Jokowi, Soekarno, dan Palangkaraya

Senin, 17 April 2017 - 08:56 WIB
Jokowi, Soekarno, dan Palangkaraya
Jokowi, Soekarno, dan Palangkaraya
A A A
EKO SULISTYO
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden

KOTA Palangkaraya mendadak menjadi berita setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan wacana perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Palangkaraya di Kalimantan Tengah.

Wacana perpindahan ibu kota ke Palangkaraya sebenarnya bukan hal baru. Selain Presiden Jokowi, saat menjabat Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah mewacanakannya. Namun, ide awal pemindahan ibu kota ke Palangkaraya berasal dari Presiden Soekarno.

Ada empat pertimbangan yang melatarbelakangi Presiden Jokowi mengeluarkan wacana pemindahan ini. Pertama, perlunya pemerataan perekonomian antara Pulau Jawa dan pulau lain serta mencegah konsentrasi pembangunan di satu wilayah. Jika pusat pemerintahan dipindahkan, akan menumbuhkan pusat ekonomi dan pertumbuhan baru di sekitarnya.

Kedua, Kota Palangkaraya di Kalimantan tidak terancam oleh gempa bumi, karena bukan merupakan jalur gunung berapi ring of fire seperti melewati Pulau Jawa.

Ketiga, tersedianya tanah luas yang dikuasai negara dan statusnya jelas sehingga tidak perlu ada proses pembebasan tanah. Bahkan, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran telah menyiapkan lahan seluas 500.000 hektare untuk memfasilitasi pemindahan ini. Keempat, Jakarta sudah terlalu padat dan kemacetan yang sudah parah.

Namun, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, pemindahan ibu kota memerlukan dana besar dan akan memakan waktu panjang. Karena itu yang mungkin dapat dilakukan sementara ini hanya penetapan sebagai ibu kota pusat pemerintahan. Presiden Jokowi sendiri sudah meminta MenteriPPN/Kepala Bappenas mengkajinya.

Warisan Kota Kolonial


Pasca-Indonesia merdeka, bukan hanya Jakarta yang pernah menjadi ibu kota pusat pemerintahan. Yogyakarta pun pernah menjadi Ibu Kota Indonesia sejak 4 Januari 1946 sampai 27 Desember 1949, karena Jakarta diduduki Belanda. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, ibu kota kembali ke Jakarta.

Selain Yogyakarta, Kota Bukit Tinggi di Sumatera Barat juga pernah direncanakan menjadi ibu kota sementara jika Yogyakarta dikuasai Belanda.

Gagasan awal pemindahan ibu kota ke Palangkaraya adalah ide Soekarno pada tahun 1950-an. Soekarno yang sangat nasionalis merasa ibu kota dan kota-kota di Indonesia adalah desain dan warisan dari kolonialisme.

Karena itu, sebagai bangsa merdeka, Indonesia harus mempunyai ibu kota yang dibangun sendiri, bukan warisan kota kolonial.

Munculnya Kota Palangkaraya sebagai ibu kota pemerintahan sesuai dengan konsep tata ruang Indonesia merdeka yang direncanakan Soekarno. Sebuah tata ruang baru yang sangat ”Indonesia sentris”, bukan ”Jawa sentris” seperti warisan kolonial.

Pelabuhan sebagai pusat perdagangan akan dibangun di sepanjang pesisir Sumatera Utara-Kalimantan-Sulawesi. Sementara wilayah Jawa dan Bali dijadikan pusat lumbung pangan. Dalam rencana itu akan dibangun terowongan untuk menghubungkan antara Pulau Sumatera-Jawa dan Bali.

Dalam tata ruang pertahanan, Biak di Papua akan menjadi pusat pertahanan laut di Indonesia Timur. Bandung menjadi pusat pertahanan darat dan Kalimantan menjadi pusat pertahanan udara. Kota Palangkaraya menjadi pilihan strategis untuk menjadi ibu kota negara sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat pertahanan militer udara, karena letaknya berada di tengah-tengah Indonesia. Sementara Jakarta tetap menjadi kota perdagangan dan jasa internasional.

Saran untuk perpindahan ibu kota ke Palangkaraya kepada Soekarno datang dari Semaun, konseptor yang terlibat dalam pembangunan tata ruang kota-kota satelit Uni Soviet di wilayah Asia Tengah.

Kalimantan dijadikan pertimbangan karena sebagai pulau terbesar di Indonesia dan letaknya di tengah-tengah gugus pulau Indonesia. Di samping itu, untuk menghilangkan sentralistik Jawa yang telah menimbulkan ketidakpuasan dan pergolakan daerah seperti PRRI/Permesta.

