Pseudo Industri Pertahanan & Erosi Teknologi PTDI
A
A
A
Dr Connie Rahakundini Bakrie
Dewan Pembina National Air And Space Power of Indonesia
VISI Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia berimplikasi menuntut Indonesia menjadi poros dirgantara dunia.
Untuk itu, seluruh elemen bangsa seharusnya memiliki kesadaran yang lebih besar terkait pada masalah strategi pertahanan dan militer, pembangunan dan penggelaran kekuatan postur, alat peralatan pertahanan serta industri pertahanan, di mana ke semua ini sangat terkait erat pada inovasi teknologi pertahanan.
Lembaga negara seperti Kemhan, Kementerian BUMN, BPPT, serta KKIP jelas memiliki peran utama untuk memastikan bahwa keseluruhan strategi nasional dapat berjalan dan saling melengkapi.
Karena hanya dengan kemampuan menggabungkan Buku Putih Pertahanan, arah kebijakan industri serta program inovasi teknologi dan investasi yang terintegrasi serta komprehensiflah yang mampu menerjemahkan tujuan strategis, prioritas teknologi dari alat utama sistem senjata, serta kemampuan kemandirian Indhan yang harus dicapai Indonesia dalam mewujudkan visi kepala negara tersebut.
Transparansi Teknologi
Dengan implikasi keharusan pengembangan poros dirgantara dunia, tentunya Indonesia harus mengembangkan industri dirgantara yang kuat. Mungkin banyak yang berpikir bahwa saat ini Indonesia sudah memiliki industri dirgantara.
Namun sayangnya, masalah terpenting terkait indhan kedirgantaraan Indonesia adalah masalah transparansi teknologi dari industri pertahanan itu sendiri.
Isu terkini terkait pengadaan serta kedatangan helikopter AW-101 yang riuh menimbulkan perdebatan antara menteri pertahanan, panglima TNI, dan KSAU Marsekal Agus Supriatna (saat itu) telah melahirkan kebingungan pada masyarakat.
Menhan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang bersikeras bahwa PTDI sudah mampu membuat heli Cougar (EC 725) sehingga TNI AU dianggap oleh Panglima TNI tidak perlu membeli heli angkut berat multi-roles tersebut.
Di sinilah bisa kita lihat bahwa transparansi terkait kemampuan indhan kedirgantaraan tak bisa dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI). PTDI tidak jujur dalam kemampuannya terkait teknologi yang dimiliki dalam bidang rotary wing.
Kalau PTDI mau jujur, yang dilakukannya adalah membeli utuh heli tersebut dari negara produsen. PTDI sebagai BUMN malah bertindak sebagai broker atau agen penjual.
Heli tersebut didatangkan dari negara produsen dalam tiga komponen besar yang utuh (badan, ekor, dan baling-baling), sehingga PTDI hanya bertugas memasok dan merakit fuselage & tailboom (bagian kecil dari production line helicopter), memasang baling-baling, melakukan pengecatan sesuai pesanan matra terkait dan mempersiapkan re-test setelahnya.
Jadi sangatlah tidak berdasar bagi PTDI sebagai pemasok dua komponen semata dari Cougar kemudian mengakui bahwa heli tersebut merupakan produk karya anak bangsa.
Bukankah yang berhak mengklaim sebagai negara produsen jelas adalah pihak yang telah mampu menggabungkan keseluruhan rangka dan komponen, mengintegrasikan sistem dan utamanya memiliki type certificate (TC) atau patent dari EC 725 di mana hingga saat ini masih dipegang oleh Eurocopter/Airbus Helicopter.
Kita jelas perlu bangga PTDI mampu merakit kembali EC 725, tapi kalau dikatakan membuat EC 725 itu adalah klaim yang berlebihan. Kiranya kita perlu sedikit melirik pada pemahaman produksi pesawat terbang, terutama helikopter.
Sebuah helikopter yang diproduksi secara massal (series) oleh pabrikan akan mendapatkan production certificate (PC). Nah, untuk menjawab apakah EC 725 yang dirakit PTDI memiliki PC atau tidak, semua tentunya tercantum dalam kontrak production sharing.
