Post-Truth Politician
A
A
A
Firman Noor
Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI
Research Fellow, pada IAIS
University of Exeter
SALAH satu keyakinan yang berkembang di masyarakat terkait kehidupan politik adalah kebohongan berpotensi dilakukan oleh mereka yang tengah memiliki kekuasaan. Saat ini kekuasaan sepenuhnya ada di tangan politisi, dan kebohongan demi kebohongan yang melanda publik tidak lepas dari sikap dan perilaku politisi itu.
Kehidupan politik dan kebohongan mungkin menjadi tidak terelakkan. Keduanya seperti dua sisi dalam satu mata uang. Politisi yang andal adalah mereka yang mampu mengelak dengan cantik atas apa yang pernah dikatakannya dan mampu bersikap seolah-olah tidak bersalah, serta (hebatnya) selalu mampu kemudian muncul dalam posisi yang benar dan akhirnya menguntungkan secara politik.
Di sisi lain, jika seorang politisi terjebak berkali-kali dan akhirnya terjerat karena omongannya, bisa jadi dia belum cukup matang menjadi politisi atau terlalu polos untuk masuk dalam dunia politik. Meski demikian, kemampuan mengelak itu apa pun namanya tetap akarnya adalah kebohongan.
Saat ini muncul fenomena yang kerap disebut sebagai post-truth politician. Guardian, salah satu koran berpengaruh di Inggris, menggunakan istilah ini untuk memotret politisi yang gemar berbohong.
Istilah itu sebenarnya berakar dari kata post-truth yang pertama kali digunakan oleh Steve Tesich sekitar lebih dari dua dekade lalu. Kata post-truth saat ini menjadi salah satu kata ikonik dan didaulat menjadi kata paling populer pada 2016 menurut Oxford Dictionaries. Ini membuktikan bahwa fenomena ini bersifat mondial.
Istilah post-truth itu sendiri dibuat untuk menandai sebuah situasi atau era di mana terdapat semakin banyak politisi yang dalam upayanya meyakinkan publik tidak jujur dalam berargumentasi.
Alih-alih fokus pada sebuah pembelaan empiris, apalagi akademis, atas apa yang disampaikan ke publik, politisi era post-truth ini lebih suka bermain dengan fantasi yang membius publik.
Mereka juga amat peduli dengan upaya membangun citra, bukan melalui pertimbangan kebenaran atau objektivitas dan dengan cara-cara yang berlebihan.
Politisi model ini gemar mengutak-atik emosi publik dengan kata-kata yang sepintas masuk akal, menggugah semangat, kadang menakut-nakuti (scaremongering), membuat terpukau, terheran-heran, hingga merasa larut dalam semangat pembelaan kepada figur atau partai tertentu, yang sebenarnya bersifat fatamorgana.
Fenomena ini dilihat dari substansinya bukanlah barang baru dan terus terjadi hingga kini. Ini sudah ada mulai sejak Adolf Hitler dengan lebenstraum dan antisemitisme untuk mendukung proyek fasismenya hingga Boris Johnson dengan soal 350 juta poundsterling per minggu defisit untuk menyerang Uni Eropa sekaligus promosi atas Brexitnya.
Sebagian lainnya mengaitkan fenomena ini dengan apa yang terjadi saat Pemilihan Presiden AS terakhir. Semua itu melakukan permainan ilusi dan fantasi untuk meraih simpati dan kemenangan.
Bagaimana dengan Indonesia
Pada masa lalu politisi di Tanah Air cenderung mengutarakan idealismenya dengan pembelaan-pembelaan argumen yang bersifat ideologis, bahkan akademis, kerap disertai data-data empiris. Lihat dan cermatilah berbagai surat kabar, majalah, atau selebaran-selebaran yang dikeluarkan oleh partai-partai atau politisi era demokrasi liberal.
Saling silang dan saling serang demikian ramai dan membahana. Pukul-memukul dalam konteks kata-kata, opini, dan wacana menjadi hal yang biasa.
