Mendidik Karakter (2)
A
A
A
Prof Dr Ir KH Mohammad Nuh
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
SEMUA amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai perilaku serta budi pekerti yang terpuji. Menghiasi amal di dunia dengan adab (karakter baik) menjadi tanda bahwa amal itu akan diterima kelak di akhirat. (KH Hasyim Asy‘ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal Muta‘allim)
Pada tulisan Mendidik Karakter (1) telah dibahas mengenai substansi karakter. Kini pertanyaannya, bagaimana cara mendidik karakter, dari mana harus memulainya dan kapan saat yang paling tepat.
Pertanyaan ini sungguh tidak mudah untuk dijawab melalui tulisan pendek, namun akan diurai secara garis besarnya.
Karakter mulia atau sering kali dipadankan dengan akhlak mulia, meliputi keyakinan dan pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan, maka proses pembentukannya setidaknya perlu dua hal utama selain pemahaman: keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation).
Keteladanan dan Habituasi (pembiasaan)
Sebagaimana tecermin dalam kisah tentang anak-anak sekolah dasar yang belajar tentang proses penanaman padi hingga menjadi beras (sebagaimana pada tulisan sebelumnya), anak-anak dapat melihat keteladanan hidup secara nyata dan ini berperan sebagai kanal transmisi nilai, norma, serta cinta, sebab kebaikan sebenarnya adalah wujud hakiki manusia.
Kebaikan itu panggilan fitrah—bakat bawaan setiap manusia. (Khan: 2005). Dan, agama diturunkan Tuhan untuk mengembangkan bakat bawaannya itu dan pendidikan menuntunnya agar terhindar dari salah arah.
Neurosains juga membuktikan bahwa otak manusia dirancang sedemikian rupa sehingga bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman; berbagi itu menyenangkan.
Dalam sebuah eksperimen pemindaian otak yang belum lama ini dilakukan, puluhan responden diberi uang USD128 dan kemudian dipersilakan untuk menabung atau menyumbangkan uangnya.
Pusat otak orang yang memilih untuk menyumbangkan uang mereka menjadi aktif, dan mereka merasa senang atas kedermawanan mereka. Bahkan, pusat otak beberapa orang responden lebih aktif ketika mereka bertindak altruistik (lawan dari egoisme) ketimbang ketika mereka menerima hadiah uang tunai. (Dapretto et al, “Understanding Emotions”: 2011).
Jadi, kebaikan itu sejatinya tak perlu atau harus dijejalkan dari luar. Anak-anak butuh cermin yang bisa memantulkan kilau kebaikan dalam diri mereka. Mereka butuh upaya dan stimulasi kreatif dari kita untuk mencuatkan fitrah kebaikan itu, mereka butuh keteladanan, sebagai role model (Lickona, 2012)
Yang kedua, pembiasaan (habituation), proses menanam kebiasaan tentang yang baik sehingga guru dan peserta didik memahami, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Karakter berasal dari kata charassein (bahasa Yunani) yang berarti “to engrave”, yakni melukis, mengukir, memahatkan. Kita ingin melukis pola pikir kebaikan di benak anak didik kita, mengukir cita rasa kebaikan di sanubari mereka, sehingga perilaku baik terpahatkan menjadi kebiasaan.
Para peneliti Massasuchet Institute of Technology (MIT) pada tahun 1990-an melakukan penelitian terhadap seekor tikus yang dimasukkan ke dalam pipa dan di sudut pipa diberi cokelat.
Setelah tikus dilepaskan dan mencari cokelat, kegiatan ini dilakukan berulang kali dan direkam aktivitas otaknya. Ternyata, pada awal-awal, amplitudo aktivitas otak tikus sangat tinggi, dan berangsur menurun sejalan dengan banyaknya pengulangan.
Hal ini menandakan bahwa pada saat awal, untuk mendapatkan cokelat tikus membutuhkan energi yang besar. Namun, setelah berulang kali dilakukan, sehingga menjadi kebiasaan, amplitudonya menurun.
Kalau tikus saja mengenali tentang kekuatan pembiasaan, tentu manusia yang memiliki tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi, pembiasaan akan menjadi kekuatan tersendiri (the power of habit). Hasil penelitian tersebut diadopsi oleh Charles Duhigg dalam bukunya The Power of Habit (2013). Intinya adalah bahwa pembiasaan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam pembentukan karakter.
Masa yang paling efektif dalam pembentukan karakter adalah pada usia formatif, usia emas (golden age). Di sini kita jadi ingat pesan orang tua lewat lagu kasidahan: belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu (at-ta‘allum fis shighari ka an-naqsyi ‘alal hajari).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Di sinilah pentingnya gerakan pendidikan anak usia dini (PAUD) yang telah dicanangkan tahun 2011 dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan memanfaatkan fasilitas umum (balai RT dan RW) dan keagamaan (masjid, musala, gereja, dan pura).
