Teror Korupsi

Rabu, 12 April 2017 - 08:30 WIB
Teror Korupsi
Teror Korupsi
A A A
Hifdzil Alim
Pengamat Hukum dan Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM

SUBUH, 11 April 2017 sekitar pukul 05.10 WIB. Suasana dingin, tak ada firasat sebelumnya. Sampai peristiwa jahat tersebut terjadi. Dua orang berkendara sepeda motor menyiramkan air keras. Tepat ke muka penyidik KPK, Novel Baswedan. Kelopak mata kiri bengkak. Pelaku, si pengecut itu, melarikan diri melalui kegelapan.

Saat ini Novel sedang menyidik dugaan kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan (e-KTP). Serangan terhadapnya sangat biadab. Barbar. Terkutuk. Bayangkan jika air raksa melukai kedua matanya, menyebabkan kebutaan, mungkin dia tak dapat lagi melakukan tugasnya sebagai penyidik. Tak bisa membaca berkas, menanyai saksi, menggurat sangkaan. Akhirnya, pembongkaran korupsi e-KTP terhambat. Mandek.

=Serangan Balik Koruptor=
Sampai dibuktikan sebaliknya, serangan terhadap penyidik KPK bukanlah serangan acak. Teror air keras itu patut diduga sebagai bentuk serangan balik koruptor terhadap pemberantasan korupsi. Tindakan yang terencana. Terorganisasi. Bukan seketika. Kejahatan yang disiapkan agar aparat penegak hukum pemberantasan korupsi tak kuasa melaksanakan sumpah jabatannya.

Kalau sudi mengingat kembali, serangan balik koruptor dalam skala umum terjadi beberapa kali. Di daerah ada banyak. 20 Januari 2015, di Bangkalan Madura, Jawa Timur, aktivis anti-korupsi Mathur Husairi, ditembak di depan rumahnya. Modusnya mirip dengan peristiwa Novel, pelaku bermotor menembak Husairi. Kena ke perut tembus ke usus. Kala itu ia sedang gencar berkampanye penuntasan kasus suap jual-beli gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur, Bangkalan.

Pada 15 Februari 2015, di Medan, Sumatera Utara, aktivis antikorupsi Muchtar Efendi juga ditembak. Minggu dini hari waktu itu, tatkala ia turun dari mobil, empat orang mengendarai kendaraan roda dua mendekatinya. Lalu menembaknya. Tangan dan pahanya terluka.

Minggu siang, 10 Maret 2013, aktivis antikorupsi Pati Fariq Noor Hidayat, Jawa Timur, dibacok di depan rumahnya. Ia getol menyuarakan dugaan korupsi tukar guling tanah seluas 11.954 meter persegi dan lahan tambak seluas 20.400 meter persegi. Bagian tengkuk leher, muka, dan tangannya terkena sabetan akibat bacokan. Itu tiga kasus saja yang terekam sebagai contoh serangan fisik terhadap pejuang antikorupsi. Yang tak tercatat masih banyak.

Tak hanya serangan balik secara fisik, serangan balik nonfisik yang berpotensi melemahkan penindakan korupsi menjuntai. UU Nomor 30/2002 sebagai undang-undang organik dari KPK mau direvisi. Dewan Pengawas, izin penyadapan, dan pelarangan merekrut penyidik independen, misalnya, adalah perihal yang mau dimasukkan dalam rencana perubahan undang-undang. Penyadapan dan penyidik independen merupakan urat nadi komisi antirasuah.

Meski dijamin oleh konstitusi, amendemen terhadap UU Nomor 30/2002 dengan mengubah institusi penasihat KPK menjadi Dewan Pengawas, penyadapan yang memerlukan izin administratif ketua pengadilan, dan tidak diperbolehkannya penyidik independen adalah usaha yang sok beradab. Seakan-akan ingin memperkuat KPK, namun sejatinya membunuh dengan perlahan.

=Lindungi Antikorupsi=
Apa yang terjadi dengan Novel dan semua aktivis antikorupsi, tak menutup kemungkinan juga akan terjadi ke semua pegiat serta masyarakat–baik secara pribadi maupun kelompok–yang berteriak lantang melawan korupsi. Referensi tentang bagaimana serangan balik terhadap upaya antikorupsi masih terpatri dengan jelas di memori.

