Manajemen Kinerja Pemerintah
A
A
A
Medrial Alamsyah
Direktur SIGI Indonesia/Pengamat Reformasi Birokrasi
BARU-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) melontarkan kritik terhadap birokrasi. Dikatakan birokrasi selama ini lebih sibuk mengurusi Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) ketimbang hasil pekerjaan yang menjadi tanggung jawab instansinya. Lantas presiden berharap agar birokrasi mengubah diri dengan berorientasi pada hasil ketimbang LPJ. Dalam berbagai literatur public management, imbauan presiden tersebut dikatakan perubahan dari orientasi legalistik menjadi berorientasi hasil.
Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12/2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang berisi 5 Gerakan, di antaranya Gerakan Indonesia Melayani yang salah satu fokus kegiatannya adalah meningkatkan Sistem Manajemen Berbasis Kinerja (SMBK) pada birokrasi pemerintah.
Harus diakui seruan dan instruksi itu pas dan ada di jalur yang benar. Masalahnya, seruan agar “birokrasi berorientasi hasil” serta instruksi “meningkatkan sistem manajemen berbasis kinerja”, tidak akan serta-merta terjadi? Dia perlu langkah presiden lebih lanjut. Kalau tidak, dia hanya akan jadi cerita. Sebab, baik “hasil” maupun “sistem manajemen berbasis kinerja” merupakan sebuah konsep, yang bisa ditafsirkan dan diimplementasikan dalam banyak alternatif bentuk. Perbedaan tafsir dan implementasi itu bisa terjadi dalam satu organisasi, apalagi di organisasi berbeda. Apabila tafsir dan implementasinya tidak diarahkan dengan jelas berpotensi menimbulkan kekacauan, atau setidaknya salah kaprah.
Per definisi, “hasil” atau “outcome” adalah resultan dari berbagai output dalam satu bidang kerja tertentu. Indikator outcome, sebagai ujung yang diinginkan organisasi, oleh Kaplan & Norton (1996) disebut “flag indicators“. Isinya sangat tergantung dari visi dan nilai yang berlaku di organisasi tersebut. Contoh paling mudah di perusahaan swasta, bisa jadi banyak perusahaan menjadikan keuntungan sebagai hasil akhir yang diharapkan; tetapi ada pula—seperti Toyota umpamanya—yang menempatkan kepuasan pelanggan sebagai flag indicator. Keduanya melahirkan indikator dan target turunan (performance driver) atau “lag indicators“ (Kaplan&Norton, ibid) yang berbeda. Target dari semua indikator itu mesti SMART (specific, measurable, agreed upon, realistic, and trackable). Jika tidak, dia hanya akan jadi hiasan kata.
Setelah outcome ditetapkan, dia menjadi ukuran kinerja keberhasilan sebuah organisasi. Bagaimana cara mencapai outcome tersebut, apa saja lag indicators-nya, dan bagaimana cara mengontrolnya, menjadi urusan SMBK. Sebagai mana penulis katakan di atas, banyak alternatif konsep SMBK tersedia karena itu perlu dipilih dan ditetapkan.
Agar mudah dipahami lihat terapan konsep “hasil” (outcome) di atas menggunakan salah satu bentuk sistem manajemen kinerja yang disebut oleh Kaplan & Norton (1996) sebagai tactical balanced scorecard di sebuah pabrik. CEO pabrik pada akhir tahun menetapkan target peningkatan profit perusahaan sebesar 10% pada tahun depan. Agar bisa dimengerti oleh, dan menjadi perhatian bagi, seluruh karyawan, target tersebut diumumkan di hadapan seluruh manajemen dan lantas mereka diminta berdiskusi untuk menjabarkannya di divisi masing-masing.
Seperti kita ketahui, hanya ada tiga cara meningkatkan profit; yaitu menaikkan revenue (pendapatan) dan menurunkan cost (biaya) sekaligus, menaikkan pendapatan dengan biaya tetap, atau pendapatan tetap dengan biaya turun. Katakan dipilih cara pertama, pendapatan naik dan biaya turun.