Selanjutnya melalui kontrak production sharing antara TC/license holder (CASA) dan under license holder (PTDI). Hal tersebut akan menjelaskan bagian-bagian helikopter mana saja yang bisa diproduksi secara penuh, termasuk kegiatan final assembly, flight line activity, certification, roll-out, flight test, customer delivery process, dsb.
Dari segi teknis, manufacturing helikopter sangat complicated, berbeda dengan fixed wing. Proses manufacturing untuk engineering process memerlukan sekitar 250.000 jam kerja.
Tidak ada satu pun manufaktur yang mampu membuat seluruh komponen. Namun yang paling dipentingkan adalah hasil manufacturing process. Singkatnya bagaimana sekian puluh ribu komponen itu dapat dirangkai dengan tepat dan benar sehingga dapat menjadi helikopter.
Untuk dapat membuat helikopter murni buatan PT DI diperlukan cukup banyak effort terutama adalah expert engineer untuk manufacturing process kemudian proses produksi akan membantu. Namun, kesemuanya butuh dukungan biaya dan ini yang harus dilakukan pada perusahaan selain Airbus.
Rakyat melalui negara berhak menuntut transparansi teknologi apa sebenarnya yang ditransfer dan dikembangkan oleh Airbus yang sudah memonopoli PTDI selama hampir 40 tahun? Mengapa rotary wing production PTDI terhenti sejak 2003?
Hambatan teknologi apa yang terjadi di dalam PTDI terkait pengadaan EC725 Cougar yang terlambat bertahun tahun sehingga mengganggu kesiapan postur dan gelar TNI AU di Skuadron 8? Apa yang terjadi di PTDI dalam memasok pengadaan fixed wing yang dipesan oleh TNI dan negara tetangga dan mengakibatkan tumpukan penalty keterlambatan yang besar harus dibayar PTDI dengan menggunakan uang negara dalam jumlah fantastis?
Pertanyaan menggelitik terkait PTDI yang berlaku sebagai broker adalah mengenai kajian bisnis dan keuntungan, misalnya dari 6 unit EC725 TNI AU, 11 unit helikopter AS565 MbE (Panther) untuk TNI AL, dan 12 unit heli untuk TNI AD.
Sebagai contoh, dapat dilihat dengan mudah pada tahun pemesanan berapa harga helikopter tersebut di pasar dunia dan berapa harga yang dipatok PTDI dan harus dibayarkan ketiga matra tersebut ke PTDI atau agen antaranya.
Ke manakah keuntungan broker fee dan juga selisih harga per satuan pesawat tersebut kemudian dialokasikan oleh PTDI? Pengecekan ini dapat dilakukan tidak saja pada heli tetapi pada industri fixed wing PTDI yaitu pada semua penjualan pembelian seri CN.
PTDI Pembuat atau Perakit Heli?
Jika kita mengikuti berita di media massa, sepertinya pemahaman tentang kalimat “mampu membuat helikopter” itu sudah gagal dipahami oleh PTDI sendiri. Gagal paham ini dapat dilihat dari pernyataan para elite lembaga terkait bahwa PTDI sudah mampu membuat heli—padahal yang dibuat adalah hanya fuselage & tail boom.
Nilai bagian tersebut sangat rendah yaitu 1,2% harga heli tersebut (Cougar berharga Rp90 miliar per pesawat dan total harga pengerjaan kontrak 125 potong fuselage dan tailboom hanya Rp4.680.000.000 saja). Selain dari aspek teknologi kemampuan memproduksi dua bagian di atas sangat minim dinilai dari teknologi keseluruhan pada production line heli tersebut. Apalagi teknologi ini telah ada dan dikuasai sejak era PTDI dipimpin oleh Habibie sejak era 1980-an!
Sudah waktunya PTDI mempertanggung jawabkan bagaimana kerja sama monopoli berpuluh tahun dengan Airbus yang dilakukannya tidak berdampak pada pengembangan serta penguasaan teknologi baru misalnya dalam kemampuan menciptakan serta mengintegrasikan al: engine gearbox, main rotor head, main torot blades, main rotor mass, tail rotor head, tail rotor blades, tail rotor mass, landing gears assay, servo equipment, auto pilot system, avionics equipment & miscellaneous system.
