Infrastruktur
A
A
A
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan
(@Rhenald_Kasali)
ANDA tahu, ada banyak proyek infrastruktur yang tengah dibangun oleh Pemerintahan Joko Widodo. Di Jawa maupun luar Pulau Jawa.
Jalan tol Probolinggo–Pasuruan, Yogyakarta–Solo, jalan layang tol Jakarta–Cikampek, Tebing Tinggi–Pematang Siantar–Parapat–Tarutung–Sibolga, Sigli–Banda Aceh, Balikpapan–Samarinda, dan Trans Papua. Selain itu, juga ada proyek pelabuhan laut dan udara, rel kereta, pembangkit listrik, waduk dan bendungan, hingga fasilitas pengolahan air bersih.
Bicara soal pelabuhan laut, saat ini jarak antarpelabuhan di negara kita masih berkisar 3.000 kilometer. Jauh sekali.
Itu sebabnya tak heran kalau nelayan-nelayan kita kesulitan menjual ikannya. Bandingkan dengan di Jepang, misalnya, jarak antarpelabuhannya sudah 15 kilometer, atau di Thailand yang 50 kilometer.
Kita memang tertinggal jauh dalam membangun infrastruktur. Akibatnya masalah kemudian datang bertubi-tubi. Mulai soal keadilan dan ketimpangan sampai pendidikan dan kesehatan yang menjadi penentu bagi pemupukan modal insani. Belum lagi kalau ada bencana, kita selalu terlambat.
Millennial Travellers
Saya setuju, semua infrastruktur fisik tadi sangat penting dan mendesak dibangun. Tapi saya juga ingin pemerintah agresif dalam membangun infrastruktur Information & Communication Technology (ICT).
Mengapa ini penting? Jawaban paling simpel adalah kita hidup di abad informasi. Kita berada di era disruption yang salah satu pemicu utamanya adalah berkembangnya ICT. Maka fasilitas paling dasar yang mesti tersedia adalah jaringan ICT.
Tanpa jaringan IT, gap kaya-miskin antara Indonesia bagian dan timur akan makin besar. Ketika anak-anak muda di Jakarta begitu mudah mengikuti kuliah online tak berbayar (free) dari Coursera, Harvard atau IndonesiaX, nun jauh di timur untuk mengakses online banking saja susahnya setengah mati.
Tapi, baiklah saya ingin pakai alasan yang lain. Pertama, pemerintah sudah menargetkan Indonesia untuk menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Jadi, untuk mewujudkannya kita pasti butuh infrastruktur ICT. Sayangnya kalau bicara soal ini kita menempati peringkat ke-4 setelah Singapura, Malaysia dan Thailand.
Kedua, Indonesia adalah negeri rawan bencana. Kita akrab dengan gunung meletus, longsor, banjir, angin topan, bahkan tsunami. Kalau bicara soal pentingnya jaringan ICT dengan penanganan bencana mungkin kita bisa berkaca dari Jepang. Anda tahu, Jepang juga negeri yang rawan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Bagaimana Jepang memanfaatkan ICT untuk menangani bencana?
Masih ingat dengan gempa di Sendai pada tahun 2011 yang mencapai 9,0 Skala Richter (masya Allah dahsyatnya). Pascagempa, pemerintah Jepang mampu dengan sigap melakukan evakuasi dan upaya penyelamatan lainnya. Salah satu faktor kunci di sini adalah kemudahan dalam mendistribusikan informasi. Semuanya adalah berkat infrastruktur ICT.
Kini, Jepang terus memanfaatkan ICT untuk mengelola bencana. Mereka menggunakannya untuk memantau potensi bencana, melakukan analisis, mengakumulasi informasi dan akhirnya mendistribusikannya ke banyak pihak sesuai tugasnya. Kalau saja masyarakat Aceh bisa tahu lebih dulu soal ancaman tsunami akhir 2004, mungkin jumlah korban tak akan mencapai ratusan ribu. Kalau saja….
Ketiga, negara kita dianugerahi potensi kekayaan wisata. Ada wisata alam, budaya, religi sampai wisata petualangan. Kita sama-sama bermimpi untuk menjadikan pariwisata sebagai sumber utama penerimaan negara. Lalu, apa kaitannya dengan infrastruktur ICT?
Anda pernah dengar istilah millennial travellers. Mereka adalah generasi yang lahir sepanjang tahun 1985–2000 dan suka berwisata. Profilnya kurang lebih begini: sebanyak 87% dari mereka mencari informasi tempat-tempat wisata melalui Facebook; hanya 20% yang memakai Twitter atau Pinterest; 82% sangat mempertimbangkan berbagai review yang menyangkut destinasi wisata.
Saya tambahkan ciri-ciri lainnya: 85% di antara mereka selalu melakukan cek bolak-balik sebelum akhirnya memutuskan memilih suatu destinasi wisata; 74% mencari info melalui perangkat mobile; dan 2/3 wisatawan millennial ini suka sekali selfie, mengambil foto dan video serta langsung mengunggahnya di media sosial. Berapa jumlah mereka? Menurut data Internet Marketing Inc, saat ini jumlahnya mencapai 79 juta. Banyak bukan!
