Media Cetak, Ngeli Ning Ojo Keli
A
A
A
Djaka Susila
Jurnalis
DISKURSUS digitalisasi media massa yang menggerus atau bahkan membunuh media massa konvensional masih saja terjadi. Memang, sebagian media massa konvensional terbunuh dan sebagian lagi tercetus dan harus bertahan agar tidak terbunuh.
Yang terjadi saat ini, mau tidak mau, media massa konvensional harus mengikuti arus digitalisasi. Sekadar menambah platform (menjadi e-paper atau menambah aplikasi) untuk menggaet masyarakat yang bukan hanya terpapar digital, namun sudah masuk di dalamnya.
Adapun yang terjadi saat ini adalah transformasi digital. Bukan hanya perusahaan media massa konvensional yang harus menyesuaikan, bahkan semua perusahaan nonmedia massa pun harus mengikuti arus digital. Transformasi digital saat ini, bahkan bisa dikatakan, memunculkan budaya baru.
Layaknya kemunculan budaya baru, maka akan memunculkan benturan, salah satunya sosial. Sudah banyak contoh benturan di masyarakat atau kelompok masyarakat. Salah satu contohnya benturan antara transportasi konvensional dan transportasi online (digital).
Ada lagi benturan di media sosial yang berujung pada pelaporan ke pihak kepolisian. Benturan atau konflik juga terjadi di internal masyarakat, kelompok masyarakat, atau perusahaan itu sendiri. Perbedaan pandangan dalam menyikapi atau menghadapi perubahan juga acap sekali terjadi.
Untuk menghindari atau sekadar meredam benturan atau konflik di luar dan di dalam, mau tidak mau, adalah melakukan perubahan. Seperti hal di atas, harus mengikuti arus transformasi digital yang sedang terjadi.
Yuswohady dalam tulisannya di KORAN SINDO edisi Minggu, 26 Maret 2017, menawarkan solusi tiga hal kepada dunia bisnis untuk menghadapi transformasi digital saat ini. Pertama, enriching customer experience, yaitu bagaimana perusahaan harus semakin mendekatkan kepada konsumen.
Kedua, transforming operational process, yaitu perusahaan harus melakukan transformasi perubahan proses operasional untuk mendongkrak efisiensi, produktivitas, dan inovasi. Ketiga, reinventing business model adalah menemukan model bisnis baru.
Bagaimana dengan perusahaan media massa konvensional? Tampaknya tiga solusi tersebut memang harus dilakukan agar bisa bertahan atau bahkan reborn oleh gempuran arus digital saat ini. Ya, mau tidak mau perusahaan media massa konvensional harus mengikuti arus, namun tanpa terbawa arus.
Falsafah Jawa ”ngeli ning ojo keli” harus digunakan untuk menghadapi gempuran itu. Makna kalimat ”ngeli ning ojo keli” (ikut arus tanpa terbawa arus) mempunyai semangat agar perusahaan media massa konvensional melakukan perubahan tanpa kehilangan jati dirinya.
Saat ini banyak media massa konvensional sekadar mengikuti arus, namun menghilangkan jati dirinya sehingga membuat mereka hanyut. Yang terjadi, perusahaan media massa konvensional justru bunuh diri ketika semestinya bertahan atau justru tampil dengan bisnis model baru, atau juga gaya jurnalistik baru.
Banyak perusahaan media massa konvensional menghadapi era digital hanya sekadar mengubah platform tanpa memperhatikan ruh digital itu sendiri. Akibatnya, banyak media massa konvensional yang sesat digital dan akhirnya tercetus atau bahkan terbunuh.
Tidak hanya perusahaan media massa konvensional yang sesat digital (sekadar mengubah platform tanpa menyadari esensi digital), awak media massa konvensional juga ikut tersesat. Gaya (arus) media digital saat ini ditelan mentah-mentah dan tanpa sadar menghilangkan jati dirinya.
Di sinilah justru terjadi ”ngeli malah dadi keli” (ikut arus malah terbawa arus). Agus Sudibyo (2017) dalam Nihilisme Moralitas Bermedia menyebutkan media massa konvensional justru ikut dalam arus media sosial (salah satu digitalisasi media), yaitu mengejar kecepatan, aktualitas, sensasionalitas, dan interaktivitas.
Sedangkan kemampuan media massa konvensional yang menyajikan informasi atau berita yang meyakinkan dan berkualitas serta mencerahkan justru hilang. Bisa jadi dihilangkan atau terhilangkan.
Inilah yang terjadi saat ini dan akibatnya media massa konvensional menggali kuburnya sendiri. Sesat digital atau terbawa arus semakin membuat media massa konvensional tergerus atau bahkan terbunuh.
Pendapat Yuswohady tentang tiga solusi menghadapi transformasi digital dan Agus Sudibyo tentang mengembalikan ciri media massa konvensional bisa menjadi cara untuk kembali ke jalan yang benar, utamanya dalam hal kacamata jurnalisme.
