Menyadari Soft Power Perempuan
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PADA setiap 21 April, kaum perempuan seakan memperoleh spirit baru melalui peringatan Hari Kartini. Perayaan Hari Kartini seharusnya memang menjadi momentum kaum perempuan untuk lebih banyak tampil di ruang publik (public sphere). Spirit ini penting karena Raden Ajeng (RA) Kartini merupakan simbol perjuangan kaum perempuan. Kartini sukses mengubah jalan hidup kaum perempuan dari sekadar berkiprah di ranah domestik (domestic sphere) ke ranah publik.
Kiprah Kartini yang juga penting adalah memperjuangkan hak-hak pendidikan perempuan. Dengan pendidikan yang baik, perempuan bisa memainkan peran di ruang publik tanpa meninggalkan tugas di ranah domestik. Khusus perempuan berkeluarga tampak sekali ada peran ganda (double burden). Dampaknya, tugas perempuan terasa sangat berat.
Perbincangan mengenai peran sosial kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat kini bukan lagi persoalan tabu. Realitas juga menunjukkan semakin banyak kaum perempuan yang sukses menempati posisi-posisi penting dalam urusan publik. Kiprah kaum perempuan sejauh ini telah merambah jauh urusan di luar domestik. Sebagian kaum perempuan sukses menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kaum perempuan juga menjadi akademisi, pebisnis, kelompok profesional, dan aktivis pekerja sosial.
Hebatnya prestasi itu dicapai tanpa melupakan tanggung jawab perempuan dalam urusan domestik. Realitas tersebut jelas menjadi antitesis gambaran kaum perempuan masa Kartini. Perempuan masa kini juga sering dieksploitasi begitu rupa oleh perusahaan. Indikatornya, ada banyak perempuan yang dipajang sebagai aksesori dalam setiap pemasaran produk-jasa.
Mereka dipaksa keadaan sehingga harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia pemasaran (marketing). Itu belum termasuk cerita pilu dari kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami sebagian perempuan. Di samping berbagai kisah kelam, perempuan juga dicitrakan sebagai makhluk yang lemah lembut, irasional, mendahulukan perasaan, tidak berdaya, pasrah, mudah menangis, dan nrimo ing pandum. Perempuan dalam masyarakat tradisional juga digambarkan kaum yang bekerja di sekitar sumur, dapur, dan kasur.
Sudut pandang patriarkis itu tentu tidak menguntungkan, bahkan cenderung merendahkan kaum perempuan. Padahal jika dicermati secara seksama, perempuan dengan segala kelebihan yang dimiliki dapat memainkan peran yang signifikan. Apalagi kaum perempuan diberi anugerah Tuhan berupa struktur biologis dan psikologis yang berbeda dengan laki-laki. Dengan kelembutannya, perempuan sejatinya memiliki kekuatan lunak (soft power ) yang dahsyat. Itu berarti kaum perempuan seharusnya diposisikan sebagai salah satu kekuatan untuk melakukan perubahan sosial dalam kehidupan.
Pertanyaannya, mengapa perempuan penting diperhitungkan sebagai bagian dari gerakan perubahan sosial? Jawaban atas pertanyaan ini, pertama, secara sosial budaya pandangan masyarakat terhadap perempuan kini banyak berubah. Saat ini telah terjadi perkembangan sikap hidup yang mendorong terwujudnya egalitarianisme dan kesetaraan peran kaum perempuan dan laki-laki. Di berbagai forum ilmiah topik kesetaraan gender juga banyak diwacanakan. Bahkan dalam pengajian-pengajian keagamaan, soal kesetaraan gender juga menjadi topik pembahasan mubalig. Para kiai di pesantren juga tidak tabu lagi membicarakan tema gender, feminisme, dan emansipasi wanita.
Kedua, dengan anugerah Tuhan yang luar biasa, perempuan bisa menjadi ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Dalam suatu kata hikmah dikatakan, alumm madrasah al-ula (ibu adalah pendidik yang terutama). Pernyataan ini menegaskan bahwa ibu merupakan pendidik andal yang bisa melahirkan generasi emas masa depan bangsa. Sangat disayangkan, potensi ibu sebagai pendidik terbaik bagi buah hatinya sering kali belum disadari kaum perempuan. Itu karena masih banyak perempuan berkeluarga yang belum memperoleh pendidikan terbaik.
