Penguatan Karakter Melalui Rumah Kedua
A
A
A
SELASA (2/5), seluruh elemen bangsa memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hardiknas selalu menjadi momentum menentukan perbaikan sistem pendidikan nasional. Satu di antara pekerjaan rumah yang harus ditunaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy adalah penguatan karakter bangsa. Penguatan karakter benar-benar ditekankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat melantik mendikbud.
Untuk merealisasikan amanah Presiden, Mendikbud meluncurkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program ini dirancang berkelanjutan mulai 2016-2020. Harapannya, seluruh sekolah bisa mengimplementasikan PPK dengan baik. Kini program PPK memasuki tahun kedua. Sekolah sasaran (piloting) juga telah dilatih untuk menyemai nilai-nilai utama karakter yang dirumuskan Kemendikbud.
Nilai-nilai utama karakter meliputi religius, nasionalis, integritas, gotong-royong, dan mandiri. Untuk memberikan sentuhan yang lebih humanis dalam program PPK, Kemendikbud mengusung tagline ”Senang Belajar di Rumah Kedua.” Tagline ini menarik karena ada komitmen untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua yang ramah bagi anak-anak. Komitmen menjadikan sekolah sebagai rumah kedua penting karena masih ada banyak insiden kekerasan yang melibatkan pelajar.
Juga, ada kasus kekerasan yang dialami anak-anak, baik dalam bentuk seksual, fisik, dan nonfisik. Ironisnya, insiden kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan. Padahal, anak-anak seharusnya merasa nyaman belajar di sekolah dengan bimbingan guru-guru hebat. Di sekolah anak-anak semestinya juga belajar menjadi pribadi berkarakter sehingga tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Keinginan menjadikan sekolah sebagai rumah kedua untuk merespons kekhawatiran sebagian kalangan terhadap kondisi keluarga dan lingkungan sosial yang bermasalah. Sebagai bagian dari tri pusat pendidikan selain sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat dalam banyak kasus terkadang kurang ideal untuk menginternalisasi nilai-nilai karakter. Pada konteks inilah, jargon ”Senang Belajar di Rumah Kedua” tidak harus dipahami sebagai pemisahan anak dari keluarga dan lingkungan sosialnya.
Posisi keluarga sebagai tempat belajar yang terutama tetap tak tergantikan. Hal itu sejalan dengan pernyataan hikmah yang menyatakan; al-bayt madrasah al-ula (rumah adalah tempat pendidikan yang terutama). Sebagai santri modernis, Mendikbud pasti memahami betapa penting peran keluarga untuk menyemai nilai-nilai karakter. Karena itu, peranan orang tua sebagai pendidik bagi buah hatinya harus diperkuat.
Tetapi, secara jujur harus diakui, masih banyak orang tua dan masyarakat yang belum terdidik. Dampaknya, anak-anak belum memperoleh pengasuhan dan pendidikan yang memadai. Dampaknya, anak-anak menjadi salah asuhan dan salah pergaulan. Di tengah kondisi keluarga dan masyarakat yang belum well educated itulah, program PPK dengan tagline ”Senang Belajar di Rumah Kedua” terasa sangat relevan.
Jika berkaca pada negara lain, semua negara maju juga menjadikan pendidikan karakter sebagai prioritas. Penguatan karakter di negara lain bisa diamati dari pembelajaran materi Civic Education (USA), Citizenship Education (Inggris), Sachunterricht (Jerman), Obscevovedine (Rusia), Education Civicas (Mexico), Civics (Australia), Social Studies (New Zealand), Life Orientation (Afrika Selatan), People and Society (Hungaria), Civics and Moral Education (Singapura), dan Ta’limat Muwathanah atau Tarbiyatul Wathaniyah(Timur Tengah).
Meski nomenklaturnya berbeda, komitmen negara-negara itu untuk memperkuat karakter warga bangsanya sangat tegas.
Pendidikan karakter merupakan program strategis karena sejalan dengan agenda Nawacita Presiden Jokowi. Narasi dalam Nawacita menyebutkan agenda merevolusi mental bangsa. Salah satu strateginya adalah penyemaian nilai-nilai karakter melalui pendidikan. Tetapi, harus diingat, program PPK membutuhkan kesiapan guru dan sarana prasarana memadai. Para pendidik harus mampu menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak.
Kesiapan guru penting karena terkait dengan program penambahan waktu belajar di sekolah. Sejalan dengan program PPK, Kemendikbud telah menetapkan peraturan tentang kewajiban guru berada di sekolah selama delapan jam setiap hari. Peraturan ini terutama diwajibkan bagi guru-guru tersertifikasi. Penambahan waktu merupakan konsekuensi kebijakan lima hari belajar di sekolah. Dengan demikian, kebersamaan anak dan keluarga lebih banyak karena Sabtu merupakan hari libur.