Wi-Fi ke Li-Fi
Itu sebabnya penting bagi kita memiliki infrastruktur ICT yang memadai. Ini bukan hanya memudahkan millennial travellers tadi dalam mengakses informasi tentang destinasi wisata Indonesia, tetapi juga sebagai bagian dari strategi promosi. Kita sudah harus melakukan kampanye digital.
Nah bicara soal ini, sayangnya pembangunan infrastruktur ICT kita masih perlu dipacu. Kalau bicara soal infrastruktur ini setidak-tidaknya ada tiga komponen utama, yakni jaringan (network), perangkat (device), dan aplikasinya.
Saya tak mau menyinggung semuanya. Kali ini saya hanya ingin menyinggung soal jaringan. Kita ingin menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Untuk itu kita perlu banyak fasilitas hotspot atau Wi-Fi gratis di ruang-ruang publik.
Di tingkat provinsi sekalipun fasilitas Wi-Fi hanya tersedia di beberapa titik, di antaranya di halte-halte busway di Jakarta, taman-taman kota, seputar gedung balai kota, dan beberapa area publik.
Sebuah survei menyebut bahwa akses internet kita masih menempati peringkat ke-138. PR kita masih banyak. Bicara soal kecepatan, kita pantas kagum dengan Korea Selatan dan Jepang.
Namun, tahukah Anda bahwa orang Korea Selatan dan Jepang pun sebaliknya juga kagum dengan kita. Apa yang mereka kagumi? Kesabaran kita! Meski begitu, saya serius dengan perlunya kita membangun infrastruktur ICT yang lebih andal.
Anda tahu, ketika kita sekarang masih sibuk menyediakan akses Wi-Fi di mana-mana, dunia sudah bergerak maju ke Li-Fi. Apa itu? Li-Fi adalah singkatan dari Light Fidelity.
Ilustrasinya begini. Untuk men-download film berukuran 1 GB, dengan Wi-Fi sering kali membutuhkan waktu sekitar 30 menit sampai satu jam. Dengan Li-Fi, cukup beberapa detik. Jadi, kita harus berpacu membangun infrastruktur ICT.
Ini eranya disruption yang menuntut kita menghadirkan masa depan ke masa kini. Bukan sebaliknya, menghadirkan masa lalu ke masa kini (kalau ini hanya ada di tembang nostalgia), atau masa lalu ke masa depan.
Pendiri Rumah Perubahan
(@Rhenald_Kasali)
ANDA tahu, ada banyak proyek infrastruktur yang tengah dibangun oleh Pemerintahan Joko Widodo. Di Jawa maupun luar Pulau Jawa.
Jalan tol Probolinggo–Pasuruan, Yogyakarta–Solo, jalan layang tol Jakarta–Cikampek, Tebing Tinggi–Pematang Siantar–Parapat–Tarutung–Sibolga, Sigli–Banda Aceh, Balikpapan–Samarinda, dan Trans Papua. Selain itu, juga ada proyek pelabuhan laut dan udara, rel kereta, pembangkit listrik, waduk dan bendungan, hingga fasilitas pengolahan air bersih.
Bicara soal pelabuhan laut, saat ini jarak antarpelabuhan di negara kita masih berkisar 3.000 kilometer. Jauh sekali.
Itu sebabnya tak heran kalau nelayan-nelayan kita kesulitan menjual ikannya. Bandingkan dengan di Jepang, misalnya, jarak antarpelabuhannya sudah 15 kilometer, atau di Thailand yang 50 kilometer.
Kita memang tertinggal jauh dalam membangun infrastruktur. Akibatnya masalah kemudian datang bertubi-tubi. Mulai soal keadilan dan ketimpangan sampai pendidikan dan kesehatan yang menjadi penentu bagi pemupukan modal insani. Belum lagi kalau ada bencana, kita selalu terlambat.
Millennial Travellers
Saya setuju, semua infrastruktur fisik tadi sangat penting dan mendesak dibangun. Tapi saya juga ingin pemerintah agresif dalam membangun infrastruktur Information & Communication Technology (ICT).
Mengapa ini penting? Jawaban paling simpel adalah kita hidup di abad informasi. Kita berada di era disruption yang salah satu pemicu utamanya adalah berkembangnya ICT. Maka fasilitas paling dasar yang mesti tersedia adalah jaringan ICT.
Tanpa jaringan IT, gap kaya-miskin antara Indonesia bagian dan timur akan makin besar. Ketika anak-anak muda di Jakarta begitu mudah mengikuti kuliah online tak berbayar (free) dari Coursera, Harvard atau IndonesiaX, nun jauh di timur untuk mengakses online banking saja susahnya setengah mati.
Tapi, baiklah saya ingin pakai alasan yang lain. Pertama, pemerintah sudah menargetkan Indonesia untuk menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Jadi, untuk mewujudkannya kita pasti butuh infrastruktur ICT. Sayangnya kalau bicara soal ini kita menempati peringkat ke-4 setelah Singapura, Malaysia dan Thailand.