Untuk membuktikan benar bahwa heli ini adalah buatan PTDI yang telah diakui secara sah dan legal berikut sertifikasi apa saja yang sudah dimiliki PTDI dalam klaim atas kemampuannya ‘membuat’ heli tersebut?
Sebetulnya, jika benar kita adalah negara yang sudah mampu membuat heli, dapat diketahui dengan mudah oleh KKIP dan Kemhan yaitu dengan mengetahui dan menyaksikan di mana uji terbang pertama dilakukan.
Jika the very 1st flight heli tersebut bukan dilakukan di Indonesia maka Indonesia bukanlah negara pembuat heli tersebut. First flight Cougar masih dilakukan di Prancis, maka jelaslah heli ini buatan Prancis. Simpel.
Kemudian, terkait uji sertifikat pada TCDS dalam artian confirmity terhadap konfigurasi pesawat serta performa ability di mana dengan ini akan dapat diketahui share pencapaian dan cakupan technology PTDI terhadap heli tersebut (di luar pre installment dan pengecatan). Lalu apakah yang telah mampu dibuat oleh PTDI dan dapat dikategorikan sebagai interchangeable and replaceable (IR) parts?
Seperti dongeng Aesop dalam “The Lion & Mosquito" yang menunjukkan bahwa postur pertahanan yang kuat sebenarnya akan terus-menerus membutuhkan adaptasi terhadap ancaman baru, di mana dalam dongeng tersebut jelas sang singa perkasa dapat dikalahkan oleh nyamuk kecil karena sang nyamuk dapat memikatnya ke jaring laba-laba. Di sinilah pentingnya arti dari inovasi strategis dan perkembangan teknologi.
Karenanya, dalam setiap kerja sama dengan pihak produsen baik rotary ataupun fixed wing, maka yang wajib didapatkan PTDI sebagai BUMN Indhan adalah menemukan clue akan bagaimana pola mendesain, melakukan perhitungan, membuat dan memiliki program test serta simulasi engineering dalam manufacturer, termasuk spareparts dan perawatan.
Cougar Versus Black Hawk & Apache
Menariknya, dari diskusi yang dilakukan dengan PTDI maupun KKIP terdapat satu kesamaan sikap dari dua lembaga ini, yaitu justru menyalahkan institusi militer kita yang dianggap menghambat tumbuh kembangnya PTDI.
Anehnya, terkait rencana pembelian helikopter Black Hawk UH-60L dan Apache AH-65 Hawk oleh Panglima TNI beberapa waktu lalu malahan tidak melahirkan kontroversi dari KKIP dan PTDI terkait masalah wajib pro indhan dalam negeri, padahal jelas-jelas heli tersebut sekelas dengan Cougar.
Tolok ukur dan kriteria apa yang sebenarnya dipakai KKIP dan Panglima TNI untuk menentukan pembelian helikopter Black Hawk UH-60L dan Apache AH-65 Hawk dan mengapa tidak diwajibkan Cougar seperti dalam konteks AW 101?
Dari kesemuanya ini jelas bisa ditarik benang merah bahwa diperlukan dialog terbuka dan berkelanjutan di antara menteri pertahanan, menristek, panglima TNI, kepala staf ketiga matra, PTDI, BPPT, serta KKIP sendiri yang seharusnya memiliki kekuatan pada pemahaman akan inovasi dan transparansi pencapaian tingkat teknologi industri pertahanan Indonesia secara keseluruhan.
Sebagaimana pembelajaran dari negara NATO dan Uni Eropa, pembangunan industri dan inovasi pertahanan yang baik akan terbangun berdasarkan dialog efektif antara aktor di dalam lingkar Defence Quadraplehelix yaitu militer, akademisi, pemerintah dan para pelaku industri pertahanan baik BUMN dan BUMS, sehingga pseudo indhan dan erosi teknologi industri kedirgantaraan kita dapat segera diselesaikan bangsa ini demi tercapainya impian dan cita-cita negara poros maritim dan dirgantara dunia!
