Banjir dan Krisis Ekologi
A
A
A
Adin Denny
Ketua Rescue Perindo
MEMASUKI tahun 2017 banjir menerjang lebih dari separuh wilayah di Indonesia. Kerugian material dan nonmaterial tak terhitung. Diperlukan langkah tepat agar banjir tidak lagi mampir, paling tidak berkurang di tahun-tahun mendatang.
Salah satu yang paling mendasar adalah mencegah dan memulihkan lingkungan yang rusak akibat ulah manusia. Bencana banjir terjadi hampir merata.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, awal 2017 banjir menerjang 25 provinsi dan 121 kabupaten/kota di Indonesia. Bencana banjir merentang dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan NTB. Makin parah, sebab daerah-daerah yang sebelumnya tidak banjir, tahun ini terdampak. BNPB memperkirakan banjir akan terus terjadi hingga musim penghujan berakhir, yakni April 2017.
Kejadian ini tentu sangat merugikan. Pemerintah dan masyarakat umum harus berpikir kenapa dan bagaimana banjir bisa diatasi.
Alam dan Manusia
Umum diketahui bencana banjir disebabkan dua faktor utama yang saling terkait, faktor alam dan manusia. Siklus alam seperti El Nino yang kemudian berganti La Nina menyebabkan intensitas hujan pada akhir 2016 dan awal 2017 lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Hujan lebat mengguyur di beberapa daerah dan menimbulkan banjir.
Tetapi banjir bukan semata kesalahan alam, manusia juga berperan besar mendatangkan bencana tersebut. Hujan deras yang mengguyur beberapa daerah tidak bisa dialirkan sungai dan kanal secara memadai.
Sungai meluap akibat kelebihan debit air. Penyebabnya tak jauh-jauh dari penyempitan, pendangkalan, dan kerusakan daerah aliran (DAS) akibat berbagai aktivitas manusia.
Banjir juga dipicu oleh ketidaklayakan drainase. Ini juga akibat ulah manusia. Selokan yang mestinya siap mengalirkan air mampat karena sampah, tertimbun limbah, atau karena sudah beralih fungsi. Limpahan air hujan yang mestinya mengalir ke sungai menggenang, membanjiri permukiman.
Sebenarnya di daerah-daerah yang kondisi alamnya masih seimbang tumpahan air hujan tidak pernah menjadi masalah. Tempat-tempat yang memiliki kawasan hutan terjaga akan aman dari banjir.
Secara alami hutan menyerap dan menyimpan tumpahan air hujan sehingga tidak mengalir begitu saja ke tempat-tempat yang landai. Sungai-sungai juga tidak kewalahan menampung mengalirkan tumpahan air tersebut.
Proses alamiah seperti di atas sudah tidak ditemui lagi di tempat-tempat yang rutin mengalami banjir seperti Jakarta dan sekitarnya. Di daerah ini, dan beberapa daerah yang telah dan sedang diterjang banjir, hutan sebagai pencegah banjir alami, dan sejumlah manfaat besar lainnya, telah rusak parah.
Kerusakan Hutan
Kabar tentang keparahan kerusakan hutan di Tanah Air terus disebarkan hampir setiap hari. Namun, pada saat yang sama kabar itu seolah menguap begitu saja.
Pemerintah dan masyarakat menganggap berita kerusakan hutan hanya sebagai selingan yang tidak perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Indikasinya, hampir tidak ada langkah terobosan untuk mencegah perilaku perusakan hutan, apalagi memulihkan kerusakan tersebut.
Mari kita lihat bagaimana kondisi hutan di Jawa Barat dan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) besarnya seperti Citarum, Cisadane, Cimanuk, dan Ciliwung. Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jawa Barat memperkirakan, kawasan DAS Cimanuk yang rusak mencapai 4.500 ha dan kawasan hulu Citarum di Bandung Selatan mencapai 9.000 ha.
Sementara itu, nasib hulu DAS Cisadane dan Ciliwung tidak lebih baik, kerusakannya mencapai 7.500 ha. Kerusakan ekologis di hulu sungai di Jawa Barat tidak hanya berdampak bencana di provinsi tersebut, tapi juga menjadi faktor yang menyebabkan Jakarta dikepung banjir hampir setiap tahun.
Kerusakan DAS disebabkan beberapa faktor seperti alih fungsi lahan untuk pertanian, hunian dan industri. Tidak ada yang menyangkal pembangunan perumahan dan industri itu penting. Tapi yang perlu diperhatikan pembangunan dalam wujud apa pun harus diimbangi dengan pemeliharaan lingkungan.
Ini yang luput dari perhatian. Mengutip lagi laporan Walhi, di DAS Citarum masih ada sekitar 526 pabrik yang membuang limbah cair secara langsung, tanpa melalui pengolahan di instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Bisa dibayangkan seperti apa dampaknya jika hal demikian terus terjadi beberapa tahun mendatang.
Kondisi serupa terjadi di kawasan Puncak Bogor, yang merupakan hulu dari Ciliwung yang setiap tahunnya meluapkan banjir. Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, kerusakan hutan di Puncak Bogor terus berlangsung hingga kini.
Dalam rentang tahun 2000 hingga 2016, demikian data FWI, pengurangan hutan di daerah Puncak mencapai 66 kali luas Kebun Raya Bogor, yaitu sekitar 5.000an ha. DAS Ciliwung yang tertutupi hutan kini hanya tersisa sekitar 9,2% dari total 39.000 ha. Padahal, tutupan hutan yang ideal, minimal harus 30%.
Apa yang Harus Dilakukan?
Bencana banjir lebih banyak disebabkan faktor manusia daripada alam. DAS yang mestinya memiliki hutan yang terjaga sebagai penyerap air hujan rusak dan hingga kini belum dipulihkan.
Dengan demikian, pengatasan banjir dan bencana terkait seperti longsor harus dilakukan secara mendasar dan perlu perencanaan jangka panjang yang matang. Menaikkan anggaran untuk badan penanggulangan bencana, pengiriman bantuan, dan membuat pemukiman bagi pengungsi di daerah-daerah rawan banjir adalah langkah yang perlu, tapi tidak cukup.
Demikian juga dengan perbaikan saluran air. Pembuatan sodetan dan pembuatan turap di sepanjang sungai bisa membantu mengalirkan air secara lancar. Namun, hal itu terbukti tidak memadai ketika limpahan air yang harus dialirkan terlalu besar, seperti yang terjadi di beberapa bulan ini.
Dalam kondisi ekologi yang sudah tidak seimbang, banjir mau tidak mau terjadi dan akan terus terjadi selama alam yang rusak itu tidak dipulihkan. Dan hal yang perlu dilakukan sebelum pemulihan itu adalah pencegahan, agar DAS yang sudah rusak tidak bertambah parah.
Karena itu, pemerintah, pusat dan daerah, harus memprioritaskan pemeliharaan ekosistem dan pengurangan risiko bencana lingkungan hidup. Alih fungsi lahan untuk permukiman dan kepentingan pembangunan harus tunduk pada penjagaan lingkungan hidup.
Pemerintah perlu tegas soal ini, mengingