Selamat Jalan sang Kiai
A
A
A
Anna Luthfie
Ketua DPP Partai Perindo,
Anak Muda NU
KABAR itu datang pada pagi hari yang menyentak. Berita wafatnya KH Achmad Hasyim Muzadi tetap mengagetkan, meskipun sebelumnya kita semua tahu beberapa waktu terakhir almarhum sakit dan tidak sekali harus dirawat di rumah sakit.
Terakhir, sebelum wafat, almarhum lebih memilih dirawat di rumah. Almarhum merasa lebih tenang dengan mendengarkan alunan ayat suci Alquran yang dibacakan para santrinya di Pondok Pesantren Al Hikam, Malang.
Sebagai putra yang dibesarkan dari tradisi Nahdlatul Ulama, beberapa kali penulis bertemu langsung dengan Mbah Hasyim, panggilan akrab beliau oleh beberapa anak-anak muda yang dekat dengan almarhum.
Dalam forum-forum diskusi dan seminar, Kiai Hasyim dengan tutur bahasanya yang lembut dan mendalam selalu bisa mengupas berbagai persoalan tentang Islam dengan begitu luas. Pemahaman mantan ketua umum PBNU tersebut memang kaffah dalam memandang keislaman, baik dalam konteks keindonesiaan maupun dunia internasional.
Penulis mungkin beruntung dapat mengikuti kiprah almarhum sejak menjadi ketua PWNU Jawa Timur, terutama ketika penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Peran dan kontribusi Pak Hasyim, demikian juga sebagian orang akrab memanggilnya, dalam membangun dinamika dan pembangunan umat, berhasil dengan gemilang meletakkan dasar dan menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Islam yang teduh dan damai, dan bisa menjadi titik rekat di antara perbedaan-perbedaan. Pak Hasyim telah memberikan teladan dan menjadi sumber inspirasi bagi masa depan pembangunan umat dan bangsa.
Boleh jadi setelah Gus Dur, tokoh yang paling berpengaruh di NU adalah KH Hasyim Muzadi. Selain juga menjadi penerus Gus Dur di estafet kepemimpinan PBNU, Pak Hasyim juga tergolong sebagai tokoh dengan gagasan-gagasan besar tentang keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Ya, Pak Hasyim tergolong tokoh langka yang ikhlas dan kukuh berjuang di jalan Allah. Tentu, juga telah menjadi suri teladan (uswatun hasanah) yang luar biasa bagi umat dan bangsa.
Ada tiga hal yang selama ini terekam dalam pikiran Kiai Hasyim, terutama juga dituangkan dalam tulisan-tulisan almarhum tentang Islam. Dalam konteks rahmatan lil alamin, almarhum memandang Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas.
Dari sisi teologis, Islam juga telah memberi rumusan tegas yang harus diyakini pemeluknya dan tidak bisa dijadikan alasan untuk memaksa nonmuslim memeluk Islam. Begitu pula dalam ritual, sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan Alhadis.
Namun, dalam konteks sosial, almarhum juga melihat Islam sebenarnya hanya berbicara tentang berbagai ketentuan dasar saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif, bergantung pada kesepakatan dan pemahaman setiap komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Pemikiran-pemikiran almarhum tidak hanya ditunjukkan ketika aktif di PBNU. Terbukti, setelah purnatugas di PBNU pada 2009, Pak Hasyim dipercaya sebagai presiden World Conference of Religions for Peace (WCPR), sebuah organisasi yang menekankan isu-isu keagamaan dan perdamaian.
Namun, sikap inklusif yang digambarkan pada sosok Pak Hasyim, bukan kemudian menisbikan pembelaan almarhum pada isu-isu yang menyudutkan Islam.
Lihat saja ketika 15 Juni 2015, Pak Hasyim diundang sebagai pembicara dalam kapasitasnya sebagai presiden WCPR di Sidang Sesi ke-29 Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss.