Katakanlah kasus kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Mulai kasus yang menimpa Bibit Samad Riyanto, Chandra Martha Hamzah, Abraham Samad, hingga Bambang Widjojanto. Bahkan untuk sebuah tindak pidana yang absurd sekalipun–dalam lingkup ideal yang seharusnya tidak dipidanakan, tetap dikenakan. Tujuannya satu: memadamkan api perlawanan terhadap korupsi.

Untuk itu ketika nalar waras masih duduk di kepala, setiap tindakan teror korupsi, tindak-tanduk yang melemahkan pemberantasan korupsi, harus dikutuk! Semua harus melawan! Dalam kapasitasnya masing-masing. Kali ini Presiden, Polri, dan pimpinan KPK patut mengambil peran lebih banyak.

Presiden tidak punya pilihan kecuali memerintahkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar menyelidiki dan menyidik kasus teror fisik ke penyidik KPK dengan tuntas. Ini harus ditekankan. Poin lain dari perintah Presiden adalah untuk mengetahui di mana posisi keberpihakannya. Dukungan konkret kepala negara sangat penting di tengah gempuran pelemahan ke lembaga pemberantas korupsi dan gerakan antikorupsi.

Di samping itu, kasus teror korupsi secara fisik jarang terbongkar atau susah dibongkar. Namun, semoga bukan karena tak mau dibongkar. Jika kasus ini tak dirampungkan dengan serius, tak ditemukan siapa otaknya, maka keamanan para pegiat dan pejuang antikorupsi berada di tubir ancaman. Bayangkan, pada penyidik KPK yang dipersenjatai saja para rampok, si pengecut itu, gelap mata, apalagi ke masyarakat sipil.

Tanggung jawab selanjutnya ada di pundak pimpinan KPK. Komisioner harus lebih memperhatikan kondisi internal. Tugas utama KPK adalah penindakan. Berdasarkan perintah undang-undang, setiap kewenangan yang diberikan ke penyelidik, penyidik, penuntut, dan pegawai KPK berasal dari kewenangan delegatif pimpinan yang diamanatkan oleh undang-undang. Tentunya, dengan kekuasaan penindakan, para pimpinan KPK semestinya lebih banyak menghabiskan waktu untuk menuntaskan kasus korupsi. Bergumul dengan berkas di kantor. Menemani penyelidik, penyidik, penuntut, dan tempat berteduh bagi pegawai. Itu penting.

Tugas pencegahan, kampanye antikorupsi, diskusi, seminar, dan seterusnya delegasikanlah ke direktorat yang memang didesain untuk itu. Lagi pula, saat ini tugas-tugas pencegahan juga sudah diperankan oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi masyarakat, perguruan tinggi, lembaga riset, atau kelompok studi antikorupsi. Dengan ini, semestinya fokus KPK lebih digeser ke koordinat menindak.

Pimpinan KPK juga harus lebih melindungi penyelidik, penyidik, penuntut, serta pegawai KPK sepanjang dalam koridor pemberantasan korupsi. Camkanlah. Pimpinan tanpa keempat unsur tersebut tak akan jadi apa-apa. Mereka yang berdarah-darah menggawangi, berperan sebagai kaki, tangan, dan mata KPK, walau pimpinan duduk silih berganti per periode. Ini sekaligus mengingatkan, pimpinan jangan sampai melakukan blunder dengan membuat kebijakan yang dapat menggembosi semangat para pegawai KPK–dari dalam.

Terakhir pada bagian ini, rakyat menuntut negara untuk turun tangan melindunginya. Bukan karena rakyat takut, melainkan karena konstitusi mewajibkannya. Bukan karena rakyat lebay, melainkan karena rakyat telah membayar pajak dan membiayai negara untuk bekerja sesuai konstitusi. Dan begitulah hukumnya. Korupsi dan segala macam bentuk terornya adalah musuh bersama. Kita sudah maju melawan, maka tak boleh ada kata mundur! *
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0669 seconds (0.1#10.140)