Menaikkan pendapatan hanya ada dua cara: menaikkan harga dan menaikkan penjualan. Cara pertama paling mudah tapi tidak bisa serta-merta karena perusahaan harus mempertimbangkan harga kompetitor dan daya beli konsumen. Dengan demikian, pasti ada limit. Cara kedua akan dipengaruhi kemampuan produksi, tenaga penjual dan promosi. Kemampuan produksi, di samping dipengaruhi kemampuan sendiri, juga sangat tergantung pada kemampuan dan kecepatan bagian pemeliharaan dalam mencegah dan mengatasi kerusakan mesin produksi. Juga sangat tergantung pada kemampuan bagian pembelian menyediakan bahan baku dan kebutuhan produksi lainnya.
Maka dalam urusan berapa persentase peningkatan keuntungan dari peningkatan pendapatan, yang realistik bisa didapat, ada 5 bagian atau divisi yang harus berdiskusi: sales, promosi, pemeliharaan, pembelian, dan produksi. Berbicara tentang penurunan biaya pasti melibatkan diskusi semua bagian dan bukan tidak mungkin diskusi tersebut akan mengulang diskusi soal target pendapatan.
Diskusi di atas baru membahas target-target pada tingkat kepala bagian divisi/bagian. Untuk bisa bermakna dan dipahami oleh bawahannya, kepala divisi perlu menjabarkan target-target tersebut sesuai dengan subbagian yang ada di bawahnya. Baru kemudian masing-masing divisi mendiskusikan rencana kegiatan dan program inisiatif apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai target yang menjadi beban mereka. Bisa program bersama, bisa juga program masing-masing dengan jadwal yang disepakati.
Di perusahaan-perusahaan yang profesional, diskusi-diskusi di atas rutin diadakan secara berjenjang dan serius. Tak jarang mereka mengadakan workshops di luar kota dan mengundang konsultan sebagai fasilitator yang netral. Sebab, diskusi di atas kendati berbasis rasionalitas tetap saja ada unsur subjektivitas. Poinnya adalah bahwa penetapan goals (flag & lag indicators) organisasi yang SMART mengundang diskusi antarbagian sehingga ada saling pemahaman satu sama lain dan ada kesepakatan soal tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan bersama.
Terjebak Doktrin Kedaluwarsa
Bagaimana di pemerintah? Birokrasi pemerintah pada umumnya terjebak dalam doktrin administrasi negara yang kedaluwarsa yaitu: “pekerjaan pemerintah susah—kalau bukan dikatakan mustahil—diukur”. Mereka sudah terlalu nyaman dengan pendekatan sektoral dan proyek sehingga melewatkan proses diskusi (belajar) penting dalam hal penentuan flag & lag indicators (indikator hasil dan penjabarannya) beserta target-targetnya dalam perencanaan. Belakangan ada yang berupaya membuat indikator hasil tapi masih dalam konteks sektor masing-masing. Bahkan, Presiden Jokowi sendiri, seperti di video di atas, memaknai “hasil” dalam konteks sektoral.
Kementerian dan lembaga (K/L) yang bertugas melakukan koordinasi, baik koordinasi perencanaan (Bappenas) maupun pelaksanaan (kemenko dan kementrian negara) juga terjebak dalam doktrin kedaluwarsa lainnya bahwa mereka harus senantiasa berpikir dalam konteks negara bangsa yang sangat luas ketimbang konteks wilayah yang lebih nyata dan relatif bisa dikendalikan (lihat Kennichi Ohmae, 2005 & Sachs, 2011). Akibatnya semua terjebak dalam proyek-proyek sektoral, bahkan terbenam—seperti dikatakan Jokowi—dalam urusan SPJ.
Ketika pemerintah bekerja secara sektoral, itu sama saja ibarat seorang CEO pabrik membuat target kenaikan produksi 5% dan penurunan biaya semua divisi 5% dengan harapan dapat keuntungan 10% pada akhir tahun. Jika itu dilakukan, alih-alih untung malah bisa buntung, atau mungkin terjadi kekacauan. Sejatinya birokrasi pemerintah berada dalam kekacauan dan kerugian besar, hanya saja tidak terdeteksi karena tidak memiliki sistem untuk mendeteksi kekacauan dan kerugian itu.
Untuk keluar dari situasi tersebut, presiden bisa melakukan dua hal: jangka panjang dan jangka pendek. Secara jangka panjang, presiden dapat membagi Indonesia dalam beberapa region state (Ohmae. ibid) lalu menetapkan flag indicators beserta target-targetnya untuk setiap region state. Kemudian Presiden menginstruksikan K/L dan seluruh kepala daerah terkait untuk membuat lag indicators dan target-targetnya untuk semua pejabat yang terlibat, kemudian mereview secara periodik sesuai dengan time line masing-masing indikator. Untuk menambah efektivitas, presiden bisa meminta DPR untuk merombak struktur organisasi mereka (komisi), dari sektoral seperti sekarang menjadi berbasis wilayah yang dibuat presiden.