Almarhum begitu kencang dan tegas mengklarifikasi isu-isu yang menyudutkan Islam selama ini, terutama yang terjadi di Indonesia. Dengan tangkas, almarhum menjawab semua anggapan PBB terkait antitoleransi yang dialamatkan kepada umat Islam di Indonesia.
Menurut almarhum dalam pidatonya itu, selama ini PBB sering salah paham soal Indonesia karena sering tidak lengkapnya informasi yang masuk ke HAM PBB, termasuk pada NGO tingkat internasional di Swiss dan di Den Haag, seperti Amnesti Internasional dan Asia Forum.
Bersamaan dengan itu, banyak juga informan dari Indonesia yang memberi support pada NGO dan memengaruhi HAM PBB itu. ”Selaku presiden WCRP dan sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia,” tegas Kiai Hasyim, saat itu.
Setelah kabar Kiai Hasyim wafat, beredar secara viral pidato almarhum di forum PBB tersebut. Pidato tersebut dinilai sebagai penawar rasa haus umat setelah selama belasan tahun umat tidak melihat ketegasan seorang tokoh besar ulama dari kalangan NU yang berani tampil cerdas dan berani dalam bersikap.
Hal yang sama juga ditunjukkan almarhum menanggapi aksi damai umat Islam pada 2 Desember 2016 atau lebih dikenal dengan aksi 212. Kiai Hasyim Muzadi lebih menunjukkan keberpihakannya pada aksi umat Islam tersebut.
Dalam sebuah acara Maulidan di Masjid Nuruttaqwa, Malang, sehari setelah aksi 212, almarhum menegaskan peristiwa Badar terjadi lagi di Monas, lokasi aksi 212. Sebuah peristiwa yang menakjubkan, karena berlangsung tertib, massal, dan bersih.
Sikap dan pandangan almarhum ini tidak lepas dari paradigma yang selama ini dibangunnya, terutama sejak meniti karier di organisasi NU sejak dari Jawa Timur, nasional, sampai di tingkat internasional. Cita-cita almarhum membawa NU dalam konteks dunia juga menjadi catatan langkah positif almarhum.
Cita-cita menyatunya keislaman dan kebangsaan itulah yang selalu dibawanya menjelang akhir hayatnya. Lihat saja ketika dijenguk oleh beberapa kolega dan sejumlah tokoh di Rumah Sakit, Kiai Hasyim selalu menyelipkan pesan-pesan moralnya.
Ketika Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjenguk almarhum Januari lalu, ulama kharismatik ini pun menyampaikan pesan-pesan keumatan dan kebangsaan. Ada tiga pesan yang diutarakan Pak Hasyim kepada Haedar.
Pertama, almarhum mendoakan Muhammadiyah tetap terus bergerak dan berhasil. Kedua, berharap Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam lainnya terus peduli pada persoalan bangsa. Dan pesan ketiga, berharap para tokoh bangsa dan umat untuk terus merawat jiwa kepemimpinan.
Bukan sekadar pemimpin, melainkan juga yang punya kualifikasi. ”Memimpin dengan hati nurani, memimpin dengan hati” begitu ungkap Kiai Hasyim.
Inilah warisan yang semestinya kita rawat dan jaga. Pemikiran-pemikiran almarhum tentang keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan adalah sebuah legacy yang tidak lekang waktu, namun akan lapuk jika tidak kita siram dengan ilmu dan kesadaran sebagai sebuah umat dan bangsa.
KH Hasyim Muzadi sudah meninggalkan kita, namun regenerasi harus tetap berjalan dan semoga lahir pemikir-pemikir yang sama untuk menguatkan cita-cita pendahulunya. Kiai, sudah waktunya panjenengan istirahat dan berjumpa Sang Khalik.
Izinkan kami meneruskan cita-citamu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kullu nafsin dzaiqotul maut. Selamat Jalan Pak Hasyim, Selamat Jalan Sang Kiai....
