Kemenangan Populisme
A
A
A
Firman Noor
Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI
Research Fellow pada IAIS, University of Exeter
TAK lama setelah hasil quick count disiarkan oleh beberapa lembaga survei, muncul komentar yang menyamakan kemenangan Anies-Sandi dengan kemenangan Pro-Brexit di Inggris dan terpilihnya Trump sebagai presiden di AS.
Dalam komentar itu disampaikan pula pesan sindiran “selamat datang di era populisme”, artinya Jakarta telah memasuki era populisme. Mengapa disebut menyindir, karena populisme di situ diartikan sebagai mengatasnamakan rakyat dengan memanfaatkan tema-tema populer demi sebuah keberhasilan manuver politik.
Rakyat yang tidak seutuhnya paham akan apa yang terjadi menjadi sekadar alas kemenangan untuk akhirnya ditinggalkan. Dengan kata lain, selamat atas suksesnya pembodohan rakyat.
Tulisan ini juga akan menggunakan istilah populisme untuk melihat sisi lain kekalahan petahana dalam Pilgub DKI kali ini. Namun bukan sebagai sindiran, melainkan sebagai sebuah bentuk keberhasilan perlawanan rakyat banyak atas sikap dan kepentingan elite penguasa, termasuk kebijakan dan sikap yang tidak populer di mata mereka.
Elitisme dan Kegagalan Kampanye Abstrak
Jakarta yang tampaknya megah, sebenarnya memiliki persoalan ketimpangan sosial yang serius. Tingkat kesenjangan terasakan di berbagai sudut-sudut ibu kota negara ini. Meski setiap pergantian gubernur membawa secercah harapan bagi rakyat banyak, akhirnya kepentingan kaum elitelah yang sebenarnya selalu dan selalu menang.
Sebagai gubernur, Ahok adalah penguasa Jakarta yang memiliki berbagai kewenangan dan kebijakan. Keberhasilannya dalam beberapa hal, yang banyak diakui orang, sayangnya tidak pula dapat menutupi kegagalannya dalam benar-benar menuntaskan kesenjangan itu.
Dalam pilkada ini, menurut Ian Wilson—peneliti dari Murdoch University, sejatinya tidak ada sebuah bahasan yang serius dalam soal menuntaskan kesenjangan.
Tidak heran kemudian dirinya semakin lama memiliki jarak dengan khalayak. Ahok yang mau “menghabisi” elitisme terutama dalam konteks birokrasi di Jakarta, justru terjebak dalam lingkar elite itu sendiri.
Posisi elitis Ahok ini menjadi makin kentara dengan kenyataan bahwa dirinya didukung oleh kebanyakan para elite, apakah itu elite pemerintahan, partai-partai, pengusaha besar ataupun media. Yang suka atau tidak sayangnya tidak (atau belum), juga memiliki formula konkret dalam mengentaskan kesenjangan di Jakarta hingga detik ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa unsur-unsur elite negara ini banyak berdiri di belakang Ahok. Unsur-unsur elite pemerintah turut bermanuver dalam rangka memuluskan jalan kemenangan petahana dalam pilgub ini.
Nuansa itu sudah terasa sejak di masa-masa awal aksi-aksi “bela Islam” mulai digulirkan tahun lalu. Isu makar kemudian diembuskan dengan kencang sebagai pukulan balik aksi-aksi itu.
Partai-partai menengah dan besar pendukung Ahok (PDIP, Golkar, Nasdem, PPP-Djan Faridz, PPP-Romy, dan Hanura) adalah juga bagian dari kelompok elite ini. Pimpinan partai-partai tersebut seperti Megawati, Surya Paloh, Setya Novanto, atau Djan Fardiz berkomitmen penuh memenangkan Ahok. Segenap sumber daya yang dimiliki partai-partai tersebut dikerahkan.
Ditopang lagi dengan kontribusi jaringan pengusaha kelas kakap yang berpihak pada Ahok. Selain itu, dukungan beberapa media massa besar terhadap petahana juga terlihat jelas.