Secara jangka pendek, presiden bisa mendapatkan hasil cepat (quick win) dengan menetapkan flag indicator beserta target-targetnya untuk bidang-bidang atau cabang-cabang birokrasi tertentu seperti sudah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dalam bidang perizinan investasi. Jadi pemerintah tinggal memperluasnya di bidang-bidang lain.
Salah satu contoh yang paling mudah dilakukan presiden adalah di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Presiden bisa menetapkan beberapa target untuk KBRI, seperti target peningkatan investasi, jumlah ekspor, nilai kerja sama riset, jumlah mahasiswa belajar ke dan penerima beasiswa dari, negara akreditasi, jumlah tenaga profesional diterima bekerja di negara bersangkutan, dan sebagainya.
Masing-masing indikator/target dibebankan kepada KBRI dan K/L terkait, Presiden meminta mereka membuat jabaran indikator (lag indicators) dan targetnya, menyusun program inisiatif untuk memastikan target tercapai; lalu presiden melakukan review secara periodik untuk memastikan indikator, target, dan pencapaiannya sudah sesuai harapan.
Sistem manajemen kinerja seperti di atas diyakini akan menghasilkan perubahan (revolusi mental) yang nyata, khususnya di KBRI. Jika selama ini mereka sibuk dengan LPJ, mengantar tamu-tamu yang tidak ada kaitannya dengan kinerja KBRI, berorientasi output (puas ketika sebuah kegiatan selesai tanpa jelas hasilnya apa), dan mengabaikan data-data substansial; akan mmaksa mereka membangun basis data strategis, hanya melayani tamu-tamu Indonesia yang relevan, memilih dan melaksanakan kegiatan lebih cermat, dan melakukan koordinasi substansial antarbagian/sektor, untuk menghasilkan outcome yang smart; LPJ tidak lagi jadi fokus, melainkan sebagai konsekuensi logis dari sistem akuntansi belaka.
Direktur SIGI Indonesia/Pengamat Reformasi Birokrasi
BARU-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) melontarkan kritik terhadap birokrasi. Dikatakan birokrasi selama ini lebih sibuk mengurusi Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) ketimbang hasil pekerjaan yang menjadi tanggung jawab instansinya. Lantas presiden berharap agar birokrasi mengubah diri dengan berorientasi pada hasil ketimbang LPJ. Dalam berbagai literatur public management, imbauan presiden tersebut dikatakan perubahan dari orientasi legalistik menjadi berorientasi hasil.
Presiden Jokowi juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12/2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang berisi 5 Gerakan, di antaranya Gerakan Indonesia Melayani yang salah satu fokus kegiatannya adalah meningkatkan Sistem Manajemen Berbasis Kinerja (SMBK) pada birokrasi pemerintah.
Harus diakui seruan dan instruksi itu pas dan ada di jalur yang benar. Masalahnya, seruan agar “birokrasi berorientasi hasil” serta instruksi “meningkatkan sistem manajemen berbasis kinerja”, tidak akan serta-merta terjadi? Dia perlu langkah presiden lebih lanjut. Kalau tidak, dia hanya akan jadi cerita. Sebab, baik “hasil” maupun “sistem manajemen berbasis kinerja” merupakan sebuah konsep, yang bisa ditafsirkan dan diimplementasikan dalam banyak alternatif bentuk. Perbedaan tafsir dan implementasi itu bisa terjadi dalam satu organisasi, apalagi di organisasi berbeda. Apabila tafsir dan implementasinya tidak diarahkan dengan jelas berpotensi menimbulkan kekacauan, atau setidaknya salah kaprah.
Per definisi, “hasil” atau “outcome” adalah resultan dari berbagai output dalam satu bidang kerja tertentu. Indikator outcome, sebagai ujung yang diinginkan organisasi, oleh Kaplan & Norton (1996) disebut “flag indicators“. Isinya sangat tergantung dari visi dan nilai yang berlaku di organisasi tersebut. Contoh paling mudah di perusahaan swasta, bisa jadi banyak perusahaan menjadikan keuntungan sebagai hasil akhir yang diharapkan; tetapi ada pula—seperti Toyota umpamanya—yang menempatkan kepuasan pelanggan sebagai flag indicator. Keduanya melahirkan indikator dan target turunan (performance driver) atau “lag indicators“ (Kaplan&Norton, ibid) yang berbeda. Target dari semua indikator itu mesti SMART (specific, measurable, agreed upon, realistic, and trackable). Jika tidak, dia hanya akan jadi hiasan kata.
