Korupsi yang Menggurita
A
A
A
UPAYA penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, tampaknya sama sekali tidak memberikan efek jera. Lagi-lagi penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pengadaan kapal. Tidak tanggung-tanggung ada belasan orang digiring ke Jakarta, termasuk salah satunya Direktur Utama PT PAL Firmansyah Arifin.
Fenomena ini benar-benar peringatan serius kepada kita semua bahwa pengungkapan kasus korupsi tidak berjalan efektif. Pemberantasan korupsi yang dilakukan para penegak hukum kita seakan hanya menjadi pemadam kebakaran, karena penegakan hukum yang dilakukan selama ini tidak membuat takut para koruptor untuk terus melakukan aksinya. Koruptor seakan tidak pernah habis. Penangkapan pelaku korupsi masih dianggap angin lalu saja bagi yang lainnya.
Tidak salah kalau banyak yang menyebut korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi begitu lekat dan hampir terjadi di semua lini kehidupan masyarakat mulai tingkat bawah hingga atas. Korupsi telah menggurita. Mungkin yang membedakan hanya jumlah uang yang dikorupsi.
Ketua KPK Agus Rahardjo dalam sebuah kesempatan pernah menyebut bahwa image yang terbangun selama ini bahwa orang yang tertangkap itu hanya bernasib sial, karena memang banyak sekali perilaku korup bisa ditemukan di negara ini.
Melihat fenomena ini, kita semua seharusnya wajib khawatir terutama soal bagaimana keberlangsungan negara ini ke depan jika kita tidak bisa melenyapkan koruptor dari bumi pertiwi. Selama masih dijajah oleh para koruptor, Indonesia tidak akan maju.
Selama perilaku korup masih dianggap biasa oleh masyarakat kita, Indonesia akan semakin tertinggal. Selama masyarakat masih permisif terhadap korupsi, sulit rasanya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di Indonesia.
Apalagi, di era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia akan makin sulit bersaing dengan negara lain. Yang akan terjadi adalah negara akan semakin jauh dari kemajuan dan keadilan.
Sebaliknya, kesenjangan akan semakin menganga di tengah masyarakat. Kelompok yang memiliki akses ekonomi akan makin sejahtera, sedangkan yang tidak punya akses akan terus terpuruk. Fenomena ini kita mudah kita temukan di mana-mana.
Banyak sekali masyarakat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak jauh dari Ibu Kota, banyak potret kemiskinan bisa kita saksikan, misalnya di Banten.
Di sana masih banyak sekali kita temukan masyarakat yang hidup jauh dari kata makmur. Jangankan memikirkan sekolah, untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka harus berjuang keras.
Ketidakadilan penyebaran kue ekonomi ini wajib menjadi perhatian serius pemerintah. Salah satunya adalah bagaimana pemerintah dan aparat hukum menghentikan para koruptor dalam melahap uang rakyat. Ketegasan dalam pemberantasan korupsi bisa menjadi jurus jitu dalam mengatasi problem kemiskinan.
Bayangkan Indonesia tanpa korupsi. Triliunan rupiah dana masyarakat yang selama ini dimakan para koruptor bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam kasus e-KTP, misalnya, dari total dana Rp5,9 triliun diduga kuat ada Rp2,5 triliun uang rakyat dikorupsi. Hampir separuh uang proyek dibuat bancakan. Sangat ironis.
Uang Rp2,5 triliun tentu sangat besar jumlahnya. Uang tersebut bisa dipakai untuk membangun berbagai infrastruktur atau membangun ribuan sekolah yang tidak layak di seluruh Indonesia.
Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk menyelamatkan ribuan bayi terhadap ancaman gizi buruk. Dan sebagainya. Itu baru proyek e-KTP. Atau proyek perkapalan yang baru saja diungkap.
Bagaimana dengan proyek-proyek yang lain? Siapa yang menjamin bahwa proyek-proyek yang ada saat ini tidak di-mark up? Dengan adanya sejumlah proyek yang terungkap dikorupsi, sulit bagi kita untuk percaya bahwa ada proyek yang digarap secara jujur.
Tentu kita tidak bisa hanya mengandalkan pada KPK yang jumlah personelnya sangat terbatas. Begitu masifnya korupsi yang terjadi sudah seharusnya ada strategi lain untuk menghentikannya. Sebelum semuanya terlambat.
Revolusi di bidang hukum sangat dibutuhkan terutama dalam penanganan kasus korupsi, karena keberadaan KPK ternyata belum optimal untuk bisa menghilangkan budaya korupsi di negeri ini. Apalagi, Polri dan Kejaksaan tidak mampu berbuat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi.