Ketua DPP Partai Perindo,
Anak Muda NU
KABAR itu datang pada pagi hari yang menyentak. Berita wafatnya KH Achmad Hasyim Muzadi tetap mengagetkan, meskipun sebelumnya kita semua tahu beberapa waktu terakhir almarhum sakit dan tidak sekali harus dirawat di rumah sakit.
Terakhir, sebelum wafat, almarhum lebih memilih dirawat di rumah. Almarhum merasa lebih tenang dengan mendengarkan alunan ayat suci Alquran yang dibacakan para santrinya di Pondok Pesantren Al Hikam, Malang.
Sebagai putra yang dibesarkan dari tradisi Nahdlatul Ulama, beberapa kali penulis bertemu langsung dengan Mbah Hasyim, panggilan akrab beliau oleh beberapa anak-anak muda yang dekat dengan almarhum.
Dalam forum-forum diskusi dan seminar, Kiai Hasyim dengan tutur bahasanya yang lembut dan mendalam selalu bisa mengupas berbagai persoalan tentang Islam dengan begitu luas. Pemahaman mantan ketua umum PBNU tersebut memang kaffah dalam memandang keislaman, baik dalam konteks keindonesiaan maupun dunia internasional.
Penulis mungkin beruntung dapat mengikuti kiprah almarhum sejak menjadi ketua PWNU Jawa Timur, terutama ketika penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Peran dan kontribusi Pak Hasyim, demikian juga sebagian orang akrab memanggilnya, dalam membangun dinamika dan pembangunan umat, berhasil dengan gemilang meletakkan dasar dan menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Islam yang teduh dan damai, dan bisa menjadi titik rekat di antara perbedaan-perbedaan. Pak Hasyim telah memberikan teladan dan menjadi sumber inspirasi bagi masa depan pembangunan umat dan bangsa.
Boleh jadi setelah Gus Dur, tokoh yang paling berpengaruh di NU adalah KH Hasyim Muzadi. Selain juga menjadi penerus Gus Dur di estafet kepemimpinan PBNU, Pak Hasyim juga tergolong sebagai tokoh dengan gagasan-gagasan besar tentang keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan.
Ya, Pak Hasyim tergolong tokoh langka yang ikhlas dan kukuh berjuang di jalan Allah. Tentu, juga telah menjadi suri teladan (uswatun hasanah) yang luar biasa bagi umat dan bangsa.
Ada tiga hal yang selama ini terekam dalam pikiran Kiai Hasyim, terutama juga dituangkan dalam tulisan-tulisan almarhum tentang Islam. Dalam konteks rahmatan lil alamin, almarhum memandang Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas.
Dari sisi teologis, Islam juga telah memberi rumusan tegas yang harus diyakini pemeluknya dan tidak bisa dijadikan alasan untuk memaksa nonmuslim memeluk Islam. Begitu pula dalam ritual, sudah ditentukan operasionalnya dalam Alquran dan Alhadis.
Namun, dalam konteks sosial, almarhum juga melihat Islam sebenarnya hanya berbicara tentang berbagai ketentuan dasar saja, yang penerjemahan operasionalnya secara detail dan komprehensif, bergantung pada kesepakatan dan pemahaman setiap komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.
Pemikiran-pemikiran almarhum tidak hanya ditunjukkan ketika aktif di PBNU. Terbukti, setelah purnatugas di PBNU pada 2009, Pak Hasyim dipercaya sebagai presiden World Conference of Religions for Peace (WCPR), sebuah organisasi yang menekankan isu-isu keagamaan dan perdamaian.
Namun, sikap inklusif yang digambarkan pada sosok Pak Hasyim, bukan kemudian menisbikan pembelaan almarhum pada isu-isu yang menyudutkan Islam.
Lihat saja ketika 15 Juni 2015, Pak Hasyim diundang sebagai pembicara dalam kapasitasnya sebagai presiden WCPR di Sidang Sesi ke-29 Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss.
