Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu

Senin, 13 Maret 2017 - 08:48 WIB
Menjaga Independensi...
Menjaga Independensi Penyelenggara Pemilu
A A A
Valina Singka Subekti
Anggota DKPP dan Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia

SAAT ini DPR sedang berpacu menyelesaikan RUU Penyelenggaraan Pemilihan Umum. UU diperlukan sebagai payung hukum penyelenggaraan pemilu serentak 2019.

Sampai hari ini pembahasan tersebut masih juga belum selesai dan beberapa isu krusial tampaknya tidak mudah untuk menemukan titik temu. Sebagian isu itu oleh kalangan masyarakat dikatakan sebagai inkonstitusional.

Salah satunya usulan bahwa Peraturan KPU (PKPU) ditetapkan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam rapat dengar pendapat. Usulan ini dalam semangatnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 10/2016 : “… menyusun dan menetapkan Peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat”.

Ketentuan semacam itu adalah “kemunduran” dalam upaya kita mewujudkan pemilu berkualitas dan berintegritas melalui penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berintegritas pula. Bandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12/2003 Pasal 15 yang mengatakan: “….dalam melaksanakan tugasnya KPU menyampaikan laporan dalam tahapan penyelenggaraan pemilu kepada presiden dan DPR”.

Pada saat itu dalam proses persiapan maupun pelaksanaan tahapan pemilu 2004 KPU sesuai tahapannya selalu melaporkan kepada DPR dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat di Komisi II.

Dalam Undang-Undang Nomor 10/2008 bagian Penjelasan Pasal 143 Ayat 3 dikatakan: “KPU menetapkan peraturan tentang format surat suara setelah berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR”. Ketentuan ini digunakan dalam Pemilu 2009 dan 2014.

Bagaimana konstitusi UUD 1945 mengatur penyelenggara pemilu? Panitia Adhoc I Badan Pekerja MPR (1999-2002) pada waktu mengamendemen UUD 1945 menganggap penting memasukkan ketentuan pemilu dalam Bab VIII B Pasal 22 E.

Pasal ini terdiri atas lima ayat dan mengatur sifat, jenis, peserta, dan penyelenggara pemilu. Hak-hak politik dan berpolitik warga negara perlu dijamin dalam konstitusi. Independensi dan profesionalitas KPU sebagai penyelenggara pemilu menjadi syarat mutlak untuk menjamin hak-hak politik warga negara melalui pemilu demokratis.

Hak politik di sini adalah hak untuk terlibat dalam pemilu sebagai pemilih, hak sebagai kandidat dalam pemilu, dan hak untuk dipilih dalam pemilu. Tentu kita masih ingat kasus Pemilu 1999.

Saat itu Presiden BJ Habibie terpaksa mengeluarkan keppres menetapkan hasil Pemilu 1999 akibat partai-partai yang tidak memperoleh kursi tidak mau tanda tangan. Pada 1999 itu penyelenggara pemilu adalah KPU dan PPI. 48 partai politik peserta pemilu adalah anggota Panitia Pemilihan Indonesia (PPI).

Penyelenggara Pemilu 1999 belum sepenuhnya independen dan profesional meski ketua KPU tidak lagi dijabat oleh menteri dalam negeri. Karena itu, Pasal 22 E Ayat 5 UUD 1945 hasil perubahan ketiga secara tegas mengatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Bersifat nasional artinya kelembagaan KPU mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugas secara berkesinambungan dan anggotanya terikat pada masa jabatan tertentu.

Sifat mandiri menunjukkan KPU bersifat independen yaitu menjalankan tahapan-tahapan pemilu tidak berdasarkan tekanan atau intervensi lembaga lain, semata-mata berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Keputusan MPR pada 2001 itu sesungguhnya sejalan dengan prinsip-prinsip universal pemilu demokratis yang dianut negara-negara demokrasi. Joe Baxter (1994) dalam Technique For Effective Election Management In Election misalnya menegaskan pentingnya tiga karakteristik dasar penyelenggara pemilu yang demokratis yaitu independensi, imparsialitas, dan kompetensi.