Fenomena ini benar-benar peringatan serius kepada kita semua bahwa pengungkapan kasus korupsi tidak berjalan efektif. Pemberantasan korupsi yang dilakukan para penegak hukum kita seakan hanya menjadi pemadam kebakaran, karena penegakan hukum yang dilakukan selama ini tidak membuat takut para koruptor untuk terus melakukan aksinya. Koruptor seakan tidak pernah habis. Penangkapan pelaku korupsi masih dianggap angin lalu saja bagi yang lainnya.
Tidak salah kalau banyak yang menyebut korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia. Korupsi begitu lekat dan hampir terjadi di semua lini kehidupan masyarakat mulai tingkat bawah hingga atas. Korupsi telah menggurita. Mungkin yang membedakan hanya jumlah uang yang dikorupsi.
Ketua KPK Agus Rahardjo dalam sebuah kesempatan pernah menyebut bahwa image yang terbangun selama ini bahwa orang yang tertangkap itu hanya bernasib sial, karena memang banyak sekali perilaku korup bisa ditemukan di negara ini.
Melihat fenomena ini, kita semua seharusnya wajib khawatir terutama soal bagaimana keberlangsungan negara ini ke depan jika kita tidak bisa melenyapkan koruptor dari bumi pertiwi. Selama masih dijajah oleh para koruptor, Indonesia tidak akan maju.
Selama perilaku korup masih dianggap biasa oleh masyarakat kita, Indonesia akan semakin tertinggal. Selama masyarakat masih permisif terhadap korupsi, sulit rasanya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di Indonesia.
Apalagi, di era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia akan makin sulit bersaing dengan negara lain. Yang akan terjadi adalah negara akan semakin jauh dari kemajuan dan keadilan.
Sebaliknya, kesenjangan akan semakin menganga di tengah masyarakat. Kelompok yang memiliki akses ekonomi akan makin sejahtera, sedangkan yang tidak punya akses akan terus terpuruk. Fenomena ini kita mudah kita temukan di mana-mana.
Banyak sekali masyarakat kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tidak jauh dari Ibu Kota, banyak potret kemiskinan bisa kita saksikan, misalnya di Banten.
Di sana masih banyak sekali kita temukan masyarakat yang hidup jauh dari kata makmur. Jangankan memikirkan sekolah, untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari mereka harus berjuang keras.
Ketidakadilan penyebaran kue ekonomi ini wajib menjadi perhatian serius pemerintah. Salah satunya adalah bagaimana pemerintah dan aparat hukum menghentikan para koruptor dalam melahap uang rakyat. Ketegasan dalam pemberantasan korupsi bisa menjadi jurus jitu dalam mengatasi problem kemiskinan.
Bayangkan Indonesia tanpa korupsi. Triliunan rupiah dana masyarakat yang selama ini dimakan para koruptor bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam kasus e-KTP, misalnya, dari total dana Rp5,9 triliun diduga kuat ada Rp2,5 triliun uang rakyat dikorupsi. Hampir separuh uang proyek dibuat bancakan. Sangat ironis.
Uang Rp2,5 triliun tentu sangat besar jumlahnya. Uang tersebut bisa dipakai untuk membangun berbagai infrastruktur atau membangun ribuan sekolah yang tidak layak di seluruh Indonesia.
Uang sebanyak itu bisa dipakai untuk menyelamatkan ribuan bayi terhadap ancaman gizi buruk. Dan sebagainya. Itu baru proyek e-KTP. Atau proyek perkapalan yang baru saja diungkap.
Bagaimana dengan proyek-proyek yang lain? Siapa yang menjamin bahwa proyek-proyek yang ada saat ini tidak di-mark up? Dengan adanya sejumlah proyek yang terungkap dikorupsi, sulit bagi kita untuk percaya bahwa ada proyek yang digarap secara jujur.
Tentu kita tidak bisa hanya mengandalkan pada KPK yang jumlah personelnya sangat terbatas. Begitu masifnya korupsi yang terjadi sudah seharusnya ada strategi lain untuk menghentikannya. Sebelum semuanya terlambat.
Revolusi di bidang hukum sangat dibutuhkan terutama dalam penanganan kasus korupsi, karena keberadaan KPK ternyata belum optimal untuk bisa menghilangkan budaya korupsi di negeri ini. Apalagi, Polri dan Kejaksaan tidak mampu berbuat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi.
(poe)