Almarhum begitu kencang dan tegas mengklarifikasi isu-isu yang menyudutkan Islam selama ini, terutama yang terjadi di Indonesia. Dengan tangkas, almarhum menjawab semua anggapan PBB terkait antitoleransi yang dialamatkan kepada umat Islam di Indonesia.
Menurut almarhum dalam pidatonya itu, selama ini PBB sering salah paham soal Indonesia karena sering tidak lengkapnya informasi yang masuk ke HAM PBB, termasuk pada NGO tingkat internasional di Swiss dan di Den Haag, seperti Amnesti Internasional dan Asia Forum.
Bersamaan dengan itu, banyak juga informan dari Indonesia yang memberi support pada NGO dan memengaruhi HAM PBB itu. ”Selaku presiden WCRP dan sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia,” tegas Kiai Hasyim, saat itu.
Setelah kabar Kiai Hasyim wafat, beredar secara viral pidato almarhum di forum PBB tersebut. Pidato tersebut dinilai sebagai penawar rasa haus umat setelah selama belasan tahun umat tidak melihat ketegasan seorang tokoh besar ulama dari kalangan NU yang berani tampil cerdas dan berani dalam bersikap.
Hal yang sama juga ditunjukkan almarhum menanggapi aksi damai umat Islam pada 2 Desember 2016 atau lebih dikenal dengan aksi 212. Kiai Hasyim Muzadi lebih menunjukkan keberpihakannya pada aksi umat Islam tersebut.
Dalam sebuah acara Maulidan di Masjid Nuruttaqwa, Malang, sehari setelah aksi 212, almarhum menegaskan peristiwa Badar terjadi lagi di Monas, lokasi aksi 212. Sebuah peristiwa yang menakjubkan, karena berlangsung tertib, massal, dan bersih.
Sikap dan pandangan almarhum ini tidak lepas dari paradigma yang selama ini dibangunnya, terutama sejak meniti karier di organisasi NU sejak dari Jawa Timur, nasional, sampai di tingkat internasional. Cita-cita almarhum membawa NU dalam konteks dunia juga menjadi catatan langkah positif almarhum.
Cita-cita menyatunya keislaman dan kebangsaan itulah yang selalu dibawanya menjelang akhir hayatnya. Lihat saja ketika dijenguk oleh beberapa kolega dan sejumlah tokoh di Rumah Sakit, Kiai Hasyim selalu menyelipkan pesan-pesan moralnya.
Ketika Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menjenguk almarhum Januari lalu, ulama kharismatik ini pun menyampaikan pesan-pesan keumatan dan kebangsaan. Ada tiga pesan yang diutarakan Pak Hasyim kepada Haedar.
Pertama, almarhum mendoakan Muhammadiyah tetap terus bergerak dan berhasil. Kedua, berharap Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam lainnya terus peduli pada persoalan bangsa. Dan pesan ketiga, berharap para tokoh bangsa dan umat untuk terus merawat jiwa kepemimpinan.
Bukan sekadar pemimpin, melainkan juga yang punya kualifikasi. ”Memimpin dengan hati nurani, memimpin dengan hati” begitu ungkap Kiai Hasyim.
Inilah warisan yang semestinya kita rawat dan jaga. Pemikiran-pemikiran almarhum tentang keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan adalah sebuah legacy yang tidak lekang waktu, namun akan lapuk jika tidak kita siram dengan ilmu dan kesadaran sebagai sebuah umat dan bangsa.
KH Hasyim Muzadi sudah meninggalkan kita, namun regenerasi harus tetap berjalan dan semoga lahir pemikir-pemikir yang sama untuk menguatkan cita-cita pendahulunya. Kiai, sudah waktunya panjenengan istirahat dan berjumpa Sang Khalik.
Izinkan kami meneruskan cita-citamu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kullu nafsin dzaiqotul maut. Selamat Jalan Pak Hasyim, Selamat Jalan Sang Kiai....
(poe)