Pemenuhan Hak atas Identitas dan Kartu Identitas
A
A
A
Patra M Zen
Ketua Departemen Hak Asasi Manusia Partai Hati Nurani Rakyat
DALAM disiplin hukum internasional hak asasi manusia, isu hak atas identitas berbeda dengan persoalan kartu identitas (ID card). Hak atas identitas sangat erat hubungannya dengan dokumen terkait kelahiran anak yang sifatnya wajib (compulsory) di banyak negara. Sementara sistem kartu identitas, dalam disiplin hak asasi manusia tidak diwajibkan. Artikel singkat ini akan menguraikan isu hak atas identitas dan kartu identitas dari perspektif hukum hak asasi manusia.
Dokumen (Akta) Kelahiran
Hak atas identitas amat erat kaitannya dengan hak anak mendapat pengakuan identitasnya di muka hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memberikan jaminan bagi setiap orang mendapat pengakuan di mana pun di depan hukum. Pasal 8 Konvensi Hak Anak menegaskan ketentuan Negara untuk menghormati hak anak untuk memiliki identitas, termasuk kewarganegaraan, nama, dan hubungan keluarga.
Dalam praktik, hak atas identitas anak ini berwujud dalam penerbitan akta kelahiran oleh pemerintah yang memuat paling tidak informasi dasar: nama si anak, identitas orangtua, tanggal lahir, jenis kelamin, dan kewarganegaraan, baik berdasarkan garis keturunan (jus sanguinis/by blood) maupun berdasarkan tempat lahir (jus soli/by birth). Hampir semua pakar setuju atas pengakuan hak anak atas identitas.
Situs Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013 sempat melansir informasi tidak kurang 50 juta anak di Indonesia tidak mempunyai akta kelahiran. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah memuat ketentuan pembuatan akta kelahiran yang memuat identitas diri setiap anak Indonesia.
Dalam undang-undang ini, pencatatan akta kelahiran wajib dilakukan oleh penduduk paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Dengan demikian, Indonesia menerapkan stelsel aktif, yakni membebankan kewajiban melaporkan kelahiran kepada warganya.
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 53/PUU-XI/2013 yang menguji stelsel aktif pencatatan akta kelahiran dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan menyatakan, “Negara yang berkewajiban untuk mendaftar memiliki aparat yang sangat terbatas, dengan cakupan wilayah yang sangat luas, dan dengan jumlah penduduk yang sangat banyak tidak mungkin mampu untuk mengetahui satu per satu peristiwa kelahiran yang terjadi di wilayahnya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk melaporkan setiap kelahiran yang terjadi.”
Tanpa adanya kerja keras dari pemerintah, jutaan anak di Indonesia masih dalam status tidak mempunyai identitas di muka hukum. Masalah ini harapannya, juga menjadi prioritas bagi pemerintah sekarang, selain menyelesaikan persoalan e-KTP.
Sistem Kartu Identitas Nasional
Lain soal, penerbitan kartu identitas (ID card), yang di Indonesia dikenal sebagai “kartu tanda penduduk”. Penerbitan kartu identitas di sejumlah negara melahirkan perdebatan seputar perlindungan hak asasi manusia.
Kartu Identitas merujuk literatur, diintrodusir pada abad ke-19 di Prancis era Napoleon. Tepatnya setelah revolusi Prancis antara 1789 sampai 1799. Kartu identitas ini diterbitkan oleh pemerintah untuk tujuan perlindungan properti kelas pekerja. Kebijakan ini kemudian diikuti oleh Sultan Mahmud II di era Kesultanan Ottoman, yang membuat aturan Kartu Identitas untuk semua warganya, dimulai pada 1839. Sejak saat itu, banyak negara memutuskan untuk mengadopsi penerbitan dokumen atau kartu identitas, terutama setelah Perang Dunia Kedua.
Di Inggris, penerbitan kartu identitas didahului dengan dikeluarkannya National Registry Act pada 1938. Menyusul Jerman dan sejumlah negara di Eropa. Di Asia, Pemerintah Hong Kong dan Taiwan terbilang awal menerbitkan kartu identitas pada 1949 untuk tujuan keimigrasian. Pemerintah Indonesia menyusul pada 1950, dengan membuat KTP secara manual dan menggunakan ejaan huruf lama yang ukurannya besar.