Ketiga, secara politik keterlibatan perempuan terbuka lebar. Bahkan sistem politik nasional mengatur mekanisme representasi gender di lembaga legislatif. Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengamanatkan setiap partai politik peserta pemilu wajib mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Jaminan keterwakilan hak-hak politik perempuan dalam undang-undang berdampak pada kiprah mereka dalam panggung politik nasional. Data legislator periode 2014-2019 menunjukkan peningkatan jumlah anggota DPR dari unsur perempuan. Pada periode ini ada 97 perempuan sukses menjadi legislator. Itu berarti jumlah legislator perempuan mencapai 17,32% dari total anggota DPR RI. Sementara dari 132 anggota DPD RI, ada 35 orang dari kaum perempuan (26,51%). Fakta ini menjadi pelajaran politik yang berharga betapa perempuan layak dipertimbangkan dalam politik.
Keempat, dalam banyak hal perempuan telah terbukti memiliki kekuatan yang efektif untuk memengaruhi kaum laki-laki. Dengan segala daya tariknya perempuan bisa memengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil kaum Adam. Kaum perempuan juga selalu menjadi pusat perhatian lawan jenisnya. Faktanya banyak kegiatan periklanan selalu menempatkan perempuan sebagai model.
Kelima, sedikit sekali kaum perempuan yang berpikir individualistis. Mereka umumnya memiliki sikap hidup komunalistis. Perempuan sangat mudah dikenali melalui keterlibatannya dalam perubahan mode sesuai dengan perkembangan style dan fashion. Meski tidak saling mengenal, kaum perempuan telah berkenalan dan saling menyapa melalui fashion. Kini kaum perempuan juga telah menjadi bagian komunitas virtual (virtual community). Mereka begitu terampil berinteraksi melalui dunia maya atau media sosial (medsos).
Semoga kaum perempuan semakin menyadari betapa besar kekuatan yang dimiliki. Kekuatan itu harus menjadi spirit meneruskan perjuangan Kartini. Kartini pasti bahagia melihat perempuan masa kini berdaya seperti yang diimpikannya.
Dosen UIN Sunan Ampel, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
PADA setiap 21 April, kaum perempuan seakan memperoleh spirit baru melalui peringatan Hari Kartini. Perayaan Hari Kartini seharusnya memang menjadi momentum kaum perempuan untuk lebih banyak tampil di ruang publik (public sphere). Spirit ini penting karena Raden Ajeng (RA) Kartini merupakan simbol perjuangan kaum perempuan. Kartini sukses mengubah jalan hidup kaum perempuan dari sekadar berkiprah di ranah domestik (domestic sphere) ke ranah publik.
Kiprah Kartini yang juga penting adalah memperjuangkan hak-hak pendidikan perempuan. Dengan pendidikan yang baik, perempuan bisa memainkan peran di ruang publik tanpa meninggalkan tugas di ranah domestik. Khusus perempuan berkeluarga tampak sekali ada peran ganda (double burden). Dampaknya, tugas perempuan terasa sangat berat.
Perbincangan mengenai peran sosial kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat kini bukan lagi persoalan tabu. Realitas juga menunjukkan semakin banyak kaum perempuan yang sukses menempati posisi-posisi penting dalam urusan publik. Kiprah kaum perempuan sejauh ini telah merambah jauh urusan di luar domestik. Sebagian kaum perempuan sukses menjadi pucuk pimpinan di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kaum perempuan juga menjadi akademisi, pebisnis, kelompok profesional, dan aktivis pekerja sosial.
Hebatnya prestasi itu dicapai tanpa melupakan tanggung jawab perempuan dalam urusan domestik. Realitas tersebut jelas menjadi antitesis gambaran kaum perempuan masa Kartini. Perempuan masa kini juga sering dieksploitasi begitu rupa oleh perusahaan. Indikatornya, ada banyak perempuan yang dipajang sebagai aksesori dalam setiap pemasaran produk-jasa.
Mereka dipaksa keadaan sehingga harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia pemasaran (marketing). Itu belum termasuk cerita pilu dari kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami sebagian perempuan. Di samping berbagai kisah kelam, perempuan juga dicitrakan sebagai makhluk yang lemah lembut, irasional, mendahulukan perasaan, tidak berdaya, pasrah, mudah menangis, dan nrimo ing pandum. Perempuan dalam masyarakat tradisional juga digambarkan kaum yang bekerja di sekitar sumur, dapur, dan kasur.