Dewan Pembina National Air And Space Power of Indonesia
VISI Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia berimplikasi menuntut Indonesia menjadi poros dirgantara dunia.
Untuk itu, seluruh elemen bangsa seharusnya memiliki kesadaran yang lebih besar terkait pada masalah strategi pertahanan dan militer, pembangunan dan penggelaran kekuatan postur, alat peralatan pertahanan serta industri pertahanan, di mana ke semua ini sangat terkait erat pada inovasi teknologi pertahanan.
Lembaga negara seperti Kemhan, Kementerian BUMN, BPPT, serta KKIP jelas memiliki peran utama untuk memastikan bahwa keseluruhan strategi nasional dapat berjalan dan saling melengkapi.
Karena hanya dengan kemampuan menggabungkan Buku Putih Pertahanan, arah kebijakan industri serta program inovasi teknologi dan investasi yang terintegrasi serta komprehensiflah yang mampu menerjemahkan tujuan strategis, prioritas teknologi dari alat utama sistem senjata, serta kemampuan kemandirian Indhan yang harus dicapai Indonesia dalam mewujudkan visi kepala negara tersebut.
Transparansi Teknologi
Dengan implikasi keharusan pengembangan poros dirgantara dunia, tentunya Indonesia harus mengembangkan industri dirgantara yang kuat. Mungkin banyak yang berpikir bahwa saat ini Indonesia sudah memiliki industri dirgantara.
Namun sayangnya, masalah terpenting terkait indhan kedirgantaraan Indonesia adalah masalah transparansi teknologi dari industri pertahanan itu sendiri.
Isu terkini terkait pengadaan serta kedatangan helikopter AW-101 yang riuh menimbulkan perdebatan antara menteri pertahanan, panglima TNI, dan KSAU Marsekal Agus Supriatna (saat itu) telah melahirkan kebingungan pada masyarakat.
Menhan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang bersikeras bahwa PTDI sudah mampu membuat heli Cougar (EC 725) sehingga TNI AU dianggap oleh Panglima TNI tidak perlu membeli heli angkut berat multi-roles tersebut.
Di sinilah bisa kita lihat bahwa transparansi terkait kemampuan indhan kedirgantaraan tak bisa dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI). PTDI tidak jujur dalam kemampuannya terkait teknologi yang dimiliki dalam bidang rotary wing.
Kalau PTDI mau jujur, yang dilakukannya adalah membeli utuh heli tersebut dari negara produsen. PTDI sebagai BUMN malah bertindak sebagai broker atau agen penjual.
Heli tersebut didatangkan dari negara produsen dalam tiga komponen besar yang utuh (badan, ekor, dan baling-baling), sehingga PTDI hanya bertugas memasok dan merakit fuselage & tailboom (bagian kecil dari production line helicopter), memasang baling-baling, melakukan pengecatan sesuai pesanan matra terkait dan mempersiapkan re-test setelahnya.
Jadi sangatlah tidak berdasar bagi PTDI sebagai pemasok dua komponen semata dari Cougar kemudian mengakui bahwa heli tersebut merupakan produk karya anak bangsa.
Bukankah yang berhak mengklaim sebagai negara produsen jelas adalah pihak yang telah mampu menggabungkan keseluruhan rangka dan komponen, mengintegrasikan sistem dan utamanya memiliki type certificate (TC) atau patent dari EC 725 di mana hingga saat ini masih dipegang oleh Eurocopter/Airbus Helicopter.
Kita jelas perlu bangga PTDI mampu merakit kembali EC 725, tapi kalau dikatakan membuat EC 725 itu adalah klaim yang berlebihan. Kiranya kita perlu sedikit melirik pada pemahaman produksi pesawat terbang, terutama helikopter.
Sebuah helikopter yang diproduksi secara massal (series) oleh pabrikan akan mendapatkan production certificate (PC). Nah, untuk menjawab apakah EC 725 yang dirakit PTDI memiliki PC atau tidak, semua tentunya tercantum dalam kontrak production sharing.
