Hasyim Muzadi dan Fleksibilitas Islam
A
A
A
M Bambang Pranowo
Guru Besar UIN Jakarta,
Rektor Universitas Mathla'ul Anwar Banten
DI bawah kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, NU dan Muhammadiyah seakan bersatu. Tak sedikit orang menyebut almarhum KH Hasyim Muzadi adalah ketua PP Muhammadinu (Muhammadiyah dan NU). Kenapa? Karena KH Hasyim sebagai orang NU terlihat sangat akrab dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sehingga seakan-akan Hasyim juga pengikut Muhammadiyah. Gedung Dewan Dakwah Muhammadiyah di Menteng, misalnya, seakan-akan menjadi kantor kedua Kiai Hasyim selain kantor PBNU di Kramat, Jakarta.
Beliau menyatakan, Muhammadiyah dan NU itu bukan perbedaan paham, tetapi soal pembagian kerja untuk kemaslahatan umat. Biarkan orang-orang Islam yang pintar, kelas menengah, dan profesional diurus Muhammadiyah, sedangkan umat Islam di pinggiran, di kampung-kampung terpencil diurus oleh NU. Karena itu, ketika menjadi pimpinan puncak NU, Hasyim sering bolak-balik ke Gedung Muhammadiyah dan rajin urun rembuk bersama PP Muhammadiyah untuk mengatasi berbagai soal negara, bangsa, dan keumatan.
Dengan demikian keakraban antara Hasyim dan Din sebenarnya tidak hanya karena keduanya satu almamater –Pondok Modern Gontor–, tetapi juga karena kesamaan visi dan pemikirannya. Baik Hasyim maupun Din adalah dua tokoh yang menghendaki Islam itu fleksibel, luwes, dan memberi pencerahan pada kehidupan manusia, baik secara sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
***
Menurut Kiai Hasyim, dasar negara Pancasila dan NKRI di Indonesia sudah final. Para founding fathers negeri ini, terutama dari kalangan Islam, sudah sepakat Pancasila adalah dasar yang dipakai untuk berdirinya Republik Indonesia. Dalam berbagai ceramahnya, Hasyim selalu menekankan bahwa keislaman Indonesia yang berkarakter nasionalisme harus dirawat dan dijaga. Sebab, jika tidak, Islam bisa dimasuki unsur-unsur luar sehingga menghancurkan ciri-ciri khas Islam Indonesia. Islam berkarakter non-Indonesia ini, oleh Hasyim, disebut Islam transnasional.
Islam transnasional, menurut Hasyim, adalah Islam yang mengadopsi budaya-budaya luar yang tidak kompatibel dengan budaya Indonesia. Bagi Hasyim, kebesaran Islam justru terjadi ketika Islam mampu mengadopsi budaya-budaya lokal di mana Islam berada. Di Jawa, misalnya, Islam cepat tersebar dan bahkan masuk ke keraton dengan mudah karena mampu mengadopsi budaya-budaya setempat tanpa kehilangan ciri-ciri dasar keislamannya (seperti Rukun Iman dan Rukun Islam). Penyebaran Islam di Jawa oleh para wali (Wali Sanga) dan kiai-kiai tradisional, misalnya, mengadopsi budaya lokal untuk menstimulasi dakwah Islam di Pulau Jawa.
Sunan Bonang, misalnya, menciptakan lagu Ilir-Ilir yang kemudian sangat populer di masyarakat Jawa. Lagu gubahan Sunan Bonang berlanggam Jawa ini menjadi sarana dakwah yang sangat efektif di masyarakat tradisional. Begitu pula transformasi cerita-cerita wayang. Wali Sanga, misalnya, mengisi kisah-kisah Perang Bharatayuda dengan konten Islam yang dikemas dalam dongeng Jawa. Bahkan lebih jauh lagi, kisah Dewa Ruci dalam pewayangan–menurut Van Bruinessen–sebetulnya mengadopsi kisah-kisah sufi tentang pencarian jati diri manusia dalam Musyawarah Burung karya Fariduddin al-Attar yang terkenal itu.
Modifikasi budaya Jawa dalam Islam inilah yang kemudian membuat Islam seakan-akan identik dengan kejawaan. Dampaknya Islam bisa masuk ke dalam pusat-pusat kebudayaan Jawa seperti Keraton Solo dan Yogyakarta dengan mudah. Padahal, sebagai entitas pusat budaya Jawa, keraton sudah dekat dengan simbol-simbol budaya Jawa yang bercorak Hinduisme. Fenomena inilah yang membuat Islam –menurut Ricklefs– mampu menguasai batin orang Jawa. Saat ini, misalnya, kebudayaan Jawa sudah dianggap identik dengan Islam. Dampaknya, deklarasi keislaman orang Jawa pun tidak perlu mencopot simbol-simbol kejawaannya.
***
Dari gambaran tersebut, Kiai Hasyim benar bahwa Islam Indonesia itu unik, punya karakter khusus, yang tidak perlu meniru-niru keislaman budaya lain. Dalam bahasa Hasyim, Islam transnasional adalah fenomena ”Islam” pendatang baru yang hendak menyabot Islam berkarakter Indonesia. Dalam bahasa satire, Kiai Hasyim pernah mengungkapkan, umat Islam harus hati-hati karena ”maling” sekarang tidak hanya mencuri sandal dan motor, tetapi juga mencuri masjid.