Tambahan waktu belajar di sekolah seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat karakter anak-anak. Disain program PPK dirancang secara komprehensif dengan berbasis pada kelas, budaya sekolah, dan masyarakat. Melalui kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan kokurikuler yang ada di sekolah, anak-anak memperoleh pendidikan cinta Tanah Air, pendidikan kerohanian, olahraga, kreativitas seni-budaya, belajar sastra, bekerja sama, dan latihan kepemimpinan.
Anak-anak juga memperoleh pendidikan keterampilan (hard skill) sesuai minat dan bakatnya. Seiring dengan tagline ”Senang Belajar di Rumah Kedua” untuk mendukung PPK, berarti sekolah harus menyiapkan sarana prasarana yang memadai agar anak-anak merasa di rumah. Sekolah juga harus menjalin kemitraan dengan berbagai komunitas seperti pemerintah, aktivis seni-budaya, olahraga, agama, TNI-Polri, bahkan asosiasi profesi. Langkah ini penting agar anak-anak tidak jenuh belajar pada guru yang sama dengan waktu reguler.
Program penguatan karakter di rumah kedua dilakukan dengan dua skema. Pertama, mengintegrasikan materi PPK dalam proses pembelajaran. Dengan cara ini, sekolah bisa mengundang berbagai komunitas sebagai guru tamu. Kedua, sekolah berkolaborasi dengan berbagai komunitas untuk mendidik anak-anak di luar sekolah. Misalnya, untuk menyemai nilai karakter religius, sekolah bisa bekerja sama dengan guru-guru pengajian madrasah diniyah di masjid atau pesantren.
Keinginan menjadikan sekolah sebagai rumah kedua menuntut komitmen semua pihak, terutama guru. Selain mendidik, guru juga harus menggantikan peranan orang tua selama anak-anak di rumah kedua. Itu berarti dunia pendidikan membutuhkan guru-guru yang mampu mendidik dengan sepenuh hati. Guru-guru harus berpandangan bahwa mendidik bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hati. Juga, harus ada keyakinan bahwa pendidikan merupakan investasi terbaik untuk memperbaiki karakter bangsa.
Untuk menyukseskan program PPK di rumah kedua, Kemendikbud harus memperbaiki mutu guru sebab guru merupakan ujung tombak pendidikan. Sebaik apa pun program dirancang, bahkan oleh kelompok ahli sekalipun, implementasinya bergantung pada guru. Akhirnya, diucapkan selamat Hardiknas pada semua guru. Semoga mampu menginternalisasi nilai-nilai karakter anak di rumah kedua dengan sepenuh hati.
Untuk merealisasikan amanah Presiden, Mendikbud meluncurkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Program ini dirancang berkelanjutan mulai 2016-2020. Harapannya, seluruh sekolah bisa mengimplementasikan PPK dengan baik. Kini program PPK memasuki tahun kedua. Sekolah sasaran (piloting) juga telah dilatih untuk menyemai nilai-nilai utama karakter yang dirumuskan Kemendikbud.
Nilai-nilai utama karakter meliputi religius, nasionalis, integritas, gotong-royong, dan mandiri. Untuk memberikan sentuhan yang lebih humanis dalam program PPK, Kemendikbud mengusung tagline ”Senang Belajar di Rumah Kedua.” Tagline ini menarik karena ada komitmen untuk menjadikan sekolah sebagai rumah kedua yang ramah bagi anak-anak. Komitmen menjadikan sekolah sebagai rumah kedua penting karena masih ada banyak insiden kekerasan yang melibatkan pelajar.
Juga, ada kasus kekerasan yang dialami anak-anak, baik dalam bentuk seksual, fisik, dan nonfisik. Ironisnya, insiden kekerasan justru terjadi di dunia pendidikan. Padahal, anak-anak seharusnya merasa nyaman belajar di sekolah dengan bimbingan guru-guru hebat. Di sekolah anak-anak semestinya juga belajar menjadi pribadi berkarakter sehingga tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Keinginan menjadikan sekolah sebagai rumah kedua untuk merespons kekhawatiran sebagian kalangan terhadap kondisi keluarga dan lingkungan sosial yang bermasalah. Sebagai bagian dari tri pusat pendidikan selain sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat dalam banyak kasus terkadang kurang ideal untuk menginternalisasi nilai-nilai karakter. Pada konteks inilah, jargon ”Senang Belajar di Rumah Kedua” tidak harus dipahami sebagai pemisahan anak dari keluarga dan lingkungan sosialnya.
Posisi keluarga sebagai tempat belajar yang terutama tetap tak tergantikan. Hal itu sejalan dengan pernyataan hikmah yang menyatakan; al-bayt madrasah al-ula (rumah adalah tempat pendidikan yang terutama). Sebagai santri modernis, Mendikbud pasti memahami betapa penting peran keluarga untuk menyemai nilai-nilai karakter. Karena itu, peranan orang tua sebagai pendidik bagi buah hatinya harus diperkuat.
