Birokrat Angkot

Jum'at, 07 April 2017 - 09:29 WIB
Birokrat Angkot
Birokrat Angkot
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi
Publik FISIP Unpad

LAIKNYA angkutan kota (angkot), birokrat pun bisa identik dengannya. Dibentuknya Tim Sapu Bersih (Saber) Pungli justru karena sejumlah oknum sering ngetem dengan melambatkan proses pelayanan yang terjadi agar memperoleh penghasilan tambahan. Demikian halnya tatkala korupsi e-KTP terbongkar, di dalamnya terdapat perilaku ugal-ugalan sejumlah pejabat tinggi agar bisa mengejar setoran. Dampaknya bukan hanya negara dirugikan triliunan rupiah, tetapi juga kepercayaan publik terhadap pengelola negara menjadi berkurang.

Perilaku di atas bisa berhubungan dengan proses penerimaan yang berbau nepotisme dengan keuangan yang dikuasakan. Dampaknya pengelola negara dalam menjalankan tugasnya berangkat dari pemikiran bahwa modal perlu dikembalikan terlebih dahulu. Bila hal ini berkembang, pelayanan publik bisa berbasiskan pada pendapatan yang diterimanya.

Tidak mengherankan bila pungli dan korupsi menjadi warna kental dalam dunia kebirokrasian kita. Sejumlah aparat dan pejabat pun mudah dijaring dalam kedua prilaku sesat di atas. Bukan hanya kasus tangkap tangan kasus perizinan, tetapi juga kasus e-KTP yang memakan uang rakyat triliunan rupiah.

Gagal Fokus
Jika Bowman (2010) jadi patokan, kompetensi birokrat mesti memenuhi tiga komponen. Komponen teknis berkaitan dengan pekerjaan yang harus dilaksanakan agar efektif-efisien dapat diraihnya. Dalam konteks ini tentulah tidak ada birokrat yang gagal fokus sehingga dalam pelaksanaan tugasnya terjadi gagal paham.

Namun komponen ini bisa tidak dipenuhi tatkala seleksi birokrat bertumpu bukan pada aspek teknis. Kendati ada, bisa terjadi negosiasi yang menyebabkan calon dengan kualitas lebih rendah bisa mengalahkan kualitas di atasnya. Kejadian seperti itu tidak berjalan secara gratisan, senantiasa ada biaya yang harus dibayarkan.

Sejumlah birokrat yang sanggup membayarnya harus memikirkan penghasilan tambahan agar dalam waktu tertentu biaya di atas dapat dilunasi. Ugal-ugalan pun dilakukan agar kariernya dapat meroket. Dengan cara itu diperkirakan penghasilan bisa meningkat drastis agar bisa menggantikan biaya sebelumnya dan dapat membayar biaya yang diperlukan untuk kemajuan jabatannya.

Namun di balik itu, pelayanan terhadap publik diperlamban jika diperkirakan tidak dapat memberikan penghasilan tambahan. Kondisi ini memperkuat pemikiran bahwa kompetensi teknis dapat diabaikan jika ada kesanggupan menyediakan biaya untuk menapaki kariernya serta keberanian untuk bertindak ugal-ugalan dan mau mengorbankan pelayanan yang menjadi tugas pokoknya.

Tidak aneh jika komponen etika menjadi penting agar dengan kompetensi ini birokrat mau berpikir kepantasan dalam setiap tindakannya. Tatkala pelayanan dikorbankan, etika menjadi terlanggar dan berujung hujatan publik. Demikian halnya perilaku seperti yang dipertontonkan sopir angkot pun menjadi aib bagi profesinya. Dampak dari perilaku tercela itu menimbulkan cemooh bagi sejumlah koleganya yang berbuat baik.

Bisa jadi muncul pemikiran publik untuk menggantikan birokrat dengan moda pelayanan lain yang lebih etis. Namun pelanggar etika seperti itu senantiasa menghimpun kekuatan dengan suap agar perilakunya ditoleransi sejumlah preman di kalangan sendiri. Ujungnya pelanggaran etika pun masih bertahan tanpa perubahan yang signifikan.