Kedua, Indonesia adalah negeri rawan bencana. Kita akrab dengan gunung meletus, longsor, banjir, angin topan, bahkan tsunami. Kalau bicara soal pentingnya jaringan ICT dengan penanganan bencana mungkin kita bisa berkaca dari Jepang. Anda tahu, Jepang juga negeri yang rawan bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Bagaimana Jepang memanfaatkan ICT untuk menangani bencana?
Masih ingat dengan gempa di Sendai pada tahun 2011 yang mencapai 9,0 Skala Richter (masya Allah dahsyatnya). Pascagempa, pemerintah Jepang mampu dengan sigap melakukan evakuasi dan upaya penyelamatan lainnya. Salah satu faktor kunci di sini adalah kemudahan dalam mendistribusikan informasi. Semuanya adalah berkat infrastruktur ICT.
Kini, Jepang terus memanfaatkan ICT untuk mengelola bencana. Mereka menggunakannya untuk memantau potensi bencana, melakukan analisis, mengakumulasi informasi dan akhirnya mendistribusikannya ke banyak pihak sesuai tugasnya. Kalau saja masyarakat Aceh bisa tahu lebih dulu soal ancaman tsunami akhir 2004, mungkin jumlah korban tak akan mencapai ratusan ribu. Kalau saja….
Ketiga, negara kita dianugerahi potensi kekayaan wisata. Ada wisata alam, budaya, religi sampai wisata petualangan. Kita sama-sama bermimpi untuk menjadikan pariwisata sebagai sumber utama penerimaan negara. Lalu, apa kaitannya dengan infrastruktur ICT?
Anda pernah dengar istilah millennial travellers. Mereka adalah generasi yang lahir sepanjang tahun 1985–2000 dan suka berwisata. Profilnya kurang lebih begini: sebanyak 87% dari mereka mencari informasi tempat-tempat wisata melalui Facebook; hanya 20% yang memakai Twitter atau Pinterest; 82% sangat mempertimbangkan berbagai review yang menyangkut destinasi wisata.
Saya tambahkan ciri-ciri lainnya: 85% di antara mereka selalu melakukan cek bolak-balik sebelum akhirnya memutuskan memilih suatu destinasi wisata; 74% mencari info melalui perangkat mobile; dan 2/3 wisatawan millennial ini suka sekali selfie, mengambil foto dan video serta langsung mengunggahnya di media sosial. Berapa jumlah mereka? Menurut data Internet Marketing Inc, saat ini jumlahnya mencapai 79 juta. Banyak bukan!
Wi-Fi ke Li-Fi
Itu sebabnya penting bagi kita memiliki infrastruktur ICT yang memadai. Ini bukan hanya memudahkan millennial travellers tadi dalam mengakses informasi tentang destinasi wisata Indonesia, tetapi juga sebagai bagian dari strategi promosi. Kita sudah harus melakukan kampanye digital.
Nah bicara soal ini, sayangnya pembangunan infrastruktur ICT kita masih perlu dipacu. Kalau bicara soal infrastruktur ini setidak-tidaknya ada tiga komponen utama, yakni jaringan (network), perangkat (device), dan aplikasinya.
Saya tak mau menyinggung semuanya. Kali ini saya hanya ingin menyinggung soal jaringan. Kita ingin menjadi negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. Untuk itu kita perlu banyak fasilitas hotspot atau Wi-Fi gratis di ruang-ruang publik.
Di tingkat provinsi sekalipun fasilitas Wi-Fi hanya tersedia di beberapa titik, di antaranya di halte-halte busway di Jakarta, taman-taman kota, seputar gedung balai kota, dan beberapa area publik.
Sebuah survei menyebut bahwa akses internet kita masih menempati peringkat ke-138. PR kita masih banyak. Bicara soal kecepatan, kita pantas kagum dengan Korea Selatan dan Jepang.
Namun, tahukah Anda bahwa orang Korea Selatan dan Jepang pun sebaliknya juga kagum dengan kita. Apa yang mereka kagumi? Kesabaran kita! Meski begitu, saya serius dengan perlunya kita membangun infrastruktur ICT yang lebih andal.
Anda tahu, ketika kita sekarang masih sibuk menyediakan akses Wi-Fi di mana-mana, dunia sudah bergerak maju ke Li-Fi. Apa itu? Li-Fi adalah singkatan dari Light Fidelity.
Ilustrasinya begini. Untuk men-download film berukuran 1 GB, dengan Wi-Fi sering kali membutuhkan waktu sekitar 30 menit sampai satu jam. Dengan Li-Fi, cukup beberapa detik. Jadi, kita harus berpacu membangun infrastruktur ICT.
Ini eranya disruption yang menuntut kita menghadirkan masa depan ke masa kini. Bukan sebaliknya, menghadirkan masa lalu ke masa kini (kalau ini hanya ada di tembang nostalgia), atau masa lalu ke masa depan.
(poe)