Krisis Moral Wakil Rakyat

Senin, 10 April 2017 - 08:15 WIB
Krisis Moral Wakil Rakyat
Krisis Moral Wakil Rakyat
A A A
BELUM lama kasus KTP elektronik (e-KTP) membuat masyarakat putus asa kepada wakilnya yang duduk di kursi parlemen, pertunjukan rebutan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Senin (3/4), kembali memicu keprihatinan yang semakin mendalam. Hampir semua media nasional mengulang pertunjukan yang terjadi di mimbar DPD melalui televisi, berita online, media cetak, radio hingga media sosial.

Semua yang menyaksikan isi tayangan televisi dan membaca beragam media tentang kelakuan wakil rakyat hanya bisa merespons dengan gelengan kepala berkali-kali. Rasanya sulit untuk berkomentar lagi.

Apa yang harus diucapkan melihat kelakuan para pejabat-pejabat itu yang sudah tak punya malu. Mereka berperilaku seperti preman, perilaku yang bukan didikan anak sekolahan.

Berebut kekuasaan lewat sebuah pertunjukan yang memalukan di tengah sidang anggota Dewan menjadi contoh buruk yang akan diingat sepanjang masa. Semua orang yang ada di ruangan rapat paripurna DPD tentunya bukan orang sembarangan.

Melalui rakyat, mereka dipilih langsung dan diberikan kepercayaan untuk memperjuangkan nasib rakyat agar sejahtera. Alih-alih menjalankan amanat, anggota parlemen yang terhormat itu justru tak henti memberikan pertunjukan yang menyakitkan.

Melihat anggota Dewan yang hampir setiap hari mengisi wajah televisi dengan duduk di kursi pesakitan membuat krisis kepercayaan semakin tinggi dan dalam. Mereka mengkhianati amanat rakyat.

Belum selesai sampai di situ, aksi memperebutkan kursi pimpinan DPD semakin memperkeruh suasana gedung parlemen. Apa yang ada di kepala anggota Dewan selain berebut kekuasaan dan uang?

Mungkin ada segelintir orang di parlemen yang masih memiliki hati nurani untuk tetap berjalan di jalur yang benar. Tapi tentunya segelintir itu sulit untuk menutup aib besar yang setiap hari dipertontonkan oleh anggota Dewan yang mengalami krisis moral.

Perilaku pejabat parlemen yang mengalami disorientasi nilai dan norma tentu sangat membahayakan bagi masyarakat dalam berbagai aspek. Pertama, masyarakat akan meniru apa yang terjadi di dalam parlemen. Mencari uang dengan menghalalkan segala cara termasuk melakukan korupsi.

Bila anggota Dewan yang melakukan korupsi saja mendapatkan hukuman ringan, rakyat yang korupsi di tingkat kelas bawah pun tak akan takut menghadapi hukuman. Bila demikian yang terjadi maka korupsi di tingkat atas secara langsung menjadi contoh mereka yang di tingkat bawah.

Kedua, aksi kekerasan yang dipertontonkan secara vulgar menjadi salah satu alasan pembenaran bahwa kekerasan bisa dilakukan oleh siapa saja, tak terkecuali bagi mereka yang berpendidikan dan memiliki kedudukan tinggi. Masyarakat pun akan mudah melakukan kekerasan karena wakilnya yang memiliki posisi penting di parlemen juga tak bisa meredam kekerasan. Melampiaskan kekesalan dengan cara kekerasan akan dipandang sebagai jalan penyelesaian.

Ketiga, mengabaikan sifat budi pekerti dan saling menghormati antarsesama. Padahal sebagai bangsa timur, masyarakat Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa yang ramah, santun, memiliki rasa toleransi yang tinggi dan saling menghargai. Namun, semua ini mulai sirna karena perilaku elite parlemen dan pejabat yang korup dan berprilaku amoral.

Keempat, merendahkan aturan hukum karena penegak hukum dipandang tak memiliki aturan yang jelas, seperti yang terjadi saat Mahkamah Agung (MA) melantik Oesman Sapta Odong dkk sebagai pimpinan DPD. Sebagai lembaga hukum, keputusan MA belum mampu memberikan kepercayaan kepada masyarakat terhadap produk hukum yang ditetapkannya karena MA mengingkari keputusannya sendiri.

Di tengah krisis lembaga negara yang anggotanya sibuk dengan pencitraan, uang, dan kekuasaan, dibutuhkan peran Presiden Jokowi selaku kepala negara untuk mencari solusi dan jalan tengah. Peran partai pendukung pemerintah yang merebut kekuasaan dengan cara yang inkonstitusional harus bisa dihentikan dan tidak dibiarkan.

Berbagai kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota parlemen juga harus diserahkan sepenuhnya kepada penegak hukum, tanpa bargaining politik. Harus ada keberanian dan niat baik pemerintah untuk menegakkan demokrasi di negeri ini.

Gaduh di parlemen yang tiada henti diikuti karut-marut moral para anggotanya harus segera dihentikan sebelum terlambat. Jangan sampai kegelisahan masyarakat tidak direspons cepat dan mengakibatkan kegaduhan yang menghambat pembangunan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6964 seconds (0.1#10.140)