Kompetensi leadership bisa gagal membawa perubahan ketika berangkat dari kegagalan fokus. Bila kompetensi teknis dan etika yang jadi fokus, leadership akan berhasil lebih baik sehingga perubahan dapat dibangun. Ketika justru sebaliknya yang terjadi, kekacauan semakin merajalela. Pikiran kejar setoran menjadi fokus sentral yang melekat dalam benak birokrat. Anak buah dipengaruhinya secara sesat sehingga tega menghalalkan segala cara. Pelayanan publik sering ngetem, sementara promosi dikejarnya secara ugal-ugalan.

Ketegasan
Bisa saja karena tidak ada tindakan tegas, perilaku ugal-ugalan dianggapnya menjadi biasa dan terus dilakukan seperti Baldwin (1986) tuliskan. Ketika penegak hukum juga sudah mulai ugal-ugalan dengan banyaknya yang tersangkut kasus suap, andalan pun tinggal KPK. Namun lembaga antirasuah ini juga bisa kelelahan seperti halnya polantas menindak angkot yang terlampau sering melanggar.

Oleh karena itu pandangan Hechter (1988) perlu diterapkan untuk mulai tegas dari keluarga dan masyarakat. Upaya ini berkaitan dengan sistem pendidikan yang mengedepankan disiplin diri dari pesertanya. Upaya tersebut harus berkesinambungan dan terintegrasi agar bisa menjadi prilaku keseharian seluruh komponennya.

Melalui kedisiplinan, nilai bisa dirawat bersama dan pelanggarnya mendapatkan sanksi sosial. Melalui keterpaduan ini, kebutuhan disesuaikan dengan keberlakuan nilai sehingga perasaan publik dapat dijaga dengan pelayanan prima yang diutamakan. Suasana seperti itu juga menggiring pada kesamaan perilaku untuk mengawal nilai yang melekat pada organisasi tempatnya bernaung.

Bila hal demikian dapat diwujudkan, kepentingan para birokrat akan disesuaikan dengan kepentingan organisasi seperti Kotter (2001) tuliskan. Pejabat menggunakan kompetensi etika dan leadership -nya untuk kebesaran organisasi dengan menjunjung tinggi nilainya, bukan sebaliknya.

Agaknya pandangan Parasuraman (1990) perlu mendapat perhatian agar birokrasi tidak disamakan dengan angkot. Dengan tangible, responsiveness, dan assurance, harus ada wujud nyata dari pengabdian birokrat terhadap pekerjaannya agar publik merasakan hasilnya. Melalui tanggung jawab, kepentingan pribadi patut direndahkan dengan meninggikan kepentingan publik serta nilai yang menyertainya.

Semuanya perlu diwujudkan dengan jaminan yang mengokohkan dirinya sebagai pelayan publik yang dapat dipercaya. Oleh karena itu mindset publik pun patut diubah agar birokrat tidak berlomba memperkaya diri sebagai prestise diri, tetapi digantikan dengan kemampuan memberikan layanan prima.

Bisa jadi voice publik patut dihargai sebagai input penting untuk mengubah perilaku di setiap elemen yang berkaitan dengan birokrat. Hujatan pun perlu dikristalisasi menjadi program penting yang mewarnai pendidikan agar birokrat yang ugal-ugalan berhadapan dengan publik yang telah didisiplinkan. Dengan cara ini birokrat tidak mendapat respons dari publiknya sehingga perilaku pungli ataupun korup tidak mendapat perlakuan terhormat.

Bila sudah demikian, pupuk untuk bertindak sesat sudah mulai langka dan perilaku tersebut pun sudah tidak mendapat tempat. Bila hal seperti itu dapat dilakukan, perwujudkan good governance pun dapat diperjuangkan lebih cepat menuju negeri yang clean governance. Bila tidak, bisa jadi birokrat angkot akan semakin merajalela.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1006 seconds (0.1#10.140)