjir bandang pada Rabu kelam itu mengingatkan kita pada banjir Oktober 2016 lalu. Saat itu (24/10) Jalan Pasteur yang menjadi landmark Kota Bandung sejak zaman baheula tergenang banjir. Padahal, selama ini, jalan legendaris tersebut nyaris tak pernah dilanda banjir. Di samping itu, banjir yang menerjang Jalan Pagarsih di Kelurahan Cibadak, Kecamatan Astana Anyar, mengakibatkan satu mobil Nissan Grand Livina, Daihatsu Charade, dan satu motor hilang ditelan Sungai Citepus. Ironis? Kang Emil-panggilan akrab Wali Kota Bandung Ridwan Kamil-pernah berkata bahwa Bandung aman dari serbuan banjir. Tapi apa nyatanya? Setelah Kota Bandung dilanda banjir berkali-kali, Kang Emil mulai mengernyitkan kening. What happened? Kang Emil pasti masih ingat, Maret 2016 lalu banjir yang melindas Bandung Selatan menewaskan 2 orang dan merendam 35.000 rumah. Sepuluh ribu orang lebih mengungsi karena rumahnya tenggelam. Luapan air di Kecamatan Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang itu demikian besar, nyaris seperti lautan.
Kenapa Bandung banjir? Konon kata "Bandung" berasal dari kata "bendung" atau "bendungan" karena terbendungnya Sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang kemudian membentuk telaga. Karena telaga itu berada di Gunung Tangkuban Perahu, pemandangannya indah dan udaranya sejuk. Di sekitar telaga itulah terhampar tanah berundak yang subur dan menyuguhkan pemandangan yang indah luar biasa. Itulah sebabnya pada awal abad ke-19, Gubernur Jenderal Herman William Daendels berniat membuat kota di "cekungan telaga" Bandung untuk tempat peristirahatan. Kota yang terletak di cekungan gunung Sunda Purba ini diproyeksikan Daendels kelak hanya bisa menampung 200.000 penduduk.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Setelah Indonesia merdeka, Bandung terus berkembang. Jika tahun 1941 jumlah penduduk di cekungan Bandung Raya (Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Bandung) masih sekitar 200.000 (tepatnya 226.000) sesuai impian Daendels, sekarang tahun 2016 jumlah penduduk di kawasan tersebut mencapai 8,3 juta lebih. Naik lebih dari 41 kali lipat.
Bisa terbayang, betapa sesaknya Bandung Raya. Dalam kondisi seperti itu, penataan wilayah pun compang-camping. Jangan tanya bagaimana rusaknya penataan kota di Kota Bandung di mana Ridwan Kamil yang sohor itu menjadi wali kotanya. Di pusat kota ini, sudah nyaris tak ada tempat penampungan air seperti situ atau rancak. Kawasan hijau pun nyaris habis. Jalan-jalan beraspal dan bersemen nyaris mendominasi kota.
Jika hujan lebat, ke mana larinya air di Kota Bandung ini? Jawabnya, ke selatan, ke Kabupaten Bandung. Di pihak lain, Bandung bagian utara, yang merupakan wilayah tangkapan air, kini sudah berubah jadi perumahan dan pusat wisata. Wilayahnya yang sejuk memang cocok untuk tempat peristirahatan. Sekarang wilayah Bandung Utara ini sudah sesak dengan perumahan, hotel, dan tempat-tempat wisata. Ke mana larinya air jika hujan? Lagi-lagi ke Bandung bagian selatan. Yang jadi masalah serius, di kawasan ini terdapat beberapa sub-DAS (daerah aliran sungai) atau anak Sungai Citarum seperti Sungai Cikapundung, Cinambo, Cidurian, Cicadas, dan Cibeureum. Parahnya, sempadan anak sungai-sungai tersebut kondisinya juga kritis sehingga tidak bisa menampung limpahan air hujan. Dalam kondisi seperti itulah, sungai induk Citarum mudah sekali meluap. Hujan besar sebentar saja sudah cukup untuk menimbulkan banjir karena sempadan sungai tersebut rusak parah.
