SDM Tanggung Jawab Siapa?

Senin, 10 April 2017 - 07:57 WIB
SDM Tanggung Jawab Siapa?
SDM Tanggung Jawab Siapa?
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

LAPORAN terbaru Asian Development Bank (ADB) mengenai ramalan perekonomian Indonesia 2017 bisa menggambarkan adanya selongsong harapan dan peringatan sekaligus bagi kita semua. Mereka memperkirakan pada 2017 dan 2018 pertumbuhan ekonomi kita akan terjaga eskalasinya.

Tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan pada kisaran 5,1%. Tahun depan bahkan potensinya bisa lebih tinggi lagi dengan taksiran di kisaran 5,3%.

Proyeksi ini tidak terlepas dari membaiknya harga komoditas yang berpengaruh besar terhadap daya investasi dan konsumsi masyarakat. Dalam pemikiran normatifnya, akselerasi pertumbuhan yang dihasilkan seharusnya juga berdampak positif terhadap kenaikan penerimaan dan alokasi belanja pemerintah.

Untuk sementara ini progresivitasnya sudah terasa dari sisi pertumbuhan penerimaan pajak selama kuartal I 2017. Angka realisasinya sudah mencapai Rp222 triliun atau sekitar 16,98% dari total target. Jika dibandingkan dengan capaian setahun silam, situasinya sudah jelas jauh lebih baik karena terjadi pertumbuhan 18,2%.

Daya ungkit terbesarnya disinyalir dari investasi dan perdagangan ekspor yang akhir-akhir ini kembali menggeliat. Kebijakan investasi swasta beberapa waktu ini memang sedikit tertahan karena profitnya sempat cenderung buram.

Berhubung harga beberapa komoditas andalan mulai membaik, para pengusaha di dalamnya mulai meningkatkan nilai investasi. Kebijakan reformasi struktural yang diinisiasi pemerintah dengan mengeliminasi hambatan investasi juga mulai berefek positif.

Dipermudahnya investasi asing (penanaman modal asing/PMA) pada beberapa sektor baru membuat kinerja sektor riil semakin hidup. Perbaikan investasi ikut mendorong permintaan impor karena sebagian besar sektor riil kita (terutama industri) masih sangat menggantungkan distribusi bahan baku dan barang modalnya dari luar negeri.

Hanya saja ADB memproyeksikannya dalam kapasitas yang kecil (pertumbuhannya lambat). Namun pelambatan ini turut “membantu” menekan defisit berjalan atas transaksi ekspor-impor di Indonesia.

Dari sisi yang lain, ADB juga mengungkapkan beberapa tantangan ke depan yang perlu segera kita pecahkan. Rentetan dampak peningkatan harga komoditas bisa memicu kembali terjadinya inflasi akibat ekspektasi kenaikan pendapatan dan konsumsi rumah tangga.

Tantangan berikutnya dalam jangka panjang diuraikan dalam beberapa hal yang terkait dengan pemanfaatan peluang investasi di Indonesia. ADB mengkhawatirkan adanya kenaikan penerimaan pajak di awal tahun tidak dikawal dengan baik pada jenjang berikutnya sehingga menimbulkan gejala flypaper effect yang dapat membuat rancangan kebijakan pemerintah lagi-lagi menjadi kurang kredibel.

Selain itu ADB menekankan betapa bermasalahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang tersedia di Indonesia. Mereka mengidentifikasi kelemahan SDM berupa kesenjangan keahlian dan standar keterampilan yang dapat menghambat target akselerasi pertumbuhan.

Kajian beberapa lembaga internasional dapat menjadi referensi untuk mengukur daya saing SDM Indonesia. Laporan International Institute for Management Development (IMD) yang bertajuk IMD World Talent 2016 menunjukkan tingkat daya saing SDM kita berada di posisi ke-48 dari 61 negara. Posisi ini terhitung merosot karena pada tahun sebelumnya kita berada di peringkat ke-41.