Setelah outcome ditetapkan, dia menjadi ukuran kinerja keberhasilan sebuah organisasi. Bagaimana cara mencapai outcome tersebut, apa saja lag indicators-nya, dan bagaimana cara mengontrolnya, menjadi urusan SMBK. Sebagai mana penulis katakan di atas, banyak alternatif konsep SMBK tersedia karena itu perlu dipilih dan ditetapkan.
Agar mudah dipahami lihat terapan konsep “hasil” (outcome) di atas menggunakan salah satu bentuk sistem manajemen kinerja yang disebut oleh Kaplan & Norton (1996) sebagai tactical balanced scorecard di sebuah pabrik. CEO pabrik pada akhir tahun menetapkan target peningkatan profit perusahaan sebesar 10% pada tahun depan. Agar bisa dimengerti oleh, dan menjadi perhatian bagi, seluruh karyawan, target tersebut diumumkan di hadapan seluruh manajemen dan lantas mereka diminta berdiskusi untuk menjabarkannya di divisi masing-masing.
Seperti kita ketahui, hanya ada tiga cara meningkatkan profit; yaitu menaikkan revenue (pendapatan) dan menurunkan cost (biaya) sekaligus, menaikkan pendapatan dengan biaya tetap, atau pendapatan tetap dengan biaya turun. Katakan dipilih cara pertama, pendapatan naik dan biaya turun.
Menaikkan pendapatan hanya ada dua cara: menaikkan harga dan menaikkan penjualan. Cara pertama paling mudah tapi tidak bisa serta-merta karena perusahaan harus mempertimbangkan harga kompetitor dan daya beli konsumen. Dengan demikian, pasti ada limit. Cara kedua akan dipengaruhi kemampuan produksi, tenaga penjual dan promosi. Kemampuan produksi, di samping dipengaruhi kemampuan sendiri, juga sangat tergantung pada kemampuan dan kecepatan bagian pemeliharaan dalam mencegah dan mengatasi kerusakan mesin produksi. Juga sangat tergantung pada kemampuan bagian pembelian menyediakan bahan baku dan kebutuhan produksi lainnya.
Maka dalam urusan berapa persentase peningkatan keuntungan dari peningkatan pendapatan, yang realistik bisa didapat, ada 5 bagian atau divisi yang harus berdiskusi: sales, promosi, pemeliharaan, pembelian, dan produksi. Berbicara tentang penurunan biaya pasti melibatkan diskusi semua bagian dan bukan tidak mungkin diskusi tersebut akan mengulang diskusi soal target pendapatan.
Diskusi di atas baru membahas target-target pada tingkat kepala bagian divisi/bagian. Untuk bisa bermakna dan dipahami oleh bawahannya, kepala divisi perlu menjabarkan target-target tersebut sesuai dengan subbagian yang ada di bawahnya. Baru kemudian masing-masing divisi mendiskusikan rencana kegiatan dan program inisiatif apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai target yang menjadi beban mereka. Bisa program bersama, bisa juga program masing-masing dengan jadwal yang disepakati.
Di perusahaan-perusahaan yang profesional, diskusi-diskusi di atas rutin diadakan secara berjenjang dan serius. Tak jarang mereka mengadakan workshops di luar kota dan mengundang konsultan sebagai fasilitator yang netral. Sebab, diskusi di atas kendati berbasis rasionalitas tetap saja ada unsur subjektivitas. Poinnya adalah bahwa penetapan goals (flag & lag indicators) organisasi yang SMART mengundang diskusi antarbagian sehingga ada saling pemahaman satu sama lain dan ada kesepakatan soal tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan bersama.