Sudut pandang patriarkis itu tentu tidak menguntungkan, bahkan cenderung merendahkan kaum perempuan. Padahal jika dicermati secara seksama, perempuan dengan segala kelebihan yang dimiliki dapat memainkan peran yang signifikan. Apalagi kaum perempuan diberi anugerah Tuhan berupa struktur biologis dan psikologis yang berbeda dengan laki-laki. Dengan kelembutannya, perempuan sejatinya memiliki kekuatan lunak (soft power ) yang dahsyat. Itu berarti kaum perempuan seharusnya diposisikan sebagai salah satu kekuatan untuk melakukan perubahan sosial dalam kehidupan.
Pertanyaannya, mengapa perempuan penting diperhitungkan sebagai bagian dari gerakan perubahan sosial? Jawaban atas pertanyaan ini, pertama, secara sosial budaya pandangan masyarakat terhadap perempuan kini banyak berubah. Saat ini telah terjadi perkembangan sikap hidup yang mendorong terwujudnya egalitarianisme dan kesetaraan peran kaum perempuan dan laki-laki. Di berbagai forum ilmiah topik kesetaraan gender juga banyak diwacanakan. Bahkan dalam pengajian-pengajian keagamaan, soal kesetaraan gender juga menjadi topik pembahasan mubalig. Para kiai di pesantren juga tidak tabu lagi membicarakan tema gender, feminisme, dan emansipasi wanita.
Kedua, dengan anugerah Tuhan yang luar biasa, perempuan bisa menjadi ibu sekaligus pendidik bagi anak-anaknya. Dalam suatu kata hikmah dikatakan, alumm madrasah al-ula (ibu adalah pendidik yang terutama). Pernyataan ini menegaskan bahwa ibu merupakan pendidik andal yang bisa melahirkan generasi emas masa depan bangsa. Sangat disayangkan, potensi ibu sebagai pendidik terbaik bagi buah hatinya sering kali belum disadari kaum perempuan. Itu karena masih banyak perempuan berkeluarga yang belum memperoleh pendidikan terbaik.
Ketiga, secara politik keterlibatan perempuan terbuka lebar. Bahkan sistem politik nasional mengatur mekanisme representasi gender di lembaga legislatif. Undang-Undang Nomor 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengamanatkan setiap partai politik peserta pemilu wajib mengajukan calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Jaminan keterwakilan hak-hak politik perempuan dalam undang-undang berdampak pada kiprah mereka dalam panggung politik nasional. Data legislator periode 2014-2019 menunjukkan peningkatan jumlah anggota DPR dari unsur perempuan. Pada periode ini ada 97 perempuan sukses menjadi legislator. Itu berarti jumlah legislator perempuan mencapai 17,32% dari total anggota DPR RI. Sementara dari 132 anggota DPD RI, ada 35 orang dari kaum perempuan (26,51%). Fakta ini menjadi pelajaran politik yang berharga betapa perempuan layak dipertimbangkan dalam politik.
Keempat, dalam banyak hal perempuan telah terbukti memiliki kekuatan yang efektif untuk memengaruhi kaum laki-laki. Dengan segala daya tariknya perempuan bisa memengaruhi keputusan-keputusan penting yang diambil kaum Adam. Kaum perempuan juga selalu menjadi pusat perhatian lawan jenisnya. Faktanya banyak kegiatan periklanan selalu menempatkan perempuan sebagai model.
Kelima, sedikit sekali kaum perempuan yang berpikir individualistis. Mereka umumnya memiliki sikap hidup komunalistis. Perempuan sangat mudah dikenali melalui keterlibatannya dalam perubahan mode sesuai dengan perkembangan style dan fashion. Meski tidak saling mengenal, kaum perempuan telah berkenalan dan saling menyapa melalui fashion. Kini kaum perempuan juga telah menjadi bagian komunitas virtual (virtual community). Mereka begitu terampil berinteraksi melalui dunia maya atau media sosial (medsos).
Semoga kaum perempuan semakin menyadari betapa besar kekuatan yang dimiliki. Kekuatan itu harus menjadi spirit meneruskan perjuangan Kartini. Kartini pasti bahagia melihat perempuan masa kini berdaya seperti yang diimpikannya.
(wib)