Cabai Dipolisi atau Disrupsi?

Kamis, 09 Maret 2017 - 10:34 WIB
Cabai Dipolisi atau...
Cabai Dipolisi atau Disrupsi?
A A A
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali

MUNGKIN
ini hanya terjadi di Indonesia, harga cabai lebih mahal ketimbang harga daging sapi. Ini perbandingannya. Harga daging sapi saat ini masih berkisar Rp120.000 per kilogram, sementara cabai sudah menembus Rp160.000. Bahkan sejumlah perusahaan makanan berani membeli cabai dari pengepul seharga Rp181.000 per kilogram.

Bagaimana bisa? Nyatanya begitu. Bahkan yang tidak kalah janggal maaf saya memakai istilah janggal adalah ketika suatu pagi, sambil sarapan, saya menyaksikan talk show di sebuah TV swasta yang membahas soal melonjaknya harga cabai. Anda tahu siapa narasumbernya?

Selain pejabat dari Kementerian Perdagangan, pembicara lain bukan pakar ekonomi dan bisnis, bukan pula para pedagang cabai, melainkan dari Badan Reserse Kriminal, Kepolisian RI.

Mengapa kepolisian sampai mengurusi harga cabai? Baiklah saya uraikan sedikit sebab-musababnya. Mulanya jelas lonjakan harga cabai tadi. Di Jakarta, pasokan cabai di Pasar Induk Kramat Jati yang biasanya mencapai 40 ton per hari turun tajam menjadi tinggal 12 ton. Jelas harga cabai langsung melonjak.

Anjloknya pasokan ini konon karena banyak perusahaan makanan memborong cabai dari para pengepul. Bahkan untuk bisa membeli cabai, perusahaan tersebut bersedia membeli dengan hargaRp181.000 per kilogram.

Sementara para pedagang hanya sanggup membeli dengan harga Rp160.000 per kilogram. Aksi perusahaan memborong cabai inilah yang bakal diperiksa kepolisian. Mereka diduga melakukan praktik kartel.

Betulkah? Supaya fair, kita lihat definisi kartel. Dalam UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kartel termasuk jenis perjanjian yang dilarang.

Di sana dituliskan, "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk memengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."

Menurut otak sederhana saya, aksi beberapa perusahaan memborong cabai harusnya tak bertujuan untuk memengaruhi harga. Aksi ini lebih didorong upaya untuk mengamankan proses produksi, bukan menyimpan cabai dan kelak dijual kembali ketika harga terus bergerak naik. Masalahnya mereka telah menjadi produsen besar yang produknya sudah kadung dikehendaki pasar.

Spekulasi itu Biasa


Naiknya harga cabai adalah fenomena bisnis biasa. Ini hukum supply and demand. Semua tahu, setiap kali terjadi banjir, siapa pun presiden atau gubernurnya, ya pastilah distribusi barang terganggu. Panen gagal. Pasokan berkurang dan harga pun melonjak.

Fenomena harga cabai dan kalau tahun-tahun lalu ditambah dengan lonjakan harga bawang merah selalu terjadi. Nyaris setiap tahun. Inilah mungkin yang membuat kita sebal. Kita seakan-akan tak pernah belajar. Lalu para pengepul tadi dicari-cari polisi.

Mereka dituding melakukan permainan yang membuat harga cabai melambung. Aksi spekulasi yang mereka lakukan kemudian menjadi sorotan. Ini keterlaluan. Sebab dalam bisnis aksi spekulasi adalah hal biasa. Lihatlah di bursa efek, juga di bursa komoditas berjangka, isinya spekulasi semua.

Hanya di sana para pelaku bursa melengkapi dirinya dengan sejumlah perangkat. Mereka mengembangkan berbagai model matematika dan rumus-rumus lainnya untuk memprediksi naik turunnya harga saham (kalau di bursa efek) atau kalau dibursa berjangka yang ditransaksikan adalah kontrak. Perangkat ini penting untuk meyakinkan investor.

Apakah prediksinya selalu benar? Belum tentu. Bisa saja harga saham (atau kontrak) suatu perusahaan diprediksi bakal naik, tetapi yang terjadi sebaliknya. Malah anjlok. Jadi kalau merujuk di dua bursa tersebut, spekulasi adalah hal biasa.

Bahkan aksi spekulasi telah membuat pasar bergairah. Harga saham bergerak naik atau turun, sehingga ada peluang bagi para investor untuk mengail keuntungan (termasuk menanggung risiko rugi).

Bayangkan kalau harga saham-saham atau kontrak di dua bursa tadi terus flat, bergerak mendatar, tak ada investor yang mau beli. Di dua bursa ini, nilai spekulasinya juga tak tanggung-tanggung!