Sejarahnya, di Indonesia sendiri dokumen atau kartu tanda penduduk diperkenalkan oleh Pemerintah Belanda, dengan sebutan Verklaring van Ingezentenschap, voor personen in Nederlandsch Indie Geboren (Kartu Tanda Penduduk untuk Orang yang Lahir di Hindia Belanda). Penerbitan KTP yang ukurannya seperti saat ini, dibuat pada era 1990, dengan menggunakan mesin cetak. Amerika Serikat sendiri tidak mempunyai sistem kartu identitas nasional (national ID card system). Standar keamanan untuk dokumen identitas di Amerika Serikat diatur dalam REAL ID Act yang diterbitkan pada 2005.
Publikasi yang dikeluarkan Joint Committee on Human Rights (JHCR) pada 2 Februari 2005 memuat sejumlah pertanyaan penting dan serius mengenai potensi pelanggaran hak asasi manusia melalui penerbitan kartu identitas. Pada pokoknya kekhawatiran terkait kartu identitas adalah perlindungan data pribadi dan persoalan diskriminasi. Pertanyaan yang muncul, antara lain, bagaimana melindungi data pribadi agar tidak disalahgunakan oleh pihak ketiga? Bagaimana memastikan tidak terjadi bentuk-bentuk diskriminasi karena adanya perbedaan, misalnya, agama terhadap warga negara?
E-KTP
Kartu Tanda Penduduk Elektronik belakangan, kembali menjadi sorotan masyarakat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sempat berujar tajam anggaran triliunan rupiah hanya mengubah KTP kertas menjadi KTP plastik. Jokowi mengatakan, “Habisnya Rp6 triliun, jadinya hanya KTP yang dulunya kertas sekarang plastik, hanya itu saja. Sistemnya tidak benar.“ (Okezone, 11/03/2017)
Pembicaraan e-KTP mengemuka setelah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2006. Dalam Pasal 1 angka 14 undang-undang ini, pengertian KTP adalah “identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Rencana pembuatan e-KTP tersebut kemudian direalisasikan melalui Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Gamawan Fauzi pada akhir November 2009. Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 471.13/4210.A/SJ perihal usulan pembiayaan pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional. Surat ini amat penting, karena memuat usulan untuk mengubah sumber pembiayaan proyek yang semula dibiayai dengan menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari anggaran rupiah murni. Selanjutnya, proyek ini disetujui oleh Komisi II DPR RI sebagai prioritas yang akan dibiayai menggunakan APBN murni secara multiyears .
Prioritas Pemenuhan Hak Anak
Melihat angka rupiah yang dianggarkan oleh pemerintah untuk pembuatan e-KTP, maka bukanlah mimpi jika pembuatan akta kelahiran anak juga menjadi prioritas. Semangat untuk pemenuhan hak atas identitas sebagai hak yang mendasar dan fundamental mesti muncul dalam pemerintahan Jokowi saat ini. Namun, demikian upaya pencegahan agar proyek pembuatan akta kelahiran yang masif tidak boleh mengulang kesalahan proyek e-KTP.
Berkaca dari pembahasan proyek e-KTP, pembahasan proyek bahkan berlangsung pada pagi hari, pukul 06.00 WIB, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara dugaan korupsi e-KTP pada 9 Maret lalu. Harapannya, perilaku dan semangat rencana pembahasan untuk memenuhi hak atas identitas anak berupa pembuatan akta kelahiran juga ada di Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR RI saat ini.