Meski terselip di sana-sini salah paham atau pengaburan makna, bahkan mungkin juga halusinasi, penyampaian argumen pada umumnya disandarkan pada aspek-aspek empiris atau setidaknya dugaan-dugaan yang bersifat akademis induktif.
Yang pasti, saat itu tidak banyak hoax meski bukan berarti dunia politik tidak pula diisi oleh canda dan perumpamaan-perumpamaan yang jenaka baik untuk menyerang lawan atau membela diri. Fenomena ini tidak mengherankan terjadi karena beberapa hal.
Pertama, elite politik masa itu kebanyakan tokoh intelektual dan ideologi yang terbiasa kritis, lugas, dan berbicara secara empiris. Dengan karakternya ini, meski kerap bercampur dengan kepentingan politik, sikap untuk melakukan pembelaan yang berlebih-lebihan dan tidak pada tempatnya bukan merupakan pilihan utama mereka.
Kedua, kesadaran kebangsaan mereka demikian tinggi yang disertai keinginan amat kuat untuk membimbing anak bangsa. Itulah mengapa mereka disebut sebagai bapak bangsa plus negarawan. Dalam nuansa ini niatan membohongi publik bukanlah selera kebanyakan politisi saat itu. Sebisa mungkin mereka menjaga marwah untuk tetap menjaga kepercayaan publik.
Namun, saat ini prinsip the end justifies the mean menjadi hal yang lumrah. Kebohongan dan penipuan menjadi makin menjamur. Seseorang dapat lompat pada posisi yang berbeda secara diametrikal dalam hitungan bulan atau bahkan minggu saja.
Tidak hanya itu, mereka juga tidak ragu untuk mengerahkan semua sumber daya baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan sumber daya yang haram untuk membantu pembenaran kata-kata, sikap, dan tentu saja kemenangan politik.
Padahal, kita tahu kebanyakan substansi dan prosesi pembelaan itu sebenarnya hanya ketoprak humor. Tidak ada lagi rasa malu apalagi penghargaan atas pentingnya mewariskan kepercayaan kepada generasi mendatang akan pentingnya kehidupan politik yang bermartabat.
Dalam nuansa ini, tidak heran jika kebohongan publik meluas yang tercermin dari maraknya hoax. Tidak itu saja, nilai-nilai dasar yang selama ini dihormati dan telah membawa banyak manfaat ikut diguncang demi sekadar memenangkan sebuah argumen.
Sejalan dengan itu, kesantunan dan moralitas berpolitik menjadi barang langka. Dan, hal lain yang juga menyedihkan adalah politisi terjebak dalam nuansa homo homini lupus yang sama sekali tidak mencerahkan. Hal yang menyebabkan bangsa ini tidak saja semakin miskin akan ide-ide politik yang bernas, namun juga telah masuk dalam gerbang masa-masa kegelapan.
Bisa jadi ini semua juga disebabkan oleh jaring-jaring kekuasaan dan kepentingan eksklusif yang menggiurkan, utang politik yang menggurita dan sulit terbayar, hingga masyarakat kebanyakan yang tidak mandiri atau peduli politik, hingga justru mudah termanipulasi. Semua ini sungguh tantangan yang berat bagi bangsa untuk dapat membebaskan diri dari model post-truth politician.
Meski demikian, apakah memang semua politisi kita itu gemar dan canggih berbohong? Tentu saja tidak. Sebagaimana yang terjadi pada masa lalu, saat ini masih ada figur-figur yang bermental negarawan dan politisi yang punya rasa malu cukup tebal.
Sayangnya, pengaruh mereka saat ini masih belum signifikan. Kita nantikan kapan mereka semua dapat mengambil alih kehidupan politik bangsa. Agar bangsa ini dapat terbebas dari kehidupan politik yang makin terasa sesak oleh asap dagelan politik yang penuh dengan kedegilan ini.
