Suku Mante dan Eksistensi Masyarakat Pedalaman

Selasa, 11 April 2017 - 08:31 WIB
Suku Mante dan Eksistensi Masyarakat Pedalaman
Suku Mante dan Eksistensi Masyarakat Pedalaman
A A A
Bagong Suyanto
Dosen FISIP Universitas. Pernah meneliti suku pedalaman di Teluk Bintuni, Papua

VIDEO yang tanpa sengaja merekam sosok misterius, makhluk kecil mirip Hobbit dalam film Lord of the Ring di hutan Aceh, dalam beberapa hari terakhir menjadi viral di dunia maya. Hobbit dari Serambi Mekkah yang diduga suku Mante itu diketahui dari hasil rekaman komunitas jelajah alam atau penggemar motorcross, Ferdi Amir.

Video yang sedikitnya telah ditonton dua juta kali itu membuktikan bahwa keberadaan suku Mante bukanlah mitos. Mereka adalah suku pedalaman yang tinggal di hutan belantara Aceh Besar, yang tampaknya merupakan komunitas asli lokal yang belum tersentuh oleh modernitas.

Di balik segala gemerlap kemajuan yang telah berhasil dicapai bangsa Indonesia, keberadaan suku pedalaman seperti suku Mante memang melahirkan situasi yang dilematis. Di satu sisi, sebagian pihak merasa pemerintah harus bertanggung jawab untuk menangani dan membantu proses adaptasi suku-suku pedalaman agar tidak tergerus perubahan.

Di sisi lain, sebagian pihak justru mengingatkan agar pemerintah tidak melakukan intervensi yang berlebihan, sebab dikhawatirkan malah akan kontraproduktif bagi eksistensi dan kelangsungan kehidupan suku pedalaman tersebut.

Sebagai sebuah komunitas, suku pedalaman biasanya memiliki keunikan dan karakteristik sosial-budaya yang sangat dipengaruhi setting budaya dan interaksi mereka dengan lingkungan alam dan proses perubahan lingkungan sosialnya. Dibandingkan masyarakat dataran rendah, proses perubahan yang terjadi di masyarakat pedalaman dalam banyak hal berjalan lebih lambat.

Menurut Tania Murray Li (2002), tiga hal yang menandai kehidupan penduduk pedalaman adalah, pertama, berkaitan dengan sifat dan akibat dari ketersisihan atau keterpinggiran dan proses yang terkait dengan "tradisionalisme" dan proses transformasi yang acap menyasar wilayah pedalaman.

Sudah banyak bukti memperlihatkan bahwa di berbagai daerah pedalaman di Indonesia sering kali tumbuh sebagai wilayah yang tersisih dan dianggap tertinggal, sehingga perlu untuk dimodernisasi. Kedua, berkaitan dengan tindakan dan pendekatan yang lebih mempergunakan kekuasaan daripada pendekatan yang berusaha memahami konteks lokal.

Proses pengembangan tata ruang dan pembangunan wilayah yang dikembangkan pemerintah dalam usahanya untuk menjaga ketertiban dan pengendalian sumber daya daerah pedalaman, sering kali dilakukan dengan menafikan eksistensi suku pedalaman.

Dengan asumsi bahwa suku pedalaman sebagai orang-orang yang terbelakang dan tradisional mengakibatkan pembenaran tindakan kasar seperti perampasan dan pemindahan secara paksa dan juga bentuk-bentuk yang sedikit banyak merupakan paternalisme dan penguasaan.

Ketiga, berkaitan dengan bentuk-bentuk produksi yang dikembangkan suku pedalaman yang acap dinilai negara sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Suku-suku pedalaman yang sejak lama hidup dengan memanfaatkan kekayaan alam di sekitarnya, sering kali justru dianggap merusak kelestarian hutan.

Berbagai kasus kebakaran hutan yang terjadi di hutan-hutan Indonesia, sering disebut sebagai imbas dari cara produksi suku pedalaman yang berpindah-pindah dan tidak melakukan rekayasa dalam proses produksi kebutuhan hidupnya.

Sepanjang kegiatan pembangunan yang berlangsung dan dikembangkan di wilayah pedalaman dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat lokal dan berbasis pada adat-istiadat setempat, niscaya kegiatan pembangunan yang sedang berlangsung tidak akan menimbulkan alienasi, apalagi perlawanan sosial.

Namun, tidak sedikit kajian sayangnya telah membuktikan bahwa berbagai kegiatan pembangunan dan industrialisasi yang terjadi dan merambah wilayah pedalaman umumnya lebih banyak berjalan menurut logika kapitalisme dan kepentingan pusat yang tersentralistik daripada berpijak pada kepentingan penduduk lokal.

Dove (2002), mencatat kecenderungan umum yang terjadi secara konsisten di kalangan pengelola perkebunan komersial dan negara, bahwa mereka memperlakukan suku di pedalaman sebagai suku yang primitif, bodoh atau terbelakang dan aneh.

Bagi para pengelola perkebunan komersial dan pendukung mereka, yaitu pemerintah, cap sebagai orang primitif kepada suku-suku pedalaman memberikan dasar bagi mereka untuk merampas hak-hak warga atas lahan garapan dan mengizinkan disiplin yang keras, juga usaha yang terus-menerus untuk mengarahkan, membujuk dan kalau perlu memaksakan penyeragaman pengorganisasian sosial dan ruang yang dianutkan oleh "pembangunan".

Sudah barang tentu, dalam perjalanannya kemudian cara berpikir aparat pembangunan dan strategi yang serba sentralistik seperti yang dikembangkan negara seperti itu bukan berarti tanpa risiko. Sejarah telah lama mencatat, bahwa urusan ekonomi dan politik hubungan antara daerah pedalaman dan negara telah cukup lama ditandai oleh ketegangan.

Di berbagai tempat di Indonesia, benar bahwa peran daerah pedalaman sangat penting bagi kemakmuran daerah lain, namun penduduknya diperlakukan dengan cemoohan dan hinaan yang tidak kunjung reda.

Kesulitan untuk melakukan pendekatan dan penanganan daerah pedalaman ditafsirkan sebagai pembenaran terhadap anggapan bahwa kebudayaan penduduknya lebih rendah, sehingga cara yang dipandang terbaik untuk memajukan pedalaman adalah dengan menguasai dan mentransplantasikan berbagai karakter masyarakat dataran rendah yang dianggap sudah terlebih dahulu maju.

Apakah strategi pembangunan yang serba sentralistik terbukti memajukan wilayah dan masyarakat pedalaman? Alih-alih melahirkan kesejahteraan dan kemajuan bagi penduduk pedalaman, kebijakan pembangunan yang sifatnya top-down dan hanya berorientasi pada produksi, sering terbukti malah mematikan potensi masyarakat setempat, menimbulkan polarisasi sosial, dan bahkan mengalienasikan.

Menurut perhitungan ekonomi, banyak rancangan pembangunan yang berskala besar dengan tujuan menata ulang penduduk dan sumber daya alam justru menjadi sangat mahal, tidak efisien dan tidak menguntungkan.

Bahkan yang ironis, ketika usaha-usaha pembangunan yang serba sentralistik itu terbukti mengganggu kelangsungan dan mata pencaharian penduduk setempat, akibatnya kegiatan
pembangunan yang berjalan menjadi tidak populer dan harus dilaksanakan melalui mekanisme-mekanisme paksaan yang ujung-ujungnya malah melahirkan resistensi dan perlawanan sosial warga setempat.

Semoga temuan tentang keberadaan suku Mante di atas dan berbagai studi yang telah dilakukan para ahli menjadi bahan kajian bagi pemerintah untuk bekal dalam menyikapi keberadaan suku-suku di daerah pedalaman.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5212 seconds (0.1#10.140)