Pencurian masjid ini, menurut Kiai Hasyim, sudah sering terjadi di berbagai pelosok di Indonesia. Sejumlah takmir masjid misalnya, dirombak struktur organisasinya oleh kelompok-kelompok Islam transnasional, kemudian dilakukan pula penggantian rutinitas acara-acara masjid yang sudah mentradisi di masyarakat dengan aturan-aturan yang ”mereka” tentukan dari ”sono” (baca: paham mereka yang berbasis Islam transnasional itu). Inilah yang sangat mencemaskan Kiai Hasyim.
Itulah sebabnya, Kiai Hasyim ketika dijenguk oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat beliau sakit wanti-wanti berpesan agar perjuangan Muhammadiyah untuk membumikan Islam di Indonesia diteruskan. Kiai Hasyim saat itu menyatakan, kondisi umat Islam Indonesia kini sedang mengalami gangguan budaya oleh infiltrasi kaum muslim transnasional. Bahkan Kiai Hasyim menganggap munculnya Islam berwajah keras, radikal, dan sangar adalah akibat pengaruh Islam transnasional tersebut.
Kiai Hasyim adalah tokoh yang merindukan Islam yang ramah dan sejuk, yaitu Islam yang mengayomi semua komponen bangsa. Islam yang rahmatan lilrahmatan lilalamin. Bukan Islam yang menyuarakan kekerasan, yang mengafirkan orang yang berbeda paham dan membidahkan amalan-amalan ibadah yang tak sesuai dengan pandangannya. Islam Indonesia, menurut Kiai Hasyim, adalah Islam yang fleksibel dan terasa menyejukkan di mana-mana.
Untuk menjangkau tujuan tersebut Kiai Hasyim telah membentuk dan menggerakkan forum yang mengusung saling pengertian antarpemeluk agama, forum yang mendukung toleransi antarumat beragama, dan forum kajian yang mengangkat nilai-nilai universal semua agama. Bagi Kiai Hasyim, Islam haus menjadi tempat yang damai dan tempat berlindung yang nyaman untuk semua umat manusia.
Selamat jalan Kiai Hasyim. Semoga Tuhan menerima semua amal ibadah, pikiran, dan kontribusi kemanusiaan yang telah dilakukan Kiai Hasyim selama hidupnya. Amin.
Guru Besar UIN Jakarta,
Rektor Universitas Mathla'ul Anwar Banten
DI bawah kepemimpinan KH Hasyim Muzadi, NU dan Muhammadiyah seakan bersatu. Tak sedikit orang menyebut almarhum KH Hasyim Muzadi adalah ketua PP Muhammadinu (Muhammadiyah dan NU). Kenapa? Karena KH Hasyim sebagai orang NU terlihat sangat akrab dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sehingga seakan-akan Hasyim juga pengikut Muhammadiyah. Gedung Dewan Dakwah Muhammadiyah di Menteng, misalnya, seakan-akan menjadi kantor kedua Kiai Hasyim selain kantor PBNU di Kramat, Jakarta.
Beliau menyatakan, Muhammadiyah dan NU itu bukan perbedaan paham, tetapi soal pembagian kerja untuk kemaslahatan umat. Biarkan orang-orang Islam yang pintar, kelas menengah, dan profesional diurus Muhammadiyah, sedangkan umat Islam di pinggiran, di kampung-kampung terpencil diurus oleh NU. Karena itu, ketika menjadi pimpinan puncak NU, Hasyim sering bolak-balik ke Gedung Muhammadiyah dan rajin urun rembuk bersama PP Muhammadiyah untuk mengatasi berbagai soal negara, bangsa, dan keumatan.
Dengan demikian keakraban antara Hasyim dan Din sebenarnya tidak hanya karena keduanya satu almamater –Pondok Modern Gontor–, tetapi juga karena kesamaan visi dan pemikirannya. Baik Hasyim maupun Din adalah dua tokoh yang menghendaki Islam itu fleksibel, luwes, dan memberi pencerahan pada kehidupan manusia, baik secara sosial, ekonomi, politik maupun budaya.
***
Menurut Kiai Hasyim, dasar negara Pancasila dan NKRI di Indonesia sudah final. Para founding fathers negeri ini, terutama dari kalangan Islam, sudah sepakat Pancasila adalah dasar yang dipakai untuk berdirinya Republik Indonesia. Dalam berbagai ceramahnya, Hasyim selalu menekankan bahwa keislaman Indonesia yang berkarakter nasionalisme harus dirawat dan dijaga. Sebab, jika tidak, Islam bisa dimasuki unsur-unsur luar sehingga menghancurkan ciri-ciri khas Islam Indonesia. Islam berkarakter non-Indonesia ini, oleh Hasyim, disebut Islam transnasional.