Kalau di Bursa Efek Indonesia transaksinya lebih dari Rp5 triliun per hari. Ada pun di bursa berjangka, ada dua bursa. Pertama, Bursa Berjangka Jakarta yang setiap hari transaksinya berkisar Rp260 miliar.

Kedua, Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia yang nilai transaksinya baru Rp49 miliar. Kalau para pialang di bursa efek dan di bursa komoditas boleh melakukan spekulasi, mengapa para pedagang cabai tidak boleh?

Bahkan sampai harus dicari-cari polisi? Kalau Anda beranggapan saham bukan barang kebutuhan pokok, lantas apakah cabai masuk kategori makanan pokok? Anda tahu para pebisnis, apalagi pelaku UMKM dan petani, paling enggan dan takut berurusan dengan penegak hukum. Masih banyak di antara mereka yang beranggapan bisnisnya bakal terganggu, hidupnya terancam, dan masa depan terusik.

Business Friendly

Jadi menurut saya, mungkin lebih bijak jangan mengatasi spekulasi dengan memakai pendekatan sekuriti. Cara-cara seperti ini harus sudah kita disrupsi. Kita harus memakai pendekatan yang lebih business friendly.

Bicara soal ini, saya jadi ingat dengan soal daging sapi. Fenomenanya persis cabai. Harga daging sapi selalu naik menjelang Lebaran dan setelah itu seakan-akan enggan turun lagi. Negara kita sekarang ini sudah menjadi salah satu importir sapi ingat, ini sapi hidup, bukan dagingnya terbesar di dunia.

Sepanjang tahun 2016 kita mengimpor 600.000-an sapi dari Australia. Untuk tahun ini impor sapi kita bahkan bakal naik lagi menjadi 700.000 ekor. Anda tahu, mengimpor sapi hidup jelas lebih mahal ketimbang impor dagingnya. Ada banyak biaya tambahan.

Misalnya biaya pakan selama perjalanan, biaya asuransi, dan berbagai biaya lain. Maka tak mengherankan kalau akhirnya harga daging sapi menjadi lebih mahal. Padahal banyak negara sudah tidak lagi mengimpor sapi hidup.

Mereka mengimpornya dalam kondisi beku. Dengan berkembangnya teknologi penyimpanan, kualitas daging sapi beku ini sebetulnya tidak kalah bila dibandingkan dengan sapi segar.

Pendekatan serupa mungkin bisa kita terapkan pada cabai. Kita tidak perlu lagi mengirimkannya dalam bentuk segar, melainkan dalam bentuk bubuk cabai. Toh akhirnya ketika diolah menjadi sambal, misalnya, cabai kita gerus juga. Kita hancurkan. Ketika sudah jadi sambal, yang kita nikmati juga hanya pedasnya. Bukan lagi ini dari cabai segar atau bubuk.

Anda tahu, mengirimkan cabai dalam bentuk segar juga sama seperti impor sapi hidup. Biayanya lebih mahal dan risikonya lebih tinggi. Kalau terlalu lama di jalan, misalnya, cabai bisa membusuk. Lalu, karena masih banyak mengandung air, cabai menjadi lebih berat.

Risiko dan berat serta berbagai masalah lain pada akhirnya harus dikonversi menjadi harga. Jelas, harga yang lebih mahal. Disrupsi lainnya adalah pendekatan intervensi pasar. Jadi agak mirip seperti peran Bulog dalam menjaga harga beras.

Untuk pendekatan seperti ini, kita bisa mendayagunakan BUMN. Kita punya PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) dengan skema bisnis resi gudang. Lalu untuk asuransi, bisnis ini sekarang sudah digarap oleh PT Jamkrindo.

Dengan skema ini, petani tak perlu langsung menjual hasil panennya, terlebih saat harganya rendah. Petani bisa menyimpan hasil panennya di gudang-gudang milik BGR. Kelak BGR akan menerbit kan resi yang mirip dengan kontrak dalam bursa berjangka.

Jadi resi ini bisa ditransaksikan atau dipakai sebagai jaminan ke bank. Nah, untuk kepentingan intervensi pasar, pemerintah bisa membeli hasil panen yang ada di gudang BGR, tentu dengan cara membeli resinya. Bukannya langsung membeli dari petani.

Selebihnya pemerintah tentu boleh merekayasa agar budi daya cabai tidak terkonsentrasi hanya di beberapa daerah. Kalau bisa tersebar, sehingga pasokannya tidak mengalir hanya di satu arah. Dengan cara seperti ini, saya berharap tahun depan kita tak perlu membeli cabai seharga ratusan ribu per kilogram.

Juga tak perlu melibatkan polisi dalam urusan harga cabai. Makan tanpa cabai memang kurang enak. Tapi kalau harga cabainya "lebih pedas" ketimbang rasanya, pasti lebih tidak enak.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7495 seconds (0.1#10.140)