Presiden Jokowi dan TGPF Kasus Novel Baswedan
A
A
A
Maneger Nasution
Komisioner Komnas HAM RI
Dua pekan sudah Novel Baswedan, penyidik senior KPK, mengalami penyiraman air keras oleh orang ”tidak dikenal”. Penyiraman itu mengakibatkan yang bersangkutan terancam mengalami kerusakan mata, bahkan kebutaan permanen. Dunia kemanusiaan mengutuk keras peristiwa biadab itu. Bahkan Presiden Jokowi sendiri sudah menyatakan pengutukannya. Dunia kemanusiaan berdoa semoga Allah menyehatkan Novel Baswedan seperti sedia kala.
Tetapi publik memandang bahwa pernyataan Presiden Jokowi itu belumlah memadai untuk mengekspresikan bahwa kasus ini bukan pidana biasa, kasus besar, dan masa depan pemberantasan korupsi tengah terancam. Busyro Muqaddas, mantan pimpinan KPK, serta Wadah Pegawai KPK dan masyarakat sipil antikorupsi lain, misalnya, meminta Presiden Jokowi membentuk semacam tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang independen untuk mengusut penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Bahkan, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah yang juga pendiri Madrasah Anti-Korupsi (MAK), mewanti-wanti pemerintah untuk menuntaskan kasus kekerasan terhadap Novel Baswedan tersebut dalam waktu paling lambat satu pekan.
Saya setuju dengan usulan pembentukan TGPF tersebut. Persetujuan itu bukan berarti kita meragukan lembaga kepolisian negara. TGPF justru memperkuat kepolisian negara. TGPF itu berisi akademisi, tokoh masyarakat sipil, dan kepolisian negara yang berintegritas dan akuntabel. TGPF itu diharapkan dapat mengungkap dan mengusut tuntas kasus itu dari hulu, tengah, dan hilir.
Ada setidaknya tujuh alasan tentang pentingnya Presiden Jokowi membentuk TGPF tersebut. Pertama, sudah dua pekan lebih peristiwa biadab itu berlalu, tetapi negara melalui kepolisian negara belum bisa menuntaskan, setidaknya publik mendapat informasi tentang progres investigasi. Artinya, negara, khususnya Kepolisian RI, belum berhasil menunaikan kewajiban konstitusionalnya berupa pemenuhan hak warga negara, dalam hal ini pihak Novel Baswedan dan keluarganya, untuk tahu (right to know).
Kedua, peristiwa yang tidak berperikemanusiaan itu telah menebar syiar ketakutan publik. Ini adalah lonceng kematian bagi penggiat HAM, khususnya aktivis antikorupsi. Dengan demikian, negara kurang hadir menunaikan kewajiban konstitusionalnya menjamin keterpenuhan hak-hak dasar warga negara, dalam konteks ini hak atas rasa aman (the right to security ).
Ketiga, peristiwa yang bernuansa barbar itu ternyata bukan yang pertama kali dialami Novel Baswedan, juga oleh beberapa penggiat HAM, penggiat antikorupsi, tapi sudah berkali-kali. Artinya negara, terutama pemerintah, tidak hadir menjamin bahwa peristiwa yang sama tidak terulang kembali (guarantees of nonrecurrence).
Keempat, sulit untuk membantah persepsi publik bahwa semua teror itu datang setelah Novel Baswedan memimpin penyidikan berbagai kasus besar, di antaranya kasus korupsi simulator SIM di Kepolisian RI. Terpidana kasus ini adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Terbaru, Novel Baswedan sedang menyidik perkara megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Itu artinya, negara belum berhasil hadir menjamin keamanan aparat penegak hukumnya sendiri dalam melaksanakan tugas negara (the right to security duties ).
Kelima, peristiwa yang memalukan itu jika [kembali] tidak dituntaskan akan menjadi isyarat terang benderang di hadapan publik bahwa premanisme dan pilihan cara kekerasan dalam mencapai tujuan adalah sesuatu yang ”terbiasa” dan ”wajar” di negeri ini. Pesannya sungguh sangat mengerikan. Artinya, negara belum hadir menjamin hak publik untuk bebas dari premanisme, perlakuan kekerasan, dan penganiayaan/penyiksaan (right not to be abused and tortured ).
Keenam, negara, terutama pemerintah, tidak boleh ”mengambangkan” kasus yang mendapat perhatian khalayak ini. Pemerintah harus memberikan kepastian terhadap kasus tersebut. Publik, khususnya Novel Baswedan dan keluarganya, berhak atas kepastian dan keadilan hukum terhadap kekerasan yang dialaminya (right to legal certainty and justice).
Ketujuh, Presiden Jokowi, sebagai pemimpin tertinggi sistem presidensial dalam ketatanegaraan NKRI, sebaiknya hadir mengambil inisiatif dan tanggung jawab untuk menunjukkan bahwa rezim ini prokemanusiaan, pro pemberantasan korupsi. Kebijakan membentuk TGPF itu, antara lain, menjadi sinyal terang bahwa Presiden Jokowi sedang menjahit ulang modalitas sosial yang masih tersisa.
Dengan demikian, semoga publik masih bisa menghadirkan keyakinan bahwa negara, terutama pemerintah, kembali hadir menunaikan kewajiban konstitusionalnya menghormati (to respect), melindungi (to protect), memajukan (to promote), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak konstitusional warga negara (Pasal 28I UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 39/1999 tentang HAM). Semoga Presiden Jokowi berkenan mengambil tanggung jawab sejarahnya.
Komisioner Komnas HAM RI
Dua pekan sudah Novel Baswedan, penyidik senior KPK, mengalami penyiraman air keras oleh orang ”tidak dikenal”. Penyiraman itu mengakibatkan yang bersangkutan terancam mengalami kerusakan mata, bahkan kebutaan permanen. Dunia kemanusiaan mengutuk keras peristiwa biadab itu. Bahkan Presiden Jokowi sendiri sudah menyatakan pengutukannya. Dunia kemanusiaan berdoa semoga Allah menyehatkan Novel Baswedan seperti sedia kala.
Tetapi publik memandang bahwa pernyataan Presiden Jokowi itu belumlah memadai untuk mengekspresikan bahwa kasus ini bukan pidana biasa, kasus besar, dan masa depan pemberantasan korupsi tengah terancam. Busyro Muqaddas, mantan pimpinan KPK, serta Wadah Pegawai KPK dan masyarakat sipil antikorupsi lain, misalnya, meminta Presiden Jokowi membentuk semacam tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang independen untuk mengusut penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Bahkan, Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah yang juga pendiri Madrasah Anti-Korupsi (MAK), mewanti-wanti pemerintah untuk menuntaskan kasus kekerasan terhadap Novel Baswedan tersebut dalam waktu paling lambat satu pekan.
Saya setuju dengan usulan pembentukan TGPF tersebut. Persetujuan itu bukan berarti kita meragukan lembaga kepolisian negara. TGPF justru memperkuat kepolisian negara. TGPF itu berisi akademisi, tokoh masyarakat sipil, dan kepolisian negara yang berintegritas dan akuntabel. TGPF itu diharapkan dapat mengungkap dan mengusut tuntas kasus itu dari hulu, tengah, dan hilir.
Ada setidaknya tujuh alasan tentang pentingnya Presiden Jokowi membentuk TGPF tersebut. Pertama, sudah dua pekan lebih peristiwa biadab itu berlalu, tetapi negara melalui kepolisian negara belum bisa menuntaskan, setidaknya publik mendapat informasi tentang progres investigasi. Artinya, negara, khususnya Kepolisian RI, belum berhasil menunaikan kewajiban konstitusionalnya berupa pemenuhan hak warga negara, dalam hal ini pihak Novel Baswedan dan keluarganya, untuk tahu (right to know).
Kedua, peristiwa yang tidak berperikemanusiaan itu telah menebar syiar ketakutan publik. Ini adalah lonceng kematian bagi penggiat HAM, khususnya aktivis antikorupsi. Dengan demikian, negara kurang hadir menunaikan kewajiban konstitusionalnya menjamin keterpenuhan hak-hak dasar warga negara, dalam konteks ini hak atas rasa aman (the right to security ).
Ketiga, peristiwa yang bernuansa barbar itu ternyata bukan yang pertama kali dialami Novel Baswedan, juga oleh beberapa penggiat HAM, penggiat antikorupsi, tapi sudah berkali-kali. Artinya negara, terutama pemerintah, tidak hadir menjamin bahwa peristiwa yang sama tidak terulang kembali (guarantees of nonrecurrence).
Keempat, sulit untuk membantah persepsi publik bahwa semua teror itu datang setelah Novel Baswedan memimpin penyidikan berbagai kasus besar, di antaranya kasus korupsi simulator SIM di Kepolisian RI. Terpidana kasus ini adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Terbaru, Novel Baswedan sedang menyidik perkara megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Itu artinya, negara belum berhasil hadir menjamin keamanan aparat penegak hukumnya sendiri dalam melaksanakan tugas negara (the right to security duties ).
Kelima, peristiwa yang memalukan itu jika [kembali] tidak dituntaskan akan menjadi isyarat terang benderang di hadapan publik bahwa premanisme dan pilihan cara kekerasan dalam mencapai tujuan adalah sesuatu yang ”terbiasa” dan ”wajar” di negeri ini. Pesannya sungguh sangat mengerikan. Artinya, negara belum hadir menjamin hak publik untuk bebas dari premanisme, perlakuan kekerasan, dan penganiayaan/penyiksaan (right not to be abused and tortured ).
Keenam, negara, terutama pemerintah, tidak boleh ”mengambangkan” kasus yang mendapat perhatian khalayak ini. Pemerintah harus memberikan kepastian terhadap kasus tersebut. Publik, khususnya Novel Baswedan dan keluarganya, berhak atas kepastian dan keadilan hukum terhadap kekerasan yang dialaminya (right to legal certainty and justice).
Ketujuh, Presiden Jokowi, sebagai pemimpin tertinggi sistem presidensial dalam ketatanegaraan NKRI, sebaiknya hadir mengambil inisiatif dan tanggung jawab untuk menunjukkan bahwa rezim ini prokemanusiaan, pro pemberantasan korupsi. Kebijakan membentuk TGPF itu, antara lain, menjadi sinyal terang bahwa Presiden Jokowi sedang menjahit ulang modalitas sosial yang masih tersisa.
Dengan demikian, semoga publik masih bisa menghadirkan keyakinan bahwa negara, terutama pemerintah, kembali hadir menunaikan kewajiban konstitusionalnya menghormati (to respect), melindungi (to protect), memajukan (to promote), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak konstitusional warga negara (Pasal 28I UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 39/1999 tentang HAM). Semoga Presiden Jokowi berkenan mengambil tanggung jawab sejarahnya.
(pur)