Tekanan Freeport di Balik Rencana Kunjungan Wapres AS
A
A
A
Fahmy Radhi
Pengamat Energi UGM dan
Mantan Anggota Tim Antimafia Migas
HASIL pertemuan antara Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Joseph R Donovan dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengisyaratkan adanya kemungkinan rencana kunjungan Wakil Presiden (Wapres) AS Mike Pence ke Indonesia pada bulan depan. Kunjungan Pence itu merupakan rangkaian tur ke negara-negara Asia. Besar kemungkinan Indonesia merupakan negara pertama yang akan dikunjungi Wapres AS Pence dalam tur Asia.
Kendati Dubes AS dan Menko Polhukam tidak mengungkapkan secara eksplisit terkait agenda pembahasan dengan Pemerintah Indonesia. Namun, tidak dapat disangkal bahwa salah satu materi yang akan dibahas dalam pertemuan dengan pemerintah Indonesia adalah pembahasan tentang kontrak karya (KK) Freeport. Seperti dikutip oleh Reuters pada Senin (13/3/2017), Pence kemungkinan besar akan membahas masalah KK Freeport yang saat ini belum tercapai kesepakatan dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran.
Beberapa waktu lalu, Chief Executive Officer Freeport McMoRan Richard C Adkerson datang ke Jakarta untuk berunding dengan Menteri Energi Sumber daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Fokus perundingan itu berkaitan dengan tuntutan Freeport tentang relaksasi persyaratan ekspor konsentrat Freeport, yang ditetapkan Menteri ESDM berdasarkan undang-undang (UU) dan peraturan berlaku.
Namun, perundingan itu tampaknya tidak menghasilkan kesepakatan sehingga memunculkan aksi saling ancam di antara keduanya. Adkerson melancarkan ultimatum bila dalam waktu 120 hari tuntutan tidak dipenuhi, Freeport akan memperkarakan Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. Seakan tidak gentar menghadapi ancaman itu, Jonan pun balik mengancam untuk menuntut Freeport di Arbitase Internasional.
Adanya saling mengancam tersebut, Freeport barang kali akan menggunakan momentum kunjungan Pence ke Indonesia untuk ikut menekan Pemerintah Indonesia agar memenuhi semua tuntutan Freeport, yang hingga kini belum ada tanda-tanda akan dipenuhi Pemerintah Indonesia. Tekanan Pemerintah AS terhadap Pemerintah Indonesia sesungguhnya pernah terjadi sebelumnya pada pemerintahan SBY, saat terjadinya perebutan Blok Cepu antara Pertamina dan Exxon Mobil pada Maret 2012.
Exxon Mobil kala itu mengerahkan ”Pasukan Gabungan”, yang terdiri dari Pemerintah AS melalui kedutaan besarnya di Jakarta, IMF, dan Bank Dunia serta ”komprador Melayu”, untuk menekan habis-habisan Pemerintah Indonesia agar memberikan Blok Cepu kepada Exxon Mobil. Di tengah perundingan yang masih alot, tiba-tiba pemerintahan SBY memutuskan untuk memberikan pengelolaan Blok Cepu kepada Exxon Mobil. Entah kebetulan, keputusan itu diputuskan oleh Presiden SBY sehari setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Condoleeza Rice era pemerintahan George W Bush ke Indonesia.
Dengan modus serupa, tidak mustahil bahwa salah satu tujuan kunjungan Wapres AS ke Indonesia untuk menekan Pemerintah Indonesia agar memenuhi semua tuntutan Freeport. Tuntutan tersebut meliputi izin ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri (DN) dalam waktu lima tahun ke depan, sesuai dengan perubahan KK ke izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Ironisnya, Freeport mau menerima perubahan KK menjadi IUPK untuk bisa mengekspor konsentrat, tetapi menolak persyaratan IUPK secara komprehensif.