Peneliti Pusat Penelitian Politik-LIPI
Research Fellow, pada IAIS
University of Exeter
SALAH satu keyakinan yang berkembang di masyarakat terkait kehidupan politik adalah kebohongan berpotensi dilakukan oleh mereka yang tengah memiliki kekuasaan. Saat ini kekuasaan sepenuhnya ada di tangan politisi, dan kebohongan demi kebohongan yang melanda publik tidak lepas dari sikap dan perilaku politisi itu.
Kehidupan politik dan kebohongan mungkin menjadi tidak terelakkan. Keduanya seperti dua sisi dalam satu mata uang. Politisi yang andal adalah mereka yang mampu mengelak dengan cantik atas apa yang pernah dikatakannya dan mampu bersikap seolah-olah tidak bersalah, serta (hebatnya) selalu mampu kemudian muncul dalam posisi yang benar dan akhirnya menguntungkan secara politik.
Di sisi lain, jika seorang politisi terjebak berkali-kali dan akhirnya terjerat karena omongannya, bisa jadi dia belum cukup matang menjadi politisi atau terlalu polos untuk masuk dalam dunia politik. Meski demikian, kemampuan mengelak itu apa pun namanya tetap akarnya adalah kebohongan.
Saat ini muncul fenomena yang kerap disebut sebagai post-truth politician. Guardian, salah satu koran berpengaruh di Inggris, menggunakan istilah ini untuk memotret politisi yang gemar berbohong.
Istilah itu sebenarnya berakar dari kata post-truth yang pertama kali digunakan oleh Steve Tesich sekitar lebih dari dua dekade lalu. Kata post-truth saat ini menjadi salah satu kata ikonik dan didaulat menjadi kata paling populer pada 2016 menurut Oxford Dictionaries. Ini membuktikan bahwa fenomena ini bersifat mondial.
Istilah post-truth itu sendiri dibuat untuk menandai sebuah situasi atau era di mana terdapat semakin banyak politisi yang dalam upayanya meyakinkan publik tidak jujur dalam berargumentasi.
Alih-alih fokus pada sebuah pembelaan empiris, apalagi akademis, atas apa yang disampaikan ke publik, politisi era post-truth ini lebih suka bermain dengan fantasi yang membius publik.
Mereka juga amat peduli dengan upaya membangun citra, bukan melalui pertimbangan kebenaran atau objektivitas dan dengan cara-cara yang berlebihan.
Politisi model ini gemar mengutak-atik emosi publik dengan kata-kata yang sepintas masuk akal, menggugah semangat, kadang menakut-nakuti (scaremongering), membuat terpukau, terheran-heran, hingga merasa larut dalam semangat pembelaan kepada figur atau partai tertentu, yang sebenarnya bersifat fatamorgana.
Fenomena ini dilihat dari substansinya bukanlah barang baru dan terus terjadi hingga kini. Ini sudah ada mulai sejak Adolf Hitler dengan lebenstraum dan antisemitisme untuk mendukung proyek fasismenya hingga Boris Johnson dengan soal 350 juta poundsterling per minggu defisit untuk menyerang Uni Eropa sekaligus promosi atas Brexitnya.
Sebagian lainnya mengaitkan fenomena ini dengan apa yang terjadi saat Pemilihan Presiden AS terakhir. Semua itu melakukan permainan ilusi dan fantasi untuk meraih simpati dan kemenangan.
Bagaimana dengan Indonesia
Pada masa lalu politisi di Tanah Air cenderung mengutarakan idealismenya dengan pembelaan-pembelaan argumen yang bersifat ideologis, bahkan akademis, kerap disertai data-data empiris. Lihat dan cermatilah berbagai surat kabar, majalah, atau selebaran-selebaran yang dikeluarkan oleh partai-partai atau politisi era demokrasi liberal.
Saling silang dan saling serang demikian ramai dan membahana. Pukul-memukul dalam konteks kata-kata, opini, dan wacana menjadi hal yang biasa.