Setelah setahun mempelajari tentang Kalimantan, keputusan diambil dengan cara yang unik. Pada suatu malam dalam sebuah pertemuan, Soekarno mengambil mangkuk putih di depan peta besar Kalimantan. Kemudian menaruh mangkuk itu ke tengah-tengah peta. Soekarno lalu berkata di hadapan semua orang, ”Itu Ibu Kota RI”, sambil menunjuk satu peta di tepi Sungai Kahayan.

Tata Kota Palangkaraya


Kota Palangkaraya merupakan bagian integral dari pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 10 Tahun 1957. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958, Parlemen Republik Indonesia tanggal 11 Mei 1959 mengesahkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959, yang menetapkan pembagian Provinsi Kalimantan Tengah dalam 5 (lima) Kabupaten dan Palangkaraya sebagai ibu kotanya.

Palangkaraya sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1958 adalah nama pengganti dari ibu kota provinsi yang dulunya bernama Pahandut, kini menjadi nama kecamatan di Palangkaraya.

Rencana kawasan pembangunan Ibu Kota Palangkaraya mencakup areal seluas 2.600 km persegi atau tiga kali lipat luas Jakarta. Lahan seluas itu dirasa cukup untuk menanggung beban sebuah kota metropolitan. Rencananya, seluruh tata Kota Palangkaraya akan selesai pada tahun 1975. ”Jadikanlah Kota Palangkaraya sebagai modal dan model,” ujar Soekarno.

Pada 17 Juli 1957, Presiden Soekarno melakukan seremoni pemancangan tiang pertama pembangunan Kota Palangkaraya. Ikut dalam peresmian ini Duta Besar Rusia DA Zukov, Duta Besar Amerika Serikat Hugh Cumming Jr, menteri-menteri, dan pegawai istana. Kota baru ini kemudian diberi nama Palangka Raya atau Palangkaraya.

”Palangka” sendiri mempunyai arti gandar atau tempat yang suci diturunkan dari langit ketujuh, dan ”Raya” artinya besar sehingga artinya tempat suci yang besar.
Nama Palangkaraya juga sebuah keyakinan bahwa manusia pertama yang menjadi nenek moyang Suku Dayak diturunkan ke bumi oleh Ranying Hatalla (Tuhan) dengan kendaraan Palangka Bulau. Palangka berarti gandar atau tempat sajen dan Bulau berarti emas.

Menurut Gubernur Kalimantan Tengah saat itu, Tjilik Riwut, di Indonesia hanya ada dua ibu kota yang memakai ”Raya”, yaitu Jakarta Raya dan Palangka Raya.

Menurutnya, Palangka Raya adalah ibu kota pertama di Indonesia yang murni dibangun oleh karya anak bangsa sendiri, di alam merdeka, dan bukan peninggalan Belanda.

Tata Kota Palangkaraya dirancang dengan memadukan transportasi darat dan sungaiserta menjadikan Sungai Kahayan sebagai urat nadi kota. Soekarno juga ingin Kahayan secantik sungai-sungai di Eropa. ”Janganlah membangun bangunan di sepanjang tepi Sungai Kahayan. Lahan di sepanjang tepi sungai tersebut hendaknya diperuntukkan bagi taman sehingga pada malam yang terlihat hanyalah kerlap-kerlip lampu indah pada saat orang melewati sungai tersebut,” kata Soekarno.

Seluruh jalan Palangkaraya dibuat lurus-lurus dan menuju satu bundaran besar di pusat kota. Jalan-jalan ini bisa diperlebar sampai empat belas jalur untuk pendaratan pesawat MIG buatan Uni Soviet untuk bersiap menghadapi serangan dari Inggris.
Proses pembangunan jalan dilakukan dengan mengeruk tanah gambut kemudian dilakukan pengerasan. Namun, proyek jalan baru dibangun 40 km dari rencana awal 174 km berhenti akibat pergolakan politik di Jakarta pada Oktober 1965.

Pada akhirnya ide membangun ibu kota di Palangkaraya gagal direalisasikan. K onsentrasi dan dana negara yang terbatas akibat tersedot untuk penyelenggaraan Asian Games (1962), Olimpiade Games of the New Emerging Forces (Ganefo), Gelora Bung Karno, Tugu Selamat Datang, Hotel Indonesia, dan Masjid Istiqlal. Seluruh proyek akhirnya terhenti sama sekali seiring pergantian kekuasaan dari Soekarno kepada Orde Baru Soeharto pada tahun 1965.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5077 seconds (0.1#10.140)