Keterbatasan aparat yang bertugas melakukan pencatatan akta kelahiran, sebagaimana disinyalir Mahkamah Konstitusi, sebaiknya dicarikan solusinya, termasuk melalui teknologi atau kerja sama dengan rumah-rumah bersalin dan para bidan/tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
Ketua Departemen Hak Asasi Manusia Partai Hati Nurani Rakyat
DALAM disiplin hukum internasional hak asasi manusia, isu hak atas identitas berbeda dengan persoalan kartu identitas (ID card). Hak atas identitas sangat erat hubungannya dengan dokumen terkait kelahiran anak yang sifatnya wajib (compulsory) di banyak negara. Sementara sistem kartu identitas, dalam disiplin hak asasi manusia tidak diwajibkan. Artikel singkat ini akan menguraikan isu hak atas identitas dan kartu identitas dari perspektif hukum hak asasi manusia.
Dokumen (Akta) Kelahiran
Hak atas identitas amat erat kaitannya dengan hak anak mendapat pengakuan identitasnya di muka hukum. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memberikan jaminan bagi setiap orang mendapat pengakuan di mana pun di depan hukum. Pasal 8 Konvensi Hak Anak menegaskan ketentuan Negara untuk menghormati hak anak untuk memiliki identitas, termasuk kewarganegaraan, nama, dan hubungan keluarga.
Dalam praktik, hak atas identitas anak ini berwujud dalam penerbitan akta kelahiran oleh pemerintah yang memuat paling tidak informasi dasar: nama si anak, identitas orangtua, tanggal lahir, jenis kelamin, dan kewarganegaraan, baik berdasarkan garis keturunan (jus sanguinis/by blood) maupun berdasarkan tempat lahir (jus soli/by birth). Hampir semua pakar setuju atas pengakuan hak anak atas identitas.
Situs Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada 2013 sempat melansir informasi tidak kurang 50 juta anak di Indonesia tidak mempunyai akta kelahiran. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah memuat ketentuan pembuatan akta kelahiran yang memuat identitas diri setiap anak Indonesia.
Dalam undang-undang ini, pencatatan akta kelahiran wajib dilakukan oleh penduduk paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Dengan demikian, Indonesia menerapkan stelsel aktif, yakni membebankan kewajiban melaporkan kelahiran kepada warganya.
Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 53/PUU-XI/2013 yang menguji stelsel aktif pencatatan akta kelahiran dalam Undang-undang Administrasi Kependudukan menyatakan, “Negara yang berkewajiban untuk mendaftar memiliki aparat yang sangat terbatas, dengan cakupan wilayah yang sangat luas, dan dengan jumlah penduduk yang sangat banyak tidak mungkin mampu untuk mengetahui satu per satu peristiwa kelahiran yang terjadi di wilayahnya. Oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk melaporkan setiap kelahiran yang terjadi.”
Tanpa adanya kerja keras dari pemerintah, jutaan anak di Indonesia masih dalam status tidak mempunyai identitas di muka hukum. Masalah ini harapannya, juga menjadi prioritas bagi pemerintah sekarang, selain menyelesaikan persoalan e-KTP.
Sistem Kartu Identitas Nasional
Lain soal, penerbitan kartu identitas (ID card), yang di Indonesia dikenal sebagai “kartu tanda penduduk”. Penerbitan kartu identitas di sejumlah negara melahirkan perdebatan seputar perlindungan hak asasi manusia.
Kartu Identitas merujuk literatur, diintrodusir pada abad ke-19 di Prancis era Napoleon. Tepatnya setelah revolusi Prancis antara 1789 sampai 1799. Kartu identitas ini diterbitkan oleh pemerintah untuk tujuan perlindungan properti kelas pekerja. Kebijakan ini kemudian diikuti oleh Sultan Mahmud II di era Kesultanan Ottoman, yang membuat aturan Kartu Identitas untuk semua warganya, dimulai pada 1839. Sejak saat itu, banyak negara memutuskan untuk mengadopsi penerbitan dokumen atau kartu identitas, terutama setelah Perang Dunia Kedua.
Di Inggris, penerbitan kartu identitas didahului dengan dikeluarkannya National Registry Act pada 1938. Menyusul Jerman dan sejumlah negara di Eropa. Di Asia, Pemerintah Hong Kong dan Taiwan terbilang awal menerbitkan kartu identitas pada 1949 untuk tujuan keimigrasian. Pemerintah Indonesia menyusul pada 1950, dengan membuat KTP secara manual dan menggunakan ejaan huruf lama yang ukurannya besar.