Memahami esensi digital dan kekuatan internal akan mampu membuat media massa konvensional bertahan atau bahkan bangkit. Pertama, mengubah editorial policy tentang gaya pemberitaan. Menghilangkan atau mengurangi berita-berita informatif (straight news) yang sudah diambil (milik) oleh media massa digital atau online.
Kedua, mengurangi berita-berita mainstream yang sudah disajikan oleh media massa yang mengandalkan kecepatan. Bill Keller, wartawan senior The New York Times, memberikan sindiran kepada awak media massa cetak (konvensional) dengan kalimat: jika sebuah informasi sudah dimuat di media online, ditayangkan televisi dan radio, apakah kita (media cetak) masih akan menempatkan berita itu di halaman depan?
Artinya media massa konvensional harus mencari isu lain yang harus mendekatkan pada pengalaman pembaca (switching customer experience). Isu-isu yang dibahas halaman depan media massa konvensional jangan membuat sekadar wacana (pengetahuan) kepada pembaca. Media massa konvensional harus berani keluar dari kotak lama tersebut dan memberikan informasi yang berdampak langsung kepada pembaca.
Ketiga, menghindari informasi ”katanya” dan harus memperbanyak reportase lapangan ataupun data. Bukankah esensi atau ruh jurnalistik adalah reportase?
Dengan cara ini, upaya verifikasi sebagai penangkal fake news atau hoax otomatis dilakukan awak media massa konvensional. Data bukan sekadar pemanis atau penambah argumen, tapi juga sebagai pengetahuan.
Keempat, tampilan yang lebih berwarna dalam menyajikan berita dengan artistik perlu ditonjolkan. Bahwa berita saat ini bukan sekadar artikel. Ilustrasi, infografik atau karikatur adalah berita yang mudah dipahami masyarakat digital saat ini.
Kelima, media massa konvensional harus berani menyajikan artikel analitik atau intepretatif, tentu dengan data lapangan yang kuat dan kredibel sebagai dasarnya.
Tantangan perubahan teknologi informasi saat ini pernah terjadi. Media cetak sebagai media massa konvensional atau jenis media massa tertua telah berhasil melewatinya.
Kehadiran radio pada era 1930-an dan televisi berita pada era 1950-an mampu dihadapi dengan baik. Dan sekarang pada era 2000-an, semestinya media cetak bisa menghadapinya dengan tidak sesat digital dan tetap berpedoman pada ”ngeli ning ojo keli”.
Jurnalis
DISKURSUS digitalisasi media massa yang menggerus atau bahkan membunuh media massa konvensional masih saja terjadi. Memang, sebagian media massa konvensional terbunuh dan sebagian lagi tercetus dan harus bertahan agar tidak terbunuh.
Yang terjadi saat ini, mau tidak mau, media massa konvensional harus mengikuti arus digitalisasi. Sekadar menambah platform (menjadi e-paper atau menambah aplikasi) untuk menggaet masyarakat yang bukan hanya terpapar digital, namun sudah masuk di dalamnya.
Adapun yang terjadi saat ini adalah transformasi digital. Bukan hanya perusahaan media massa konvensional yang harus menyesuaikan, bahkan semua perusahaan nonmedia massa pun harus mengikuti arus digital. Transformasi digital saat ini, bahkan bisa dikatakan, memunculkan budaya baru.
Layaknya kemunculan budaya baru, maka akan memunculkan benturan, salah satunya sosial. Sudah banyak contoh benturan di masyarakat atau kelompok masyarakat. Salah satu contohnya benturan antara transportasi konvensional dan transportasi online (digital).
Ada lagi benturan di media sosial yang berujung pada pelaporan ke pihak kepolisian. Benturan atau konflik juga terjadi di internal masyarakat, kelompok masyarakat, atau perusahaan itu sendiri. Perbedaan pandangan dalam menyikapi atau menghadapi perubahan juga acap sekali terjadi.
Untuk menghindari atau sekadar meredam benturan atau konflik di luar dan di dalam, mau tidak mau, adalah melakukan perubahan. Seperti hal di atas, harus mengikuti arus transformasi digital yang sedang terjadi.
Yuswohady dalam tulisannya di KORAN SINDO edisi Minggu, 26 Maret 2017, menawarkan solusi tiga hal kepada dunia bisnis untuk menghadapi transformasi digital saat ini. Pertama, enriching customer experience, yaitu bagaimana perusahaan harus semakin mendekatkan kepada konsumen.
Kedua, transforming operational process, yaitu perusahaan harus melakukan transformasi perubahan proses operasional untuk mendongkrak efisiensi, produktivitas, dan inovasi. Ketiga, reinventing business model adalah menemukan model bisnis baru.
Bagaimana dengan perusahaan media massa konvensional? Tampaknya tiga solusi tersebut memang harus dilakukan agar bisa bertahan atau bahkan reborn oleh gempuran arus digital saat ini. Ya, mau tidak mau perusahaan media massa konvensional harus mengikuti arus, namun tanpa terbawa arus.