Meski terselip di sana-sini salah paham atau pengaburan makna, bahkan mungkin juga halusinasi, penyampaian argumen pada umumnya disandarkan pada aspek-aspek empiris atau setidaknya dugaan-dugaan yang bersifat akademis induktif.
Yang pasti, saat itu tidak banyak hoax meski bukan berarti dunia politik tidak pula diisi oleh canda dan perumpamaan-perumpamaan yang jenaka baik untuk menyerang lawan atau membela diri. Fenomena ini tidak mengherankan terjadi karena beberapa hal.
Pertama, elite politik masa itu kebanyakan tokoh intelektual dan ideologi yang terbiasa kritis, lugas, dan berbicara secara empiris. Dengan karakternya ini, meski kerap bercampur dengan kepentingan politik, sikap untuk melakukan pembelaan yang berlebih-lebihan dan tidak pada tempatnya bukan merupakan pilihan utama mereka.
Kedua, kesadaran kebangsaan mereka demikian tinggi yang disertai keinginan amat kuat untuk membimbing anak bangsa. Itulah mengapa mereka disebut sebagai bapak bangsa plus negarawan. Dalam nuansa ini niatan membohongi publik bukanlah selera kebanyakan politisi saat itu. Sebisa mungkin mereka menjaga marwah untuk tetap menjaga kepercayaan publik.
Namun, saat ini prinsip the end justifies the mean menjadi hal yang lumrah. Kebohongan dan penipuan menjadi makin menjamur. Seseorang dapat lompat pada posisi yang berbeda secara diametrikal dalam hitungan bulan atau bahkan minggu saja.
Tidak hanya itu, mereka juga tidak ragu untuk mengerahkan semua sumber daya baik politik, ekonomi, sosial, budaya, dan bahkan sumber daya yang haram untuk membantu pembenaran kata-kata, sikap, dan tentu saja kemenangan politik.
Padahal, kita tahu kebanyakan substansi dan prosesi pembelaan itu sebenarnya hanya ketoprak humor. Tidak ada lagi rasa malu apalagi penghargaan atas pentingnya mewariskan kepercayaan kepada generasi mendatang akan pentingnya kehidupan politik yang bermartabat.
Dalam nuansa ini, tidak heran jika kebohongan publik meluas yang tercermin dari maraknya hoax. Tidak itu saja, nilai-nilai dasar yang selama ini dihormati dan telah membawa banyak manfaat ikut diguncang demi sekadar memenangkan sebuah argumen.
Sejalan dengan itu, kesantunan dan moralitas berpolitik menjadi barang langka. Dan, hal lain yang juga menyedihkan adalah politisi terjebak dalam nuansa homo homini lupus yang sama sekali tidak mencerahkan. Hal yang menyebabkan bangsa ini tidak saja semakin miskin akan ide-ide politik yang bernas, namun juga telah masuk dalam gerbang masa-masa kegelapan.
Bisa jadi ini semua juga disebabkan oleh jaring-jaring kekuasaan dan kepentingan eksklusif yang menggiurkan, utang politik yang menggurita dan sulit terbayar, hingga masyarakat kebanyakan yang tidak mandiri atau peduli politik, hingga justru mudah termanipulasi. Semua ini sungguh tantangan yang berat bagi bangsa untuk dapat membebaskan diri dari model post-truth politician.
Meski demikian, apakah memang semua politisi kita itu gemar dan canggih berbohong? Tentu saja tidak. Sebagaimana yang terjadi pada masa lalu, saat ini masih ada figur-figur yang bermental negarawan dan politisi yang punya rasa malu cukup tebal.
Sayangnya, pengaruh mereka saat ini masih belum signifikan. Kita nantikan kapan mereka semua dapat mengambil alih kehidupan politik bangsa. Agar bangsa ini dapat terbebas dari kehidupan politik yang makin terasa sesak oleh asap dagelan politik yang penuh dengan kedegilan ini.
(poe)