Sejarahnya, di Indonesia sendiri dokumen atau kartu tanda penduduk diperkenalkan oleh Pemerintah Belanda, dengan sebutan Verklaring van Ingezentenschap, voor personen in Nederlandsch Indie Geboren (Kartu Tanda Penduduk untuk Orang yang Lahir di Hindia Belanda). Penerbitan KTP yang ukurannya seperti saat ini, dibuat pada era 1990, dengan menggunakan mesin cetak. Amerika Serikat sendiri tidak mempunyai sistem kartu identitas nasional (national ID card system). Standar keamanan untuk dokumen identitas di Amerika Serikat diatur dalam REAL ID Act yang diterbitkan pada 2005.
Publikasi yang dikeluarkan Joint Committee on Human Rights (JHCR) pada 2 Februari 2005 memuat sejumlah pertanyaan penting dan serius mengenai potensi pelanggaran hak asasi manusia melalui penerbitan kartu identitas. Pada pokoknya kekhawatiran terkait kartu identitas adalah perlindungan data pribadi dan persoalan diskriminasi. Pertanyaan yang muncul, antara lain, bagaimana melindungi data pribadi agar tidak disalahgunakan oleh pihak ketiga? Bagaimana memastikan tidak terjadi bentuk-bentuk diskriminasi karena adanya perbedaan, misalnya, agama terhadap warga negara?
E-KTP
Kartu Tanda Penduduk Elektronik belakangan, kembali menjadi sorotan masyarakat. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sempat berujar tajam anggaran triliunan rupiah hanya mengubah KTP kertas menjadi KTP plastik. Jokowi mengatakan, “Habisnya Rp6 triliun, jadinya hanya KTP yang dulunya kertas sekarang plastik, hanya itu saja. Sistemnya tidak benar.“ (Okezone, 11/03/2017)
Pembicaraan e-KTP mengemuka setelah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 29 Desember 2006. Dalam Pasal 1 angka 14 undang-undang ini, pengertian KTP adalah “identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Rencana pembuatan e-KTP tersebut kemudian direalisasikan melalui Kementerian Dalam Negeri yang dipimpin Gamawan Fauzi pada akhir November 2009. Menteri Dalam Negeri mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nomor 471.13/4210.A/SJ perihal usulan pembiayaan pemberian Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan penerapan KTP berbasis NIK secara nasional. Surat ini amat penting, karena memuat usulan untuk mengubah sumber pembiayaan proyek yang semula dibiayai dengan menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari anggaran rupiah murni. Selanjutnya, proyek ini disetujui oleh Komisi II DPR RI sebagai prioritas yang akan dibiayai menggunakan APBN murni secara multiyears .
Prioritas Pemenuhan Hak Anak
Melihat angka rupiah yang dianggarkan oleh pemerintah untuk pembuatan e-KTP, maka bukanlah mimpi jika pembuatan akta kelahiran anak juga menjadi prioritas. Semangat untuk pemenuhan hak atas identitas sebagai hak yang mendasar dan fundamental mesti muncul dalam pemerintahan Jokowi saat ini. Namun, demikian upaya pencegahan agar proyek pembuatan akta kelahiran yang masif tidak boleh mengulang kesalahan proyek e-KTP.
Berkaca dari pembahasan proyek e-KTP, pembahasan proyek bahkan berlangsung pada pagi hari, pukul 06.00 WIB, sebagaimana dinyatakan dalam Surat Dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara dugaan korupsi e-KTP pada 9 Maret lalu. Harapannya, perilaku dan semangat rencana pembahasan untuk memenuhi hak atas identitas anak berupa pembuatan akta kelahiran juga ada di Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR RI saat ini.
Keterbatasan aparat yang bertugas melakukan pencatatan akta kelahiran, sebagaimana disinyalir Mahkamah Konstitusi, sebaiknya dicarikan solusinya, termasuk melalui teknologi atau kerja sama dengan rumah-rumah bersalin dan para bidan/tenaga kesehatan di seluruh Indonesia.
(kri)