Falsafah Jawa ”ngeli ning ojo keli” harus digunakan untuk menghadapi gempuran itu. Makna kalimat ”ngeli ning ojo keli” (ikut arus tanpa terbawa arus) mempunyai semangat agar perusahaan media massa konvensional melakukan perubahan tanpa kehilangan jati dirinya.
Saat ini banyak media massa konvensional sekadar mengikuti arus, namun menghilangkan jati dirinya sehingga membuat mereka hanyut. Yang terjadi, perusahaan media massa konvensional justru bunuh diri ketika semestinya bertahan atau justru tampil dengan bisnis model baru, atau juga gaya jurnalistik baru.
Banyak perusahaan media massa konvensional menghadapi era digital hanya sekadar mengubah platform tanpa memperhatikan ruh digital itu sendiri. Akibatnya, banyak media massa konvensional yang sesat digital dan akhirnya tercetus atau bahkan terbunuh.
Tidak hanya perusahaan media massa konvensional yang sesat digital (sekadar mengubah platform tanpa menyadari esensi digital), awak media massa konvensional juga ikut tersesat. Gaya (arus) media digital saat ini ditelan mentah-mentah dan tanpa sadar menghilangkan jati dirinya.
Di sinilah justru terjadi ”ngeli malah dadi keli” (ikut arus malah terbawa arus). Agus Sudibyo (2017) dalam Nihilisme Moralitas Bermedia menyebutkan media massa konvensional justru ikut dalam arus media sosial (salah satu digitalisasi media), yaitu mengejar kecepatan, aktualitas, sensasionalitas, dan interaktivitas.
Sedangkan kemampuan media massa konvensional yang menyajikan informasi atau berita yang meyakinkan dan berkualitas serta mencerahkan justru hilang. Bisa jadi dihilangkan atau terhilangkan.
Inilah yang terjadi saat ini dan akibatnya media massa konvensional menggali kuburnya sendiri. Sesat digital atau terbawa arus semakin membuat media massa konvensional tergerus atau bahkan terbunuh.
Pendapat Yuswohady tentang tiga solusi menghadapi transformasi digital dan Agus Sudibyo tentang mengembalikan ciri media massa konvensional bisa menjadi cara untuk kembali ke jalan yang benar, utamanya dalam hal kacamata jurnalisme.
Memahami esensi digital dan kekuatan internal akan mampu membuat media massa konvensional bertahan atau bahkan bangkit. Pertama, mengubah editorial policy tentang gaya pemberitaan. Menghilangkan atau mengurangi berita-berita informatif (straight news) yang sudah diambil (milik) oleh media massa digital atau online.
Kedua, mengurangi berita-berita mainstream yang sudah disajikan oleh media massa yang mengandalkan kecepatan. Bill Keller, wartawan senior The New York Times, memberikan sindiran kepada awak media massa cetak (konvensional) dengan kalimat: jika sebuah informasi sudah dimuat di media online, ditayangkan televisi dan radio, apakah kita (media cetak) masih akan menempatkan berita itu di halaman depan?
Artinya media massa konvensional harus mencari isu lain yang harus mendekatkan pada pengalaman pembaca (switching customer experience). Isu-isu yang dibahas halaman depan media massa konvensional jangan membuat sekadar wacana (pengetahuan) kepada pembaca. Media massa konvensional harus berani keluar dari kotak lama tersebut dan memberikan informasi yang berdampak langsung kepada pembaca.
Ketiga, menghindari informasi ”katanya” dan harus memperbanyak reportase lapangan ataupun data. Bukankah esensi atau ruh jurnalistik adalah reportase?
Dengan cara ini, upaya verifikasi sebagai penangkal fake news atau hoax otomatis dilakukan awak media massa konvensional. Data bukan sekadar pemanis atau penambah argumen, tapi juga sebagai pengetahuan.
Keempat, tampilan yang lebih berwarna dalam menyajikan berita dengan artistik perlu ditonjolkan. Bahwa berita saat ini bukan sekadar artikel. Ilustrasi, infografik atau karikatur adalah berita yang mudah dipahami masyarakat digital saat ini.
Kelima, media massa konvensional harus berani menyajikan artikel analitik atau intepretatif, tentu dengan data lapangan yang kuat dan kredibel sebagai dasarnya.
Tantangan perubahan teknologi informasi saat ini pernah terjadi. Media cetak sebagai media massa konvensional atau jenis media massa tertua telah berhasil melewatinya.
Kehadiran radio pada era 1930-an dan televisi berita pada era 1950-an mampu dihadapi dengan baik. Dan sekarang pada era 2000-an, semestinya media cetak bisa menghadapinya dengan tidak sesat digital dan tetap berpedoman pada ”ngeli ning ojo keli”.
(poe)