Pendekatan sistemik
Persoalan mendasarnya adalah anak-anak kita tidak berada dalam ruang yang steril dari berbagai pengaruh negatif. Bahkan sering kali energi negatifnya lebih kuat dibanding energi positif yang terpaparkan (exposure) kepada anak-anak kita.
Di sinilah pentingnya pendekatan sistemik dalam pembentukan karakter. Ada tiga wilayah utama yang menjadi sasaran, yaitu wilayah sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Pengendalian wilayah sekolah dan keluarga relatif lebih dapat dikendalikan dibandingkan wilayah masyarakat. Salah satu unsur wilayah masyarakat, adalah media massa (cetak dan elektronik) dan media sosial.
Di sinilah media memiliki peran yang khusus dalam pembentukan karakter. Media dalam menyiapkan dan meramu informasi yang akan disajikan ke publik haruslah: mendidik (educate), memberdayakan (empowering) dan memberikan pencerahan (enlightenment). Dan semua itu, bermuara untuk penguatan nasionalisme anak-anak kita. Istilahnya 3E (Educate, Empowering, dan Enlightement) dan 1 N (Nationalism).
Dari mana harus memulai
Dari sisi subjek dan waktu, tidak ada jawaban yang paling tepat kecuali mulai dari sekarang (now) dan dari diri sendiri (your self). Bahasa agamanya, Ibda’ binafsik. Kata nafs dalam konteks ini tidak saja berarti personal atau pribadi perorangan, melainkan bisa diperluas menjadi keluarga sendiri dan masyarakat lingkungan terdekat.
Di samping itu harus dilakukan perubahan paradigma, khususnya dalam sistem pendidikan. Prakarsa pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skills) saja tidaklah cukup. Namun, pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms) harus menjadi satu kesatuan. Meleburkan nilai-nilai moral yang relevan di semua mata pelajaran dan kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Intinya, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (humanizing the human being) dengan segala aspek yang melekatnya. Sebagaimana esensi Kurikulum 2013, yaitu meningkatkan kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skills), dan pengetahuan (knowledge) secara utuh.
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya
SEMUA amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai perilaku serta budi pekerti yang terpuji. Menghiasi amal di dunia dengan adab (karakter baik) menjadi tanda bahwa amal itu akan diterima kelak di akhirat. (KH Hasyim Asy‘ari dalam karya klasiknya, Adabul ‘Alim wal Muta‘allim)
Pada tulisan Mendidik Karakter (1) telah dibahas mengenai substansi karakter. Kini pertanyaannya, bagaimana cara mendidik karakter, dari mana harus memulainya dan kapan saat yang paling tepat.
Pertanyaan ini sungguh tidak mudah untuk dijawab melalui tulisan pendek, namun akan diurai secara garis besarnya.
Karakter mulia atau sering kali dipadankan dengan akhlak mulia, meliputi keyakinan dan pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan, maka proses pembentukannya setidaknya perlu dua hal utama selain pemahaman: keteladanan (role model) dan pembiasaan (habituation).
Keteladanan dan Habituasi (pembiasaan)
Sebagaimana tecermin dalam kisah tentang anak-anak sekolah dasar yang belajar tentang proses penanaman padi hingga menjadi beras (sebagaimana pada tulisan sebelumnya), anak-anak dapat melihat keteladanan hidup secara nyata dan ini berperan sebagai kanal transmisi nilai, norma, serta cinta, sebab kebaikan sebenarnya adalah wujud hakiki manusia.
Kebaikan itu panggilan fitrah—bakat bawaan setiap manusia. (Khan: 2005). Dan, agama diturunkan Tuhan untuk mengembangkan bakat bawaannya itu dan pendidikan menuntunnya agar terhindar dari salah arah.
Neurosains juga membuktikan bahwa otak manusia dirancang sedemikian rupa sehingga bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman; berbagi itu menyenangkan.
Dalam sebuah eksperimen pemindaian otak yang belum lama ini dilakukan, puluhan responden diberi uang USD128 dan kemudian dipersilakan untuk menabung atau menyumbangkan uangnya.
Pusat otak orang yang memilih untuk menyumbangkan uang mereka menjadi aktif, dan mereka merasa senang atas kedermawanan mereka. Bahkan, pusat otak beberapa orang responden lebih aktif ketika mereka bertindak altruistik (lawan dari egoisme) ketimbang ketika mereka menerima hadiah uang tunai. (Dapretto et al, “Understanding Emotions”: 2011).
Jadi, kebaikan itu sejatinya tak perlu atau harus dijejalkan dari luar. Anak-anak butuh cermin yang bisa memantulkan kilau kebaikan dalam diri mereka. Mereka butuh upaya dan stimulasi kreatif dari kita untuk mencuatkan fitrah kebaikan itu, mereka butuh keteladanan, sebagai role model (Lickona, 2012)
Yang kedua, pembiasaan (habituation), proses menanam kebiasaan tentang yang baik sehingga guru dan peserta didik memahami, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Karakter berasal dari kata charassein (bahasa Yunani) yang berarti “to engrave”, yakni melukis, mengukir, memahatkan. Kita ingin melukis pola pikir kebaikan di benak anak didik kita, mengukir cita rasa kebaikan di sanubari mereka, sehingga perilaku baik terpahatkan menjadi kebiasaan.
Para peneliti Massasuchet Institute of Technology (MIT) pada tahun 1990-an melakukan penelitian terhadap seekor tikus yang dimasukkan ke dalam pipa dan di sudut pipa diberi cokelat.
Setelah tikus dilepaskan dan mencari cokelat, kegiatan ini dilakukan berulang kali dan direkam aktivitas otaknya. Ternyata, pada awal-awal, amplitudo aktivitas otak tikus sangat tinggi, dan berangsur menurun sejalan dengan banyaknya pengulangan.
Hal ini menandakan bahwa pada saat awal, untuk mendapatkan cokelat tikus membutuhkan energi yang besar. Namun, setelah berulang kali dilakukan, sehingga menjadi kebiasaan, amplitudonya menurun.
Kalau tikus saja mengenali tentang kekuatan pembiasaan, tentu manusia yang memiliki tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi, pembiasaan akan menjadi kekuatan tersendiri (the power of habit). Hasil penelitian tersebut diadopsi oleh Charles Duhigg dalam bukunya The Power of Habit (2013). Intinya adalah bahwa pembiasaan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam pembentukan karakter.
Masa yang paling efektif dalam pembentukan karakter adalah pada usia formatif, usia emas (golden age). Di sini kita jadi ingat pesan orang tua lewat lagu kasidahan: belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu (at-ta‘allum fis shighari ka an-naqsyi ‘alal hajari).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Di sinilah pentingnya gerakan pendidikan anak usia dini (PAUD) yang telah dicanangkan tahun 2011 dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat dan memanfaatkan fasilitas umum (balai RT dan RW) dan keagamaan (masjid, musala, gereja, dan pura).
Pendekatan sistemik
Persoalan mendasarnya adalah anak-anak kita tidak berada dalam ruang yang steril dari berbagai pengaruh negatif. Bahkan sering kali energi negatifnya lebih kuat dibanding energi positif yang terpaparkan (exposure) kepada anak-anak kita.
Di sinilah pentingnya pendekatan sistemik dalam pembentukan karakter. Ada tiga wilayah utama yang menjadi sasaran, yaitu wilayah sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Pengendalian wilayah sekolah dan keluarga relatif lebih dapat dikendalikan dibandingkan wilayah masyarakat. Salah satu unsur wilayah masyarakat, adalah media massa (cetak dan elektronik) dan media sosial.
Di sinilah media memiliki peran yang khusus dalam pembentukan karakter. Media dalam menyiapkan dan meramu informasi yang akan disajikan ke publik haruslah: mendidik (educate), memberdayakan (empowering) dan memberikan pencerahan (enlightenment). Dan semua itu, bermuara untuk penguatan nasionalisme anak-anak kita. Istilahnya 3E (Educate, Empowering, dan Enlightement) dan 1 N (Nationalism).
Dari mana harus memulai
Dari sisi subjek dan waktu, tidak ada jawaban yang paling tepat kecuali mulai dari sekarang (now) dan dari diri sendiri (your self). Bahasa agamanya, Ibda’ binafsik. Kata nafs dalam konteks ini tidak saja berarti personal atau pribadi perorangan, melainkan bisa diperluas menjadi keluarga sendiri dan masyarakat lingkungan terdekat.
Di samping itu harus dilakukan perubahan paradigma, khususnya dalam sistem pendidikan. Prakarsa pengalihan pengetahuan dan keterampilan (transfer of knowledge and skills) saja tidaklah cukup. Namun, pengalihan nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial (transmission of cultural values and social norms) harus menjadi satu kesatuan. Meleburkan nilai-nilai moral yang relevan di semua mata pelajaran dan kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Intinya, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia (humanizing the human being) dengan segala aspek yang melekatnya. Sebagaimana esensi Kurikulum 2013, yaitu meningkatkan kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skills), dan pengetahuan (knowledge) secara utuh.
(dam)