Dengan karakteristik demikian, penyelenggara diharapkan dapat melaksanakan fungsinya sebagai wasit pemilu dengan jujur, adil, netral, tidak berpihak, bersikap imparsial, dan profesional. KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara idealnya dapat memenuhi tiga karakteristik itu.

Bila tidak, pemilu kita akan semakin jauh dari apa yang diperintahkan oleh Pasal 22 E (1) bahwa: “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”.

Pemilu sebagai sebuah kompetisi politik sangat dipengaruhi oleh dinamika politik aktor yang terlibat di dalamnya terutama peserta pemilu (partai dan calonnya), tim sukses, penyandang dana, birokrasi, dan pemilih. KPU dan Bawaslu dalam melaksanakan tahapan pemilu selalu berhadapan dengan para aktor ini.

Data pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di DKPP memperlihatkan modus operandi pelanggaran kode etik selalu melibatkan penyelenggara, peserta pemilu, penyandang dana, birokrasi, dan secara terbatas para pemilih.

Usulan dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu mengenai keharusan KPU dan Bawaslu berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum menetapkan PKPU secara langsung dapat memengaruhi independensi anggota maupun kelembagaan penyelenggara pemilu.

Efektivitas kerja penyelenggara bisa terganggu apabila terjadi perbedaan pandangan dalam proses konsultasi itu. Sudah terbukti dalam proses penetapan PKPU pilkada serentak lalu tidak tepat waktu akibat penetapannya harus melalui konsultasi dengan DPR dan pemerintah melalui rapat dengar pendapat yang bersifat mengikat.

Pilihan kita, apakah akan tetap membiarkan ketentuan semacam itu dalam undang-undang penyelenggaraan Pemilu 2019 yang pastinya berimplikasi pada kemandirian penyelenggara atau kembali pada ketentuan seperti pada Pemilu 2004. Saat itu KPU melaporkan secara berkala kepada DPR dan pemerintah tahapan-tahapan persiapan dan pelaksanaan pemilu.

Sesi “melaporkan” dalam praktiknya juga berfungsi sebagai forum “konsultasi”. Bahkan tidak jarang anggota KPU perlu bertanya langsung kepada DPR sebagai pembuat UU tentang maksud beberapa pasal dalam UU Pemilu yang kadangkala sulit untuk diterjemahkan dalam bentuk peraturan teknis KPU.

Komunikasi politik semacam ini perlu dibangun proporsional dalam posisi setara tanpa memengaruhi independensi penyelenggara.

Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila seorang presiden dan wakil presiden terpilih berasal dari partai yang sama dengan mayoritas anggota DPR? DPR dan pemerintah bisa menyetir KPU dan Bawaslu, mereka bisa terancam independensinya.

Partai politik, pemilih, dan masyarakat memerlukan kehadiran penyelenggara yang mandiri, yang bekerja tanpa gangguan lembaga mana pun. Mereka bekerja semata-mata acuannya konstitusi dan ketentuan perundang-undangan.

Prinsip kemandirian akan mendorong penyelenggara bekerja keras menjaga suara rakyat tanpa melihat kepentingan politik apa pun. Karena itu, kita semua akan merugi bila penyelenggara tidak mandiri.

Usulan dalam RUU penyelenggaraan pemilu itu perlu ditinjau kembali untuk mengembalikan marwah KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang independen sehingga dapat bekerja secara independen, jujur, adil, dan profesional. Kepercayaan kepada lembaga penyelenggara pemilu harus terus-menerus dibangun supaya hasil pemilu mempunyai legitimasi tinggi.

Parlemen dan pemerintah hasil pemilu dengan legitimasi tinggi diharapkan dapat bekerja efektif mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0791 seconds (0.1#10.140)