Kalau benar kunjungan Wapres AS Pence, salah satunya untuk menekan pemerintah, kali ini Pemerintah Indonesia harus berani menolak untuk memenuhi tuntutan Freeport McMoran. Dalam menghadapi tekanan itu, keputusan Presiden Joko Widodo harus tetap mendasarkan pada UU dan peraturan yang berlaku. Jangan sampai terjadi keputusan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi tuntutan Freeport diputuskan dengan melabrak UU dan peraturan, yang secara sah berlaku di negara Indonesia yang berdaulat.
Semasif apa pun tekanan Freeport dan Pemerintah AS, serta ”Komprador Melayu” terhadap Pemerintah Indonesia, pemerintahan Joko Widodo harus tetap istiqomah dengan menawarkan dua alternatif kepada Freeport, sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku. Kalau Freeport menghendaki untuk tetap menggunakan KK, ekspor tetap diizinkan untuk konsentrat yang sudah diproses dan dimurnikan di smelter DN, sesuai dengan syarat UU Nomor 4 Tahun 2009.
Kalau menghendaki perubahan KK menjadi IUPK, Freeport harus memenuhi persyaratan IUPK secara komprehensif, bukan secara parsial, sesuai dengan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Minerba. Persyaratan itu meliputi divestasi saham PT Freeport Indonesia hingga mencapai 51% dalam 10 tahun, sejak persetujuan perubahan KK menjadi IUPK. Selain itu, Freeport harus menerima persyaratan IUPK lainnya yang berkaitan dengan sistem fiscal prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia).
Adanya kemungkinan tekanan Wapres AS Pence, bahkan tekanan dari Presiden AS Donald Trump sekalipun, Pemerintah Indonesia jangan pernah memenuhi tuntutan Freeport untuk melakukan divestasi maksimal sebesar 30% dan tetap menggunakan sistem fiskal naildown (besaran pajak tetap), seperti yang diterapkan Freeport selama menggunakan KK dalam kurun waktu 50 tahun ini.
Kalau Freeport dan Pemerintah AS serta komprador Melayu tetap bersikukuh dengan tekanan dan tuntutannya, barangkali ucapan Bung Karno, ”Go to hell with your aids (investments)”, masih relevan untuk diucapkan oleh seorang Presiden Republik Indonesia.
Pengamat Energi UGM dan
Mantan Anggota Tim Antimafia Migas
HASIL pertemuan antara Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Joseph R Donovan dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengisyaratkan adanya kemungkinan rencana kunjungan Wakil Presiden (Wapres) AS Mike Pence ke Indonesia pada bulan depan. Kunjungan Pence itu merupakan rangkaian tur ke negara-negara Asia. Besar kemungkinan Indonesia merupakan negara pertama yang akan dikunjungi Wapres AS Pence dalam tur Asia.
Kendati Dubes AS dan Menko Polhukam tidak mengungkapkan secara eksplisit terkait agenda pembahasan dengan Pemerintah Indonesia. Namun, tidak dapat disangkal bahwa salah satu materi yang akan dibahas dalam pertemuan dengan pemerintah Indonesia adalah pembahasan tentang kontrak karya (KK) Freeport. Seperti dikutip oleh Reuters pada Senin (13/3/2017), Pence kemungkinan besar akan membahas masalah KK Freeport yang saat ini belum tercapai kesepakatan dalam perundingan antara pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran.
Beberapa waktu lalu, Chief Executive Officer Freeport McMoRan Richard C Adkerson datang ke Jakarta untuk berunding dengan Menteri Energi Sumber daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan. Fokus perundingan itu berkaitan dengan tuntutan Freeport tentang relaksasi persyaratan ekspor konsentrat Freeport, yang ditetapkan Menteri ESDM berdasarkan undang-undang (UU) dan peraturan berlaku.
Namun, perundingan itu tampaknya tidak menghasilkan kesepakatan sehingga memunculkan aksi saling ancam di antara keduanya. Adkerson melancarkan ultimatum bila dalam waktu 120 hari tuntutan tidak dipenuhi, Freeport akan memperkarakan Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. Seakan tidak gentar menghadapi ancaman itu, Jonan pun balik mengancam untuk menuntut Freeport di Arbitase Internasional.