Selanjutnya melalui kontrak production sharing antara TC/license holder (CASA) dan under license holder (PTDI). Hal tersebut akan menjelaskan bagian-bagian helikopter mana saja yang bisa diproduksi secara penuh, termasuk kegiatan final assembly, flight line activity, certification, roll-out, flight test, customer delivery process, dsb.
Dari segi teknis, manufacturing helikopter sangat complicated, berbeda dengan fixed wing. Proses manufacturing untuk engineering process memerlukan sekitar 250.000 jam kerja.
Tidak ada satu pun manufaktur yang mampu membuat seluruh komponen. Namun yang paling dipentingkan adalah hasil manufacturing process. Singkatnya bagaimana sekian puluh ribu komponen itu dapat dirangkai dengan tepat dan benar sehingga dapat menjadi helikopter.
Untuk dapat membuat helikopter murni buatan PT DI diperlukan cukup banyak effort terutama adalah expert engineer untuk manufacturing process kemudian proses produksi akan membantu. Namun, kesemuanya butuh dukungan biaya dan ini yang harus dilakukan pada perusahaan selain Airbus.
Rakyat melalui negara berhak menuntut transparansi teknologi apa sebenarnya yang ditransfer dan dikembangkan oleh Airbus yang sudah memonopoli PTDI selama hampir 40 tahun? Mengapa rotary wing production PTDI terhenti sejak 2003?
Hambatan teknologi apa yang terjadi di dalam PTDI terkait pengadaan EC725 Cougar yang terlambat bertahun tahun sehingga mengganggu kesiapan postur dan gelar TNI AU di Skuadron 8? Apa yang terjadi di PTDI dalam memasok pengadaan fixed wing yang dipesan oleh TNI dan negara tetangga dan mengakibatkan tumpukan penalty keterlambatan yang besar harus dibayar PTDI dengan menggunakan uang negara dalam jumlah fantastis?
Pertanyaan menggelitik terkait PTDI yang berlaku sebagai broker adalah mengenai kajian bisnis dan keuntungan, misalnya dari 6 unit EC725 TNI AU, 11 unit helikopter AS565 MbE (Panther) untuk TNI AL, dan 12 unit heli untuk TNI AD.
Sebagai contoh, dapat dilihat dengan mudah pada tahun pemesanan berapa harga helikopter tersebut di pasar dunia dan berapa harga yang dipatok PTDI dan harus dibayarkan ketiga matra tersebut ke PTDI atau agen antaranya.
Ke manakah keuntungan broker fee dan juga selisih harga per satuan pesawat tersebut kemudian dialokasikan oleh PTDI? Pengecekan ini dapat dilakukan tidak saja pada heli tetapi pada industri fixed wing PTDI yaitu pada semua penjualan pembelian seri CN.
PTDI Pembuat atau Perakit Heli?
Jika kita mengikuti berita di media massa, sepertinya pemahaman tentang kalimat “mampu membuat helikopter” itu sudah gagal dipahami oleh PTDI sendiri. Gagal paham ini dapat dilihat dari pernyataan para elite lembaga terkait bahwa PTDI sudah mampu membuat heli—padahal yang dibuat adalah hanya fuselage & tail boom.
Nilai bagian tersebut sangat rendah yaitu 1,2% harga heli tersebut (Cougar berharga Rp90 miliar per pesawat dan total harga pengerjaan kontrak 125 potong fuselage dan tailboom hanya Rp4.680.000.000 saja). Selain dari aspek teknologi kemampuan memproduksi dua bagian di atas sangat minim dinilai dari teknologi keseluruhan pada production line heli tersebut. Apalagi teknologi ini telah ada dan dikuasai sejak era PTDI dipimpin oleh Habibie sejak era 1980-an!
Sudah waktunya PTDI mempertanggung jawabkan bagaimana kerja sama monopoli berpuluh tahun dengan Airbus yang dilakukannya tidak berdampak pada pengembangan serta penguasaan teknologi baru misalnya dalam kemampuan menciptakan serta mengintegrasikan al: engine gearbox, main rotor head, main torot blades, main rotor mass, tail rotor head, tail rotor blades, tail rotor mass, landing gears assay, servo equipment, auto pilot system, avionics equipment & miscellaneous system.