Islam transnasional, menurut Hasyim, adalah Islam yang mengadopsi budaya-budaya luar yang tidak kompatibel dengan budaya Indonesia. Bagi Hasyim, kebesaran Islam justru terjadi ketika Islam mampu mengadopsi budaya-budaya lokal di mana Islam berada. Di Jawa, misalnya, Islam cepat tersebar dan bahkan masuk ke keraton dengan mudah karena mampu mengadopsi budaya-budaya setempat tanpa kehilangan ciri-ciri dasar keislamannya (seperti Rukun Iman dan Rukun Islam). Penyebaran Islam di Jawa oleh para wali (Wali Sanga) dan kiai-kiai tradisional, misalnya, mengadopsi budaya lokal untuk menstimulasi dakwah Islam di Pulau Jawa.
Sunan Bonang, misalnya, menciptakan lagu Ilir-Ilir yang kemudian sangat populer di masyarakat Jawa. Lagu gubahan Sunan Bonang berlanggam Jawa ini menjadi sarana dakwah yang sangat efektif di masyarakat tradisional. Begitu pula transformasi cerita-cerita wayang. Wali Sanga, misalnya, mengisi kisah-kisah Perang Bharatayuda dengan konten Islam yang dikemas dalam dongeng Jawa. Bahkan lebih jauh lagi, kisah Dewa Ruci dalam pewayangan–menurut Van Bruinessen–sebetulnya mengadopsi kisah-kisah sufi tentang pencarian jati diri manusia dalam Musyawarah Burung karya Fariduddin al-Attar yang terkenal itu.
Modifikasi budaya Jawa dalam Islam inilah yang kemudian membuat Islam seakan-akan identik dengan kejawaan. Dampaknya Islam bisa masuk ke dalam pusat-pusat kebudayaan Jawa seperti Keraton Solo dan Yogyakarta dengan mudah. Padahal, sebagai entitas pusat budaya Jawa, keraton sudah dekat dengan simbol-simbol budaya Jawa yang bercorak Hinduisme. Fenomena inilah yang membuat Islam –menurut Ricklefs– mampu menguasai batin orang Jawa. Saat ini, misalnya, kebudayaan Jawa sudah dianggap identik dengan Islam. Dampaknya, deklarasi keislaman orang Jawa pun tidak perlu mencopot simbol-simbol kejawaannya.
***
Dari gambaran tersebut, Kiai Hasyim benar bahwa Islam Indonesia itu unik, punya karakter khusus, yang tidak perlu meniru-niru keislaman budaya lain. Dalam bahasa Hasyim, Islam transnasional adalah fenomena ”Islam” pendatang baru yang hendak menyabot Islam berkarakter Indonesia. Dalam bahasa satire, Kiai Hasyim pernah mengungkapkan, umat Islam harus hati-hati karena ”maling” sekarang tidak hanya mencuri sandal dan motor, tetapi juga mencuri masjid.
Pencurian masjid ini, menurut Kiai Hasyim, sudah sering terjadi di berbagai pelosok di Indonesia. Sejumlah takmir masjid misalnya, dirombak struktur organisasinya oleh kelompok-kelompok Islam transnasional, kemudian dilakukan pula penggantian rutinitas acara-acara masjid yang sudah mentradisi di masyarakat dengan aturan-aturan yang ”mereka” tentukan dari ”sono” (baca: paham mereka yang berbasis Islam transnasional itu). Inilah yang sangat mencemaskan Kiai Hasyim.
Itulah sebabnya, Kiai Hasyim ketika dijenguk oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat beliau sakit wanti-wanti berpesan agar perjuangan Muhammadiyah untuk membumikan Islam di Indonesia diteruskan. Kiai Hasyim saat itu menyatakan, kondisi umat Islam Indonesia kini sedang mengalami gangguan budaya oleh infiltrasi kaum muslim transnasional. Bahkan Kiai Hasyim menganggap munculnya Islam berwajah keras, radikal, dan sangar adalah akibat pengaruh Islam transnasional tersebut.
Kiai Hasyim adalah tokoh yang merindukan Islam yang ramah dan sejuk, yaitu Islam yang mengayomi semua komponen bangsa. Islam yang rahmatan lilrahmatan lilalamin. Bukan Islam yang menyuarakan kekerasan, yang mengafirkan orang yang berbeda paham dan membidahkan amalan-amalan ibadah yang tak sesuai dengan pandangannya. Islam Indonesia, menurut Kiai Hasyim, adalah Islam yang fleksibel dan terasa menyejukkan di mana-mana.
Untuk menjangkau tujuan tersebut Kiai Hasyim telah membentuk dan menggerakkan forum yang mengusung saling pengertian antarpemeluk agama, forum yang mendukung toleransi antarumat beragama, dan forum kajian yang mengangkat nilai-nilai universal semua agama. Bagi Kiai Hasyim, Islam haus menjadi tempat yang damai dan tempat berlindung yang nyaman untuk semua umat manusia.
Selamat jalan Kiai Hasyim. Semoga Tuhan menerima semua amal ibadah, pikiran, dan kontribusi kemanusiaan yang telah dilakukan Kiai Hasyim selama hidupnya. Amin.
(kri)