Akibatnya banjir pun menyerbu sejumlah kecamatan di Bandung bagian selatan seperti Rancaekek, Baleendah, Cicalengka, Bojongsoang, Majalaya, Dayeuhkolot, Cileunyi, dan Banjaran. Tiga kecamatan menderita paling parah, yaitu Bale Endah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang, karena wilayahnya berdekatan dengan Sungai Citarum. Banjir di Bandung bagian selatan tersebut sebenarnya telah lama terjadi, sejak berpuluh tahun lalu. Tapi intensitas dan keparahannya tidak sebesar sekarang. Pemprov Jawa Barat sudah berpuluh kali menyatakan akan membuat waduk untuk menampung limpahan air dari Bandung "atas" agar tidak menenggelamkan Bandung "bawah". Tapi, nyatanya, dari tahun ke tahun, rencana tersebut hanya tinggal rencana. Alasannya, macam-macam. Pertama, masalah dana. Padahal, membuat waduk dananya tidak sebesar membuat jalan tol atau kereta layang.
Kedua, masalah otonomi. Konon karena permasalahannya terletak pada meluapnya Sungai Citarum, kewenangannya berada di pemerintah pusat. Daerah hanya bisa mengusulkan, tidak bisa mengeksekusi. Akibatnya pembangunan waduk pun tertunda-tunda. Akibatnya dari tahun ke tahun, luapan banjir yang menerjang Bandung bagian selatan terus bertambah.
Sebetulnya, solusi untuk mengatasi banjir di Bandung selatan ini pernah dikemukakan Prof Dr Otto Soemarwoto (1926-2008), guru besar ilmu lingkungan hidup Universitas Padjadjaran, dengan sangat baik. Pada tahun 2003, Otto menyatakan banjir di Bandung bagian selatan hanya bisa diatasi dengan penataan ekologis di wilayah sekitarnya. Otto mengusulkan daerah resapan air diperbanyak dan pemda membuat embung atau waduk-waduk kecil sebanyak mungkin untuk menampung limpahan air dari Bandung "atas".
Waduk-waduk kecil itu di samping berguna untuk menampung limpahan air dari Bandung "atas" juga berfungsi untuk memperbaiki ekosistem yang rusak di wilayah bersangkutan sekaligus menjadi kawasan hutan mini yang memperbaiki kondisi iklim di Bandung yang makin panas. Menurut Otto, penanggulangan banjir secara instan tidak mungkin bisa dilakukan untuk mengatasi banjir di Bandung bagian selatan. Penataan ekologis di sekitar Bandung dan sempadan Sungai Citarum merupakan solusi strategis untuk mengatasi banjir tersebut. Tentu saja kesadaran masyarakat Bandung dan sekitarnya untuk tidak membuang sampah sembarangan, tidak menutup semen atau aspal di fasilitas lahan publik, dan banyak menanam pohon di sekitar lingkungan mereka akan berperan besar dalam mengatasi banjir tersebut.
Melihat topografi Bandung Raya yang seperti mangkuk, banjir di cekungan mangkuk terbawah memang sulit dihindarkan. Untuk itu, satu-satunya cara untuk mengatasi banjir dan penderitaan korban banjir tersebut, pemda setempat harus merelokasi warga yang berada di dasar mangkuk tersebut. Selama ini ada tiga kecamatan, yaitu Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang, yang rutin terkena banjir. Di samping berada di bagian "bawah" mangkuk, tiga kecamatan tersebut letaknya berdekatan dengan Sungai Citarum. Untuk ketiga wilayah tersebut, solusi terbaik adalah relokasi penduduk. Pemda menyiapkan tempat lain (permukiman atau rumah susun dengan seluruh fasilitasnya) untuk menampung warga relokasi tersebut seperti dilakukan Pemprov DKI.
Daerah langganan banjir tersebut kemudian dikembalikan fungsinya sebagai penampungan air atau waduk. Tapi mungkinkah? Seorang pemimpin harus berani bertindak menyelamatkan warganya tanpa kompromi. Kapan? Sekaranglah waktunya. Jika ditunda, masalahnya akan makin besar dan sulit dilaksanakan. Itulah tanggung jawab "Pemkot Bandung Raya" untuk mengatasi banjir yang menyengsarakan warga di Bandung "bawah" tersebut.
Gagasan Ridwan Kamil untuk membuat "tol air", yaitu membuat gorong-gorong besar di Kota Bandung agar luapan air dari banjir di kota segera turun ke sungai, hanya bagian kecil dari restrukturisasi Bandung Raya untuk mengatasi banjir. Tanpa ada solusi menyeluruh dan terintegrasi dengan penataan ekologis di wilayah Bandung Raya dan sekitarnya, mustahil Bandung akan bebas banjir.
(zik)