Tetapi, secara jujur harus diakui, masih banyak orang tua dan masyarakat yang belum terdidik. Dampaknya, anak-anak belum memperoleh pengasuhan dan pendidikan yang memadai. Dampaknya, anak-anak menjadi salah asuhan dan salah pergaulan. Di tengah kondisi keluarga dan masyarakat yang belum well educated itulah, program PPK dengan tagline ”Senang Belajar di Rumah Kedua” terasa sangat relevan.
Jika berkaca pada negara lain, semua negara maju juga menjadikan pendidikan karakter sebagai prioritas. Penguatan karakter di negara lain bisa diamati dari pembelajaran materi Civic Education (USA), Citizenship Education (Inggris), Sachunterricht (Jerman), Obscevovedine (Rusia), Education Civicas (Mexico), Civics (Australia), Social Studies (New Zealand), Life Orientation (Afrika Selatan), People and Society (Hungaria), Civics and Moral Education (Singapura), dan Ta’limat Muwathanah atau Tarbiyatul Wathaniyah(Timur Tengah).
Meski nomenklaturnya berbeda, komitmen negara-negara itu untuk memperkuat karakter warga bangsanya sangat tegas.
Pendidikan karakter merupakan program strategis karena sejalan dengan agenda Nawacita Presiden Jokowi. Narasi dalam Nawacita menyebutkan agenda merevolusi mental bangsa. Salah satu strateginya adalah penyemaian nilai-nilai karakter melalui pendidikan. Tetapi, harus diingat, program PPK membutuhkan kesiapan guru dan sarana prasarana memadai. Para pendidik harus mampu menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak.
Kesiapan guru penting karena terkait dengan program penambahan waktu belajar di sekolah. Sejalan dengan program PPK, Kemendikbud telah menetapkan peraturan tentang kewajiban guru berada di sekolah selama delapan jam setiap hari. Peraturan ini terutama diwajibkan bagi guru-guru tersertifikasi. Penambahan waktu merupakan konsekuensi kebijakan lima hari belajar di sekolah. Dengan demikian, kebersamaan anak dan keluarga lebih banyak karena Sabtu merupakan hari libur.
Tambahan waktu belajar di sekolah seharusnya dimanfaatkan untuk memperkuat karakter anak-anak. Disain program PPK dirancang secara komprehensif dengan berbasis pada kelas, budaya sekolah, dan masyarakat. Melalui kegiatan intrakurikuler, ekstrakurikuler, dan kokurikuler yang ada di sekolah, anak-anak memperoleh pendidikan cinta Tanah Air, pendidikan kerohanian, olahraga, kreativitas seni-budaya, belajar sastra, bekerja sama, dan latihan kepemimpinan.
Anak-anak juga memperoleh pendidikan keterampilan (hard skill) sesuai minat dan bakatnya. Seiring dengan tagline ”Senang Belajar di Rumah Kedua” untuk mendukung PPK, berarti sekolah harus menyiapkan sarana prasarana yang memadai agar anak-anak merasa di rumah. Sekolah juga harus menjalin kemitraan dengan berbagai komunitas seperti pemerintah, aktivis seni-budaya, olahraga, agama, TNI-Polri, bahkan asosiasi profesi. Langkah ini penting agar anak-anak tidak jenuh belajar pada guru yang sama dengan waktu reguler.
Program penguatan karakter di rumah kedua dilakukan dengan dua skema. Pertama, mengintegrasikan materi PPK dalam proses pembelajaran. Dengan cara ini, sekolah bisa mengundang berbagai komunitas sebagai guru tamu. Kedua, sekolah berkolaborasi dengan berbagai komunitas untuk mendidik anak-anak di luar sekolah. Misalnya, untuk menyemai nilai karakter religius, sekolah bisa bekerja sama dengan guru-guru pengajian madrasah diniyah di masjid atau pesantren.
Keinginan menjadikan sekolah sebagai rumah kedua menuntut komitmen semua pihak, terutama guru. Selain mendidik, guru juga harus menggantikan peranan orang tua selama anak-anak di rumah kedua. Itu berarti dunia pendidikan membutuhkan guru-guru yang mampu mendidik dengan sepenuh hati. Guru-guru harus berpandangan bahwa mendidik bukan sekadar profesi, melainkan panggilan hati. Juga, harus ada keyakinan bahwa pendidikan merupakan investasi terbaik untuk memperbaiki karakter bangsa.
Untuk menyukseskan program PPK di rumah kedua, Kemendikbud harus memperbaiki mutu guru sebab guru merupakan ujung tombak pendidikan. Sebaik apa pun program dirancang, bahkan oleh kelompok ahli sekalipun, implementasinya bergantung pada guru. Akhirnya, diucapkan selamat Hardiknas pada semua guru. Semoga mampu menginternalisasi nilai-nilai karakter anak di rumah kedua dengan sepenuh hati.
(wib)