Adanya saling mengancam tersebut, Freeport barang kali akan menggunakan momentum kunjungan Pence ke Indonesia untuk ikut menekan Pemerintah Indonesia agar memenuhi semua tuntutan Freeport, yang hingga kini belum ada tanda-tanda akan dipenuhi Pemerintah Indonesia. Tekanan Pemerintah AS terhadap Pemerintah Indonesia sesungguhnya pernah terjadi sebelumnya pada pemerintahan SBY, saat terjadinya perebutan Blok Cepu antara Pertamina dan Exxon Mobil pada Maret 2012.
Exxon Mobil kala itu mengerahkan ”Pasukan Gabungan”, yang terdiri dari Pemerintah AS melalui kedutaan besarnya di Jakarta, IMF, dan Bank Dunia serta ”komprador Melayu”, untuk menekan habis-habisan Pemerintah Indonesia agar memberikan Blok Cepu kepada Exxon Mobil. Di tengah perundingan yang masih alot, tiba-tiba pemerintahan SBY memutuskan untuk memberikan pengelolaan Blok Cepu kepada Exxon Mobil. Entah kebetulan, keputusan itu diputuskan oleh Presiden SBY sehari setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Condoleeza Rice era pemerintahan George W Bush ke Indonesia.
Dengan modus serupa, tidak mustahil bahwa salah satu tujuan kunjungan Wapres AS ke Indonesia untuk menekan Pemerintah Indonesia agar memenuhi semua tuntutan Freeport. Tuntutan tersebut meliputi izin ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri (DN) dalam waktu lima tahun ke depan, sesuai dengan perubahan KK ke izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Ironisnya, Freeport mau menerima perubahan KK menjadi IUPK untuk bisa mengekspor konsentrat, tetapi menolak persyaratan IUPK secara komprehensif.
Kalau benar kunjungan Wapres AS Pence, salah satunya untuk menekan pemerintah, kali ini Pemerintah Indonesia harus berani menolak untuk memenuhi tuntutan Freeport McMoran. Dalam menghadapi tekanan itu, keputusan Presiden Joko Widodo harus tetap mendasarkan pada UU dan peraturan yang berlaku. Jangan sampai terjadi keputusan Pemerintah Indonesia untuk memenuhi tuntutan Freeport diputuskan dengan melabrak UU dan peraturan, yang secara sah berlaku di negara Indonesia yang berdaulat.
Semasif apa pun tekanan Freeport dan Pemerintah AS, serta ”Komprador Melayu” terhadap Pemerintah Indonesia, pemerintahan Joko Widodo harus tetap istiqomah dengan menawarkan dua alternatif kepada Freeport, sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku. Kalau Freeport menghendaki untuk tetap menggunakan KK, ekspor tetap diizinkan untuk konsentrat yang sudah diproses dan dimurnikan di smelter DN, sesuai dengan syarat UU Nomor 4 Tahun 2009.
Kalau menghendaki perubahan KK menjadi IUPK, Freeport harus memenuhi persyaratan IUPK secara komprehensif, bukan secara parsial, sesuai dengan PP Nomor 1 Tahun 2017 tentang Minerba. Persyaratan itu meliputi divestasi saham PT Freeport Indonesia hingga mencapai 51% dalam 10 tahun, sejak persetujuan perubahan KK menjadi IUPK. Selain itu, Freeport harus menerima persyaratan IUPK lainnya yang berkaitan dengan sistem fiscal prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia).
Adanya kemungkinan tekanan Wapres AS Pence, bahkan tekanan dari Presiden AS Donald Trump sekalipun, Pemerintah Indonesia jangan pernah memenuhi tuntutan Freeport untuk melakukan divestasi maksimal sebesar 30% dan tetap menggunakan sistem fiskal naildown (besaran pajak tetap), seperti yang diterapkan Freeport selama menggunakan KK dalam kurun waktu 50 tahun ini.
Kalau Freeport dan Pemerintah AS serta komprador Melayu tetap bersikukuh dengan tekanan dan tuntutannya, barangkali ucapan Bung Karno, ”Go to hell with your aids (investments)”, masih relevan untuk diucapkan oleh seorang Presiden Republik Indonesia.
(kri)