Pilkada DKI: Mencari Pemimpin Pemerintahan

Rabu, 12 April 2017 - 08:50 WIB
Pilkada DKI: Mencari Pemimpin Pemerintahan
Pilkada DKI: Mencari Pemimpin Pemerintahan
A A A
Prijanto
Wagub DKI 2007-2012

”Pilkada DKI bukan mencari Pemimpin Agama, tetapi mencari Pemimpin Pemerintahan, seperti apa? Kepribadian kandidat mencakup moral, karakter, kapasitas, dan kepemimpinannya sebagai syarat utama baru program”.

Seputar akhir Maret 2017, di medsos beredar video seorang tokoh terkait Pilkada DKI. Isinya, minimal ada 5 kalimat kunci, kurang lebih; Pilkada DKI (1) jangan gunakan isu SARA (2) sama dengan pilkada lainnya (3) memilih pemimpin pemerintahan (4) bukan memilih pemimpin agama (5) untuk mendapatkan pemimpin yang dapat melaksanakan tugas. Hakikatnya, isi video bagus, edukatif agar rakyat menjaga persatuan bangsa dan melek politik.

Secara visual, yang menyampaikan dalam video tersebut Ibu Megawati, Ketum PDI-Perjuangan, Presiden RI ke-5. Karena belum dikonfirmasi atau tabayun, dan era hoax di medsos, video tersebut bisa benar Ibu Mega atau bukan. Sebab saat ini teknologi biasa dibuat alat mainan dan rekayasa mulai yang lucu sampai dengan alat kepentingan politik yang edukatif dan sadis tidak beradab. Karena itu, kita tidak membicarakan disampaikan siapa ajakan bagus tersebut.

Kita mengesampingkan siapa yang bicara. Pepatah: ”Jangan lihat siapa yang bicara tetapi simak isi yang dibicarakan”. Jadi, kita menyimak isi yang disampaikan. Sebab kehormatan itu terletak pada bobot nilai ucapan, apa yang dibicarakan, bukan status sosial orang yang bicara. Pejabat dan orang kaya pun bisa menyampaikan hal-hal yang berbobot atau tidak berbobot, begitu pula orang biasa.

Sekali lagi, apa yang disampaikan bagus sebagai pencerahan, sayang belum ada penjelasan. Bagi yang mendengarkan pasti masih bertanya. Pemimpin pemerintahan seperti apa, agar bisa menyelesaikan tugasnya? Hasrat ingin sumbang saran tergugah untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tulisan ini menyodorkan gambaran sosok pemimpin pemerintahan harapan rakyat. Sosok yang disodorkan, hasil diskusi beberapa elemen masyarakat seperti para aktivis, pakar, purnawirawan TNI/Polri, mantan menteri dan anggota DPR RI serta elemen masyarakat lainnya.

Diskusi yang diselenggarakan dari satu tempat pindah ke tempat lain, oleh elemen campuran tersebut akhirnya mengkristal. Beberapa elemen masyarakat tersebut ingin berbakti demi negeri. Mereka berkumpul, ingin berpikir dan berbuat untuk kemaslahatan umat. Dikontraklah rumah, diberinya nama Rumah Amanah Rakyat.

Untuk mendapatkan pemimpin pemerintahan yang mampu melaksanakan tugas secara paripurna, diperlukan langkah "Mencerahkan Masyarakat Memilih Pemimpin”. Rumah Amanah Rakyat merumuskan sosok pemimpin paripurna yang diinginkan rakyat agar bisa membawa kehidupan rakyat yang aman dan sejahtera. Pemimpin pemerintahan yang paripurna adalah ”Pemimpin yang Pancasilais, Jujur, Bersih, Tegas, Cerdas dan Beradab”.

=Moral Pancasilais=
Pada tataran filosofi, moral Pancasilais harus dimiliki setiap pemimpin bangsa Indonesia. Mengapa, karena Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Syarat dasar pemimpin pemerintahan harus Pancasilais, juga pernah dicanangkan oleh Jenderal TNI Purn Djoko Santoso dalam deklarasi ”Gerakan Indonesia Memilih” pada 18 Agustus 2016 di Balai Sidang JCC. Ke depan, rakyat Indonesia harus dididik untuk memilih pemimpin paripurna yang memiliki moral Pancasila.

Nilai-nilai setiap sila harus melekat sebagai way of life dari seorang pemimpin. Hubungan hierarkis piramidal atau saling mengait antarsila harus dipahami, dihayati dan dilaksanakan dalam kesehariannya. Nilai-nilai agama dalam sila ke-1 harus mendasari sila ke-2, 3, 4, dan 5. Artinya, semua aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan harus dikelola berdasarkan nilai-nilai agama. Begitu pula sila ke-2 terhadap sila-sila di bawahnya dan seterusnya harus saling terkait.

Sering orang sinis dan mencemooh, seperti apa sih kriteria moral seorang Pancasilais? Sesungguhnya, mau dibuat gampang ya gampang, mau dibuat susah sebagai nilai yang mengawang bak awan dengan bahasa dewa bisa juga. Namun, sebagai edukasi kepada rakyat, sesungguhnya cukup dilakukan secara sederhana. Tidak perlu kita memakai bahasa dewa yang muluk-muluk. Menggunakan bahasa rakyat dan contoh riil dalam hidup keseharian akan lebih mudah dicerna.

Orang yang memiliki sifat, pikiran, dan tindakan dalam kesehariannya seperti taat menjalankan agamanya dan menghormati agama orang lain, pasti memiliki rasa hormat kepada siapa pun dan memanusiakan orang sebagai manusia yang dimuliakan. Dia akan selalu menjaga perilaku dan tutur kata yang menumbuhkan kedamaian serta rasa persatuan dan kesatuan, memperjuangkan kepentingan orang banyak dengan mengedepankan cara-cara musyawarah untuk mufakat dan selalu berpikir untuk kesejahteraan rakyat. Kesemua itu kiranya bisa sebagai salah satu contoh untuk menggambarkan sosok Pancasilais.

Sebaliknya, ada orang yang tidak taat, bahkan menjelek-jelekkan agamanya sendiri, dan melakukan penistaan agama orang lain, tidak memanusiakan rakyatnya sebagai manusia terutama terhadap rakyat kecil. Ucapan dan tindakannya pun sektarian, sering mengucapkan kata-kata kasar dan kotor yang menimbulkan konflik, berperilaku arogan atas jabatan dan kekuasaan yang disandangnya, serta tidak mengenal kompromi atau musyawarah dan jauh dari pikiran dan perbuatan untuk menyejahterakan rakyat tanpa membeda-bedakan golongan. Kalau toh dia berbuat kebaikan karena ada pamrih pribadi. Orang semacam ini jelas tidak pantas disebut Pancasilais.

Pilkada DKI pada hakikatnya memilih pemimpin pemerintahan yang disebut gubernur kepala daerah. Sebagai kepala daerah, dia adalah pemimpin. Pemimpin dari rakyat Jakarta. Gubernur memiliki tugas dan tanggung jawab yang diatur oleh undang-undang. Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut, gubernur harus memiliki kemampuan memimpin, untuk memengaruhi, mengajak, membimbing dan mengarahkan rakyatnya. Gubernur yang paripurna minimal harus memiliki karakter dan kapasitas antara lain: jujur, bersih, tegas, cerdas, serta beradab.

=Kepemimpinan=
Dalam perjalanan Rumah Amanah Rakyat (RAR), sejak dideklarasikan 24 Agustus 2016, banyak elemen masyarakat datang mengadu, berdiskusi, pinjam tempat untuk berorasi menumpahkan unek-unek dan diskusi publik. RAR menyerap aspirasi masyarakat yang datang, bahwa di samping masalah moral dan kapasitas, rakyat Jakarta memiliki kriteria khusus untuk Gubernur DKI mendatang. Kriteria khusus tersebut terkait masalah kepemimpinan.

Apa yang disampaikan warga Jakarta yang datang di Rumah Amanah Rakyat, bisa dipahami dan diterima sebagai impian rakyat yang sebenarnya. Pasalnya sederhana saja, karena apa yang disampaikan adalah kondisi faktual di mana rakyat melihat dan merasakan. Orang-orang yang memiliki empati pasti akan bisa memahami. Bahwasanya, rakyat yang datang di RAR, menolak gubernur yang korup, arogan, dan tukang gusur.

=Menolak Pemimpin Korup=
Rakyat itu cerdas. Kadang kala justru ada pejabat yang tidak cerdas. Mengapa, kadang kala dan patut dinilai ada yang suka menganggap rakyat tidak cerdas sehingga tidak logis dalam memberikan pernyataan. Bisa jadi, dikiranya rakyat tidak ada pakarnya. Bisa jadi, dikiranya rakyat tidak bisa menyelidiki dan tidak punya data. Asumsi seperti inilah yang membuat pernyataan pejabat yang suka-suka dan tidak logis sehingga menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat.

Kasus yang mencuat di media massa seperti Taman BMW, Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), tanah Cengkareng dan lain-lain walau masih status dugaan, belum ada kekuatan hukum, namun rakyat sudah mendengar dan mengerti. Memang para koruptor itu pada umumnya adalah manusia licik. Mereka berlindung di balik hukum ”asas praduga tak bersalah” dan ”perlunya dua alat bukti”. Koruptor bilang ”Kejar dan tangkaplah daku” sambil tersenyum mengejek.

Menolak pemimpin arogan. Pemimpin arogan adalah pemimpin yang sombong, angkuh karena jabatan dan kekuasaannya. Ciri yang paling menonjol, selalu merasa dirinya paling benar. Setiap ada kesalahan selalu dilemparkan kepada orang lain. Pemimpin yang tidak pernah dan sulit untuk bersedia minta maaf. Selalu berkelit dan bersilat lidah mencari kebenaran dirinya.

Menolak pemimpin tukang gusur. Sesungguhnya tidak ada rakyat yang tidak setuju dengan penataan kota. Jakarta yang dulunya kampung memang perlu ditata. Penataan kota memang salah satu tugas gubernur dalam pembangunan. Namun, jika pembangunan menerjang dan menghilangkan nilai-nilai yang ada, kegiatan bukan lagi pembangunan tetapi perusakan. Apalagi merusak hak-hak rakyat sebagai manusia.

Andaikan penataan atau penggusuran dilakukan seperti membebaskan tanah untuk proyek Banjir Kanal Timur (BKT), tentu permasalahan sosial tidak akan terjadi. Rakyat diajak bicara bukan dengan ancaman, sosialisasi untuk musyawarah, inventarisasi dan pemetaan tanah dan pencocokan, apa pun status tanah dan benda di atas tanah dihargai sesuai aturan. Jika terjadi permasalahan diselesaikan secara konsinyasi dan sebagainya, rakyat pasti menerimanya. Kasus seperti inilah yang membuat rakyat menolak pemimpin yang main gusur.

=Rekomendasi=
Ada persyaratan bersifat nonfisik dan fisik untuk para calon gubernur. Aspek nonfisik meliputi moral, karakter, kapasitas, dan kepemimpinan, sedangkan aspek fisik adalah perangkat lunak berbentuk program yang ditawarkan. Aspek nonfisik bisa juga disebut kepribadian, merupakan faktor yang melekat pada pribadi kandidat. Aspek fisik, berupa program, yang belum tentu murni pemikiran kandidat. Program bisa disusun oleh tim pakar. Korelasi keduanya adalah, aspek kepribadian merupakan faktor utama untuk bisa tercapainya sasaran program.

Adu program dilakukan debat antarkandidat. Lalu adu aspek kepribadian di mana rakyat bisa melihat? Bagi yang berpendapat adu program dalam pilkada adalah utama, kiranya perlu berpikir dua kali. Pepatah the man behind the gun memberikan makna yang sangat penting. Sebaik-baik program, manusia atau gubernur yang mengoperasikan sarana dan prasarana sangat menentukan keberhasilan pencapaian program.

Konon konsep perencanaan Pemprov DKI mendapatkan piala penghargaan dari Bappenas. Tetapi ketika aspek penyerapan anggaran atau pelaksanaan program dinilai oleh Kemendagri dapat nomor di kelompok buncit. Inilah contoh riil, bahwasanya program bukanlah faktor utama. Moral Pancasilais, karakter yang jujur, bersih, tegas dan beradab, kapasitas yang cerdas dan kepemimpinan yang tidak KKN, arogan dan main gusur merupakan faktor utama dan harapan rakyat. Bagi kandidat, siapkanlah diri untuk memiliki syarat tersebut. Bagi rakyat, selamat memilih demi Jakarta yang lebih aman dan sejahtera sehingga maju kotanya, bahagia warganya. InsyaAllah. Aamiin.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5885 seconds (0.1#10.140)