Untuk membuktikan benar bahwa heli ini adalah buatan PTDI yang telah diakui secara sah dan legal berikut sertifikasi apa saja yang sudah dimiliki PTDI dalam klaim atas kemampuannya ‘membuat’ heli tersebut?
Sebetulnya, jika benar kita adalah negara yang sudah mampu membuat heli, dapat diketahui dengan mudah oleh KKIP dan Kemhan yaitu dengan mengetahui dan menyaksikan di mana uji terbang pertama dilakukan.
Jika the very 1st flight heli tersebut bukan dilakukan di Indonesia maka Indonesia bukanlah negara pembuat heli tersebut. First flight Cougar masih dilakukan di Prancis, maka jelaslah heli ini buatan Prancis. Simpel.
Kemudian, terkait uji sertifikat pada TCDS dalam artian confirmity terhadap konfigurasi pesawat serta performa ability di mana dengan ini akan dapat diketahui share pencapaian dan cakupan technology PTDI terhadap heli tersebut (di luar pre installment dan pengecatan). Lalu apakah yang telah mampu dibuat oleh PTDI dan dapat dikategorikan sebagai interchangeable and replaceable (IR) parts?
Seperti dongeng Aesop dalam “The Lion & Mosquito" yang menunjukkan bahwa postur pertahanan yang kuat sebenarnya akan terus-menerus membutuhkan adaptasi terhadap ancaman baru, di mana dalam dongeng tersebut jelas sang singa perkasa dapat dikalahkan oleh nyamuk kecil karena sang nyamuk dapat memikatnya ke jaring laba-laba. Di sinilah pentingnya arti dari inovasi strategis dan perkembangan teknologi.
Karenanya, dalam setiap kerja sama dengan pihak produsen baik rotary ataupun fixed wing, maka yang wajib didapatkan PTDI sebagai BUMN Indhan adalah menemukan clue akan bagaimana pola mendesain, melakukan perhitungan, membuat dan memiliki program test serta simulasi engineering dalam manufacturer, termasuk spareparts dan perawatan.
Cougar Versus Black Hawk & Apache
Menariknya, dari diskusi yang dilakukan dengan PTDI maupun KKIP terdapat satu kesamaan sikap dari dua lembaga ini, yaitu justru menyalahkan institusi militer kita yang dianggap menghambat tumbuh kembangnya PTDI.
Anehnya, terkait rencana pembelian helikopter Black Hawk UH-60L dan Apache AH-65 Hawk oleh Panglima TNI beberapa waktu lalu malahan tidak melahirkan kontroversi dari KKIP dan PTDI terkait masalah wajib pro indhan dalam negeri, padahal jelas-jelas heli tersebut sekelas dengan Cougar.
Tolok ukur dan kriteria apa yang sebenarnya dipakai KKIP dan Panglima TNI untuk menentukan pembelian helikopter Black Hawk UH-60L dan Apache AH-65 Hawk dan mengapa tidak diwajibkan Cougar seperti dalam konteks AW 101?
Dari kesemuanya ini jelas bisa ditarik benang merah bahwa diperlukan dialog terbuka dan berkelanjutan di antara menteri pertahanan, menristek, panglima TNI, kepala staf ketiga matra, PTDI, BPPT, serta KKIP sendiri yang seharusnya memiliki kekuatan pada pemahaman akan inovasi dan transparansi pencapaian tingkat teknologi industri pertahanan Indonesia secara keseluruhan.
Sebagaimana pembelajaran dari negara NATO dan Uni Eropa, pembangunan industri dan inovasi pertahanan yang baik akan terbangun berdasarkan dialog efektif antara aktor di dalam lingkar Defence Quadraplehelix yaitu militer, akademisi, pemerintah dan para pelaku industri pertahanan baik BUMN dan BUMS, sehingga pseudo indhan dan erosi teknologi industri kedirgantaraan kita dapat segera diselesaikan bangsa ini demi tercapainya impian dan cita-cita negara poros maritim dan dirgantara dunia!
(poe)