Terjebak Doktrin Kedaluwarsa
Bagaimana di pemerintah? Birokrasi pemerintah pada umumnya terjebak dalam doktrin administrasi negara yang kedaluwarsa yaitu: “pekerjaan pemerintah susah—kalau bukan dikatakan mustahil—diukur”. Mereka sudah terlalu nyaman dengan pendekatan sektoral dan proyek sehingga melewatkan proses diskusi (belajar) penting dalam hal penentuan flag & lag indicators (indikator hasil dan penjabarannya) beserta target-targetnya dalam perencanaan. Belakangan ada yang berupaya membuat indikator hasil tapi masih dalam konteks sektor masing-masing. Bahkan, Presiden Jokowi sendiri, seperti di video di atas, memaknai “hasil” dalam konteks sektoral.
Kementerian dan lembaga (K/L) yang bertugas melakukan koordinasi, baik koordinasi perencanaan (Bappenas) maupun pelaksanaan (kemenko dan kementrian negara) juga terjebak dalam doktrin kedaluwarsa lainnya bahwa mereka harus senantiasa berpikir dalam konteks negara bangsa yang sangat luas ketimbang konteks wilayah yang lebih nyata dan relatif bisa dikendalikan (lihat Kennichi Ohmae, 2005 & Sachs, 2011). Akibatnya semua terjebak dalam proyek-proyek sektoral, bahkan terbenam—seperti dikatakan Jokowi—dalam urusan SPJ.
Ketika pemerintah bekerja secara sektoral, itu sama saja ibarat seorang CEO pabrik membuat target kenaikan produksi 5% dan penurunan biaya semua divisi 5% dengan harapan dapat keuntungan 10% pada akhir tahun. Jika itu dilakukan, alih-alih untung malah bisa buntung, atau mungkin terjadi kekacauan. Sejatinya birokrasi pemerintah berada dalam kekacauan dan kerugian besar, hanya saja tidak terdeteksi karena tidak memiliki sistem untuk mendeteksi kekacauan dan kerugian itu.
Untuk keluar dari situasi tersebut, presiden bisa melakukan dua hal: jangka panjang dan jangka pendek. Secara jangka panjang, presiden dapat membagi Indonesia dalam beberapa region state (Ohmae. ibid) lalu menetapkan flag indicators beserta target-targetnya untuk setiap region state. Kemudian Presiden menginstruksikan K/L dan seluruh kepala daerah terkait untuk membuat lag indicators dan target-targetnya untuk semua pejabat yang terlibat, kemudian mereview secara periodik sesuai dengan time line masing-masing indikator. Untuk menambah efektivitas, presiden bisa meminta DPR untuk merombak struktur organisasi mereka (komisi), dari sektoral seperti sekarang menjadi berbasis wilayah yang dibuat presiden.
Secara jangka pendek, presiden bisa mendapatkan hasil cepat (quick win) dengan menetapkan flag indicator beserta target-targetnya untuk bidang-bidang atau cabang-cabang birokrasi tertentu seperti sudah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan dalam bidang perizinan investasi. Jadi pemerintah tinggal memperluasnya di bidang-bidang lain.
Salah satu contoh yang paling mudah dilakukan presiden adalah di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia). Presiden bisa menetapkan beberapa target untuk KBRI, seperti target peningkatan investasi, jumlah ekspor, nilai kerja sama riset, jumlah mahasiswa belajar ke dan penerima beasiswa dari, negara akreditasi, jumlah tenaga profesional diterima bekerja di negara bersangkutan, dan sebagainya.
Masing-masing indikator/target dibebankan kepada KBRI dan K/L terkait, Presiden meminta mereka membuat jabaran indikator (lag indicators) dan targetnya, menyusun program inisiatif untuk memastikan target tercapai; lalu presiden melakukan review secara periodik untuk memastikan indikator, target, dan pencapaiannya sudah sesuai harapan.
Sistem manajemen kinerja seperti di atas diyakini akan menghasilkan perubahan (revolusi mental) yang nyata, khususnya di KBRI. Jika selama ini mereka sibuk dengan LPJ, mengantar tamu-tamu yang tidak ada kaitannya dengan kinerja KBRI, berorientasi output (puas ketika sebuah kegiatan selesai tanpa jelas hasilnya apa), dan mengabaikan data-data substansial; akan mmaksa mereka membangun basis data strategis, hanya melayani tamu-tamu Indonesia yang relevan, memilih dan melaksanakan kegiatan lebih cermat, dan melakukan koordinasi substansial antarbagian/sektor, untuk menghasilkan outcome yang smart; LPJ tidak lagi jadi fokus, melainkan sebagai konsekuensi logis dari sistem akuntansi belaka.
(kri)