Dalam lingkup elitisme ini, perlahan Ahok dan pendukungnya menjadi makin tidak fokus dalam soal-soal konkret, terutama kesenjangan. Fokus mereka justru lebih pada mengusung tema-tema abstrak seperti soal pluralisme, hak minoritas, dan sejenisnya.
Praktis, sebenarnya mereka telah gagal paham atas kehendak hati masyarakat banyak. Tema-tema abstrak semacam itu jelas enggak nyambung dengan kepentingan rakyat banyak.
Di sisi lain, fokus pada tema pluralisme juga amat mudah disaingi oleh tim lawan. Mengapa, karena figur Anies-Sandi dan beberapa pendukung pentingnya adalah mereka yang terbiasa akan tema-tema seputar pluralisme itu dan notabene juga sebagiannya berasal dari kalangan minoritas.
Benar kata Yenny Wahid, bahwa di kalangan pendukung Anies ada kalangan Kristen taat. Selain itu, Anies sendiri adalah tokoh Islam moderat yang notabene pernah menjadi rektor Universitas Paramadina. Akan beda jika Anies memang punya rekam jejak kalangan radikal.
Terbukti kemudian Anies pun mampu membuat iklan politik yang baik sekali terkait dengan soal pluralisme ini. Di sinilah titik lemah terkuak. Tema-tema pluralisme yang jorjoran dikedepankan tidak saja gagal menarik simpati khalayak rakyat di level bawah, tetapi juga menjadi tidak terlalu istimewa bagi kalangan khalayak rakyat di level menengah.
Bahkan, kalangan menengah merasa adanya nuansa simpatik dari Anies-Sandi. Ahok pun kalah set di dua segmen tersebut.
Melawan dengan Alasan
Bagi sebagian kalangan, populisme yang menyeruak digerakkan terutama oleh isu SARA. Bisa jadi. Namun, apakah seutuhnya benar demikian? Sekarang kita bayangkan seandainya petahana diterjang oleh isu SARA, sementara dia tidak menunjukkan gelagat kontroversial sedikit pun terkait SARA, apakah dia akan mudah kehilangan simpati?
Bayangkan juga seandainya petahana tidak menunjukkan sikap arogan kerap dengan kata-kata tidak simpatik mulai kepada seorang ibu yang disebut maling, hingga ulama besar sekelas KH Maruf Amin yang dituduh berbohong—apakah terjangan isu SARA akan membuatnya mudah luluh lantak?
Bayangkan pula misalnya semua janji-janji kepada akar rumput dijalankan dengan amat memuaskan dan bukannya malah menerbitkan dendam kesumat karena dibohongi, apakah isu SARA akan mudah membalikkan pilihan?
Jawabannya mudah saja, isu SARA tidak akan banyak berarti jika Ahok tidak ada masalah dengan isu tersebut, tetap berada dalam garis yang sama dengan rakyat kebanyakan dan sanggup membangun kepercayaan yang kokoh dengan mereka. Namun, hal-hal di atas tidak terjadi.
Akibatnya Ahok justru dianggap pemimpin yang tidak lagi menjadi bagian dari mereka. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pilihan rasional untuk melakukan perubahan kepemimpinan di Jakarta.
Singkatnya ini adalah cerminan perlawanan atas keterasingan, kesenjangan, dan berbagai ketidaknyamanan hidup. Bagi yang lain, ini adalah reaksi atas kinerja medioker dan berbeda dengan yang dijanjikan.
Alasan perubahan jadi semakin kuat karena mereka melihat adanya alternatif dari kandidat lain. Namun demikian, memang beragam rasionalitas perlawanan itu akhirnya berkelindan dengan sentimen SARA, yang secara kronologis dipicu oleh Ahok sendiri. Isu ini menjadi membesar dan belakang efektif dalam membangkitkan sentimen identitas “kami versus kamu”.
Kerja-Kerja Populisme
Dalam konteks praktis, populisme bekerja di dua periode, yakni prapemilihan dan saat pemilihan. Hari-hari menjelang pencoblosan rakyat bahu membahu saling menginformasikan dan menguatkan pilihan.
Beberapa di antara mereka membuat simpul-simpul kelompok untuk menyebarluaskan agenda-agenda politik yang dirasa tepat bagi mereka. Atribut kampanye diusahakan sejadi-jadinya.
Tidak jarang mereka menolak hadir dalam undangan simpatik pihak petahana, bahkan kadang secara tidak simpatik mengusir tim kampanye Ahok (bahkan Ahok sendiri).
Sebaliknya muncul fenomena mudik massal untuk sekadar menghabiskan waktu beberapa menit di TPS. Dengan kesadaran penuh, mereka merembes masuk Jakarta dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri.
Menjelang hari H tidak saja mereka menolak serbuan sembako yang selama ini sukses besar dalam memengaruhi pilihan, namun mereka melaporkan dan menyebarluaskan melalui media sosial praktik-praktik semacam ini.
Tidak sedikit yang berujung pada adu mulut, bersitegang, dan saling usir. Dalam sejarah Pilkada DKI, dan pemilu pada umumnya, baru kali ini pembagian sembako menimbulkan perlawanan sengit.
Pada Hari H pencoblosan, TPS di beberapa wilayahnya berubah menjadi tempat pesta rakyat. Rakyat mengekspresikan kegembiraan dan menunggui dengan setia hasil perhitungan, karena khawatir akan ada kecurangan. Dan manakala kemenangan semakin tampak jelas, muncul pawai-pawai spontan di berbagai tempat.
Demikianlah, populisme dalam Pilgub DKI kali ini memang terasakan. Khusus bagi kaum marginal, pilgub kali ini benar-benar menjadi sarana menghukum “kaum elite” yang enggan mendengar. Semoga nantinya benar-benar akan ada perubahan dan tidak berakhir dengan kekecewaan.
Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI
Research Fellow pada IAIS, University of Exeter
TAK lama setelah hasil quick count disiarkan oleh beberapa lembaga survei, muncul komentar yang menyamakan kemenangan Anies-Sandi dengan kemenangan Pro-Brexit di Inggris dan terpilihnya Trump sebagai presiden di AS.
Dalam komentar itu disampaikan pula pesan sindiran “selamat datang di era populisme”, artinya Jakarta telah memasuki era populisme. Mengapa disebut menyindir, karena populisme di situ diartikan sebagai mengatasnamakan rakyat dengan memanfaatkan tema-tema populer demi sebuah keberhasilan manuver politik.
Rakyat yang tidak seutuhnya paham akan apa yang terjadi menjadi sekadar alas kemenangan untuk akhirnya ditinggalkan. Dengan kata lain, selamat atas suksesnya pembodohan rakyat.
Tulisan ini juga akan menggunakan istilah populisme untuk melihat sisi lain kekalahan petahana dalam Pilgub DKI kali ini. Namun bukan sebagai sindiran, melainkan sebagai sebuah bentuk keberhasilan perlawanan rakyat banyak atas sikap dan kepentingan elite penguasa, termasuk kebijakan dan sikap yang tidak populer di mata mereka.
Elitisme dan Kegagalan Kampanye Abstrak
Jakarta yang tampaknya megah, sebenarnya memiliki persoalan ketimpangan sosial yang serius. Tingkat kesenjangan terasakan di berbagai sudut-sudut ibu kota negara ini. Meski setiap pergantian gubernur membawa secercah harapan bagi rakyat banyak, akhirnya kepentingan kaum elitelah yang sebenarnya selalu dan selalu menang.
Sebagai gubernur, Ahok adalah penguasa Jakarta yang memiliki berbagai kewenangan dan kebijakan. Keberhasilannya dalam beberapa hal, yang banyak diakui orang, sayangnya tidak pula dapat menutupi kegagalannya dalam benar-benar menuntaskan kesenjangan itu.
Dalam pilkada ini, menurut Ian Wilson—peneliti dari Murdoch University, sejatinya tidak ada sebuah bahasan yang serius dalam soal menuntaskan kesenjangan.
Tidak heran kemudian dirinya semakin lama memiliki jarak dengan khalayak. Ahok yang mau “menghabisi” elitisme terutama dalam konteks birokrasi di Jakarta, justru terjebak dalam lingkar elite itu sendiri.
Posisi elitis Ahok ini menjadi makin kentara dengan kenyataan bahwa dirinya didukung oleh kebanyakan para elite, apakah itu elite pemerintahan, partai-partai, pengusaha besar ataupun media. Yang suka atau tidak sayangnya tidak (atau belum), juga memiliki formula konkret dalam mengentaskan kesenjangan di Jakarta hingga detik ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa unsur-unsur elite negara ini banyak berdiri di belakang Ahok. Unsur-unsur elite pemerintah turut bermanuver dalam rangka memuluskan jalan kemenangan petahana dalam pilgub ini.
Nuansa itu sudah terasa sejak di masa-masa awal aksi-aksi “bela Islam” mulai digulirkan tahun lalu. Isu makar kemudian diembuskan dengan kencang sebagai pukulan balik aksi-aksi itu.
Partai-partai menengah dan besar pendukung Ahok (PDIP, Golkar, Nasdem, PPP-Djan Faridz, PPP-Romy, dan Hanura) adalah juga bagian dari kelompok elite ini. Pimpinan partai-partai tersebut seperti Megawati, Surya Paloh, Setya Novanto, atau Djan Fardiz berkomitmen penuh memenangkan Ahok. Segenap sumber daya yang dimiliki partai-partai tersebut dikerahkan.
Ditopang lagi dengan kontribusi jaringan pengusaha kelas kakap yang berpihak pada Ahok. Selain itu, dukungan beberapa media massa besar terhadap petahana juga terlihat jelas.
Dalam lingkup elitisme ini, perlahan Ahok dan pendukungnya menjadi makin tidak fokus dalam soal-soal konkret, terutama kesenjangan. Fokus mereka justru lebih pada mengusung tema-tema abstrak seperti soal pluralisme, hak minoritas, dan sejenisnya.
Praktis, sebenarnya mereka telah gagal paham atas kehendak hati masyarakat banyak. Tema-tema abstrak semacam itu jelas enggak nyambung dengan kepentingan rakyat banyak.
Di sisi lain, fokus pada tema pluralisme juga amat mudah disaingi oleh tim lawan. Mengapa, karena figur Anies-Sandi dan beberapa pendukung pentingnya adalah mereka yang terbiasa akan tema-tema seputar pluralisme itu dan notabene juga sebagiannya berasal dari kalangan minoritas.
Benar kata Yenny Wahid, bahwa di kalangan pendukung Anies ada kalangan Kristen taat. Selain itu, Anies sendiri adalah tokoh Islam moderat yang notabene pernah menjadi rektor Universitas Paramadina. Akan beda jika Anies memang punya rekam jejak kalangan radikal.
Terbukti kemudian Anies pun mampu membuat iklan politik yang baik sekali terkait dengan soal pluralisme ini. Di sinilah titik lemah terkuak. Tema-tema pluralisme yang jorjoran dikedepankan tidak saja gagal menarik simpati khalayak rakyat di level bawah, tetapi juga menjadi tidak terlalu istimewa bagi kalangan khalayak rakyat di level menengah.
Bahkan, kalangan menengah merasa adanya nuansa simpatik dari Anies-Sandi. Ahok pun kalah set di dua segmen tersebut.
Melawan dengan Alasan
Bagi sebagian kalangan, populisme yang menyeruak digerakkan terutama oleh isu SARA. Bisa jadi. Namun, apakah seutuhnya benar demikian? Sekarang kita bayangkan seandainya petahana diterjang oleh isu SARA, sementara dia tidak menunjukkan gelagat kontroversial sedikit pun terkait SARA, apakah dia akan mudah kehilangan simpati?
Bayangkan juga seandainya petahana tidak menunjukkan sikap arogan kerap dengan kata-kata tidak simpatik mulai kepada seorang ibu yang disebut maling, hingga ulama besar sekelas KH Maruf Amin yang dituduh berbohong—apakah terjangan isu SARA akan membuatnya mudah luluh lantak?
Bayangkan pula misalnya semua janji-janji kepada akar rumput dijalankan dengan amat memuaskan dan bukannya malah menerbitkan dendam kesumat karena dibohongi, apakah isu SARA akan mudah membalikkan pilihan?
Jawabannya mudah saja, isu SARA tidak akan banyak berarti jika Ahok tidak ada masalah dengan isu tersebut, tetap berada dalam garis yang sama dengan rakyat kebanyakan dan sanggup membangun kepercayaan yang kokoh dengan mereka. Namun, hal-hal di atas tidak terjadi.
Akibatnya Ahok justru dianggap pemimpin yang tidak lagi menjadi bagian dari mereka. Inilah yang kemudian menjadi sebuah pilihan rasional untuk melakukan perubahan kepemimpinan di Jakarta.
Singkatnya ini adalah cerminan perlawanan atas keterasingan, kesenjangan, dan berbagai ketidaknyamanan hidup. Bagi yang lain, ini adalah reaksi atas kinerja medioker dan berbeda dengan yang dijanjikan.
Alasan perubahan jadi semakin kuat karena mereka melihat adanya alternatif dari kandidat lain. Namun demikian, memang beragam rasionalitas perlawanan itu akhirnya berkelindan dengan sentimen SARA, yang secara kronologis dipicu oleh Ahok sendiri. Isu ini menjadi membesar dan belakang efektif dalam membangkitkan sentimen identitas “kami versus kamu”.
Kerja-Kerja Populisme
Dalam konteks praktis, populisme bekerja di dua periode, yakni prapemilihan dan saat pemilihan. Hari-hari menjelang pencoblosan rakyat bahu membahu saling menginformasikan dan menguatkan pilihan.
Beberapa di antara mereka membuat simpul-simpul kelompok untuk menyebarluaskan agenda-agenda politik yang dirasa tepat bagi mereka. Atribut kampanye diusahakan sejadi-jadinya.
Tidak jarang mereka menolak hadir dalam undangan simpatik pihak petahana, bahkan kadang secara tidak simpatik mengusir tim kampanye Ahok (bahkan Ahok sendiri).
Sebaliknya muncul fenomena mudik massal untuk sekadar menghabiskan waktu beberapa menit di TPS. Dengan kesadaran penuh, mereka merembes masuk Jakarta dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri.
Menjelang hari H tidak saja mereka menolak serbuan sembako yang selama ini sukses besar dalam memengaruhi pilihan, namun mereka melaporkan dan menyebarluaskan melalui media sosial praktik-praktik semacam ini.
Tidak sedikit yang berujung pada adu mulut, bersitegang, dan saling usir. Dalam sejarah Pilkada DKI, dan pemilu pada umumnya, baru kali ini pembagian sembako menimbulkan perlawanan sengit.
Pada Hari H pencoblosan, TPS di beberapa wilayahnya berubah menjadi tempat pesta rakyat. Rakyat mengekspresikan kegembiraan dan menunggui dengan setia hasil perhitungan, karena khawatir akan ada kecurangan. Dan manakala kemenangan semakin tampak jelas, muncul pawai-pawai spontan di berbagai tempat.
Demikianlah, populisme dalam Pilgub DKI kali ini memang terasakan. Khusus bagi kaum marginal, pilgub kali ini benar-benar menjadi sarana menghukum “kaum elite” yang enggan mendengar. Semoga nantinya benar-benar akan ada perubahan dan tidak berakhir dengan kekecewaan.
(dam)