The Human Capital Report 2016 yang dirilis World Economic Forum (WEF) juga menunjukkan daya saing SDM Indonesia yang begitu rendah karena berada pada urutan ke-72 dari 130 negara. Urutan ini menempatkan Indonesia di bawah bayang-bayang negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan bahkan kita kalah unggul dari Sri Lanka yang telah menembus jajaran 50 besar. Jadi sudah banyak indikator yang mengisyaratkan kita memiliki pekerjaan besar untuk segera menemukan strategi yang dapat memobilisasi kapasitas SDM lokal.

Di dalam beberapa teori ekonomi pembangunan, sebagian besar para ahli menempatkan SDM dalam porsi yang sangat penting, terutama untuk mengungkit dan mendorong pembangunan yang berbasis tenaga kerja. Keberadaan SDM dalam perekonomian menjadikannya sebagai kunci faktor produksi untuk mendorong produksi nasional.

Kreativitas SDM dianggap mampu memengaruhi besaran nilai tambah atas setiap input yang digunakan. Namun posisi SDM juga dapat menjadi faktor “pengganggu” jika perkembangannya tidak dikendalikan. Kondisi hubungan industrial serta kualitas dan produktivitas SDM sangat memengaruhi minat investasi pemodal.

Karakteristik sektor swasta yang cenderung berpakem profit oriented seharusnya membuat kita semua mawas diri mengenai kondisi eksisting ketenagakerjaan lokal. Apalagi dengan adanya perkembangan globalisasi dan semakin majunya teknologi, secara praktis membuat pengusaha memiliki banyak pilihan untuk menentukan faktor-faktor produksi yang digunakan.

Misalnya saja terkait dengan pilihan antara kebijakan capital intensive (berbasis mesin) ataukah labor intensive (berbasis tenaga kerja). Tiap kebijakan memiliki hitung-hitungan cost and benefit yang dapat berpengaruh pada efisiensi produksi.

Dari sisi mikro dan khususnya bagi pengusaha dengan modal besar, pilihan capital intensive bisa lebih menjanjikan karena nilai investasinya dianggap lebih terukur sejak proses awal. Biaya operasionalnya juga biasanya lebih kecil karena hanya membutuhkan beberapa operator mesin produksi dan ongkos yang rendah untuk maintenance.

Namun jika kita mempertimbangkan dampaknya dari segi makro, sudah jelas pemerintah akan secara persuasif mendorong pengusaha melakukan labor intensive. Meningkatnya investasi akan menyediakan pertumbuhan lapangan kerja baru dan menampung kesempatan peningkatan kesejahteraan, terutama untuk penduduk lokal.

Masalah ketenagakerjaan belum tentu berhenti pada tindakan persuasif ala pemerintah. Isu terkini yang sedang mencuat mulai berembus pada persaingan antara tenaga kerja lokal dan tenaga kerja asing. Kalau pemerintah mulai berani “memaksa” para pengusaha agar menggunakan tenaga kerja lokal, dengan kondisi SDM yang sekarang, hal itu justru bisa saja ditafsirkan sebagai hambatan investasi karena membatasi pengusaha untuk memaksimalkan profit.

Selain itu kita akan melawan hukum liberalisasi (misalnya MEA 2015) yang salah satu konsekuensinya membebaskan aliran tenaga kerja lintas negara. Jadi simpulan logisnya kita nyaris tidak ada pilihan lain untuk segera memperbaiki SDM ketenagakerjaan lokal demi memaksimalkan investasi dalam jangka panjang.

Pertanyaan sederhananya, siapakah pihak yang bertanggung jawab terhadap pengembangan SDM Indonesia? Kalau kita membebankan kewajiban hanya kepada pemerintah, justru itu mengindikasikan adanya pola “kecelakaan berpikir”.

Karena dalam tatanan pengembangan SDM ketenagakerjaan, pemerintah hanyalah salah satu sektor hulunya. Jadi yang paling mendesak justru untuk menginisiasi adanya integrasi dan koordinasi para stakeholders yang dapat dilibatkan secara langsung maupun tidak langsung di dalam strategi pembangunan SDM.

Pertama, di sektor hulu pengembangan selain membebankan tugas utama kepada pemerintah, pihak lain yang juga berkompeten ialah sektor swasta dan perguruan tinggi. Kebijakan fiskal pemerintah berpeluang besar memengaruhi akses dan kualitas layanan pendidikan dan keterampilan yang dianggap sebagai modal dasar keahlian tenaga kerja.

Namun hingga menjelang memasuki era bonus demografi, pemerintah masih terbelit dengan keterbatasan fiskal untuk pembiayaan pendidikan dan keterampilan. ADB mengatakan lebih dari setengah tenaga kerja yang ada belum menuntaskan sekolah menengah atas dan satu dari empat pemudanya belum menyelesaikan pendidikan 12 tahun.

Selain itu mereka juga menyoroti mutu pendidikan dan ketidakcocokan keahlian yang dimiliki para lulusan. Oleh karena itu peran pemerintah juga sangat penting untuk menghidupkan sinergi antara sektor pendidikan dan swasta agar tercipta kecocokan tingkat keahlian/keterampilan lulusan pendidikan dengan kebutuhan sektor swasta untuk menciptakan efisiensi produksi.

Kedua, kita perlu mempertimbangkan ulang sejauh mana proses penyesuaian terjadi di antara kurikulum pendidikan dengan kebutuhan sektor produksi. Pemerintah dalam beberapa kesempatan sudah memproklamasikan penguatan pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK) dan pendidikan tinggi vokasi untuk memangkas durasi kelahiran tenaga-tenaga kerja terampil yang dibutuhkan sektor swasta.

Namun pada kenyataannya kita masih sulit memperbaiki peringkat daya saing SDM di kancah global. Fenomena ini akan menghadirkan tantangan yang cukup berat bagi kita ke depan. Kita perlu menggenjot pengembangan pendidikan SDM berbasis riset agar dilalui dengan proses yang lebih ilmiah dan berkualitas.

Pemerintah dan dunia pendidikan juga perlu meningkatkan fasilitas pelatihan magang di beberapa perusahaan unggulan untuk mengadopsi karakter-karakter intrapreneurship bagi calon-calon tenaga kerja lokal. Selain itu lembaga-lembaga pelatihan besertifikat juga perlu diberdayakan. Karena saat ini sertifikasi tenaga kerja telah dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator daya saing SDM.

Ketiga, pemerintah pusat perlu berbagi peran dengan level struktur pemerintahan di bawahnya (mulai dari pemerintah provinsi hingga desa) agar memiliki perspektif yang sama dalam proses pembangunan. Kita perlu mengingatkan bahwa proses pembangunan tidak bisa hanya mengandalkan pengembangan yang bersifat fisik seperti halnya infrastruktur jalan dan energi karena nantinya kita juga membutuhkan SDM yang dapat mendayagunakan infrastruktur tersebut agar bernilai optimal.

Perspektif ini ditujukan untuk mengatasi persoalan ketimpangan keahlian SDM antardaerah dan menghindari dampak negatif dari aglomerasi tenaga kerja. Program dana desa sangat berpeluang besar menjadi motor baru pengembangan SDM, minimal untuk proses jangka menengah.

Selain karena daya jangkaunya yang merata hingga ke pelosok-pelosok daerah, penggunaan dana desa diprediksi bisa berdampak signifikan karena menyesuaikan dengan kebutuhan di tataran akar rumput masyarakat. Program ini memfasilitasi masyarakat desa yang didominasi SDM dengan tingkat pendidikan yang rendah untuk mengentaskan diri dari ketertinggalan akses keahlian.

Tinggal bagaimana caranya pemerintah dapat menggandeng pihak perguruan tinggi dan sektor swasta untuk ikut turun tangan membantu masyarakat desa agar menjangkau akselerasi pengembangan SDM di wilayah masing-masing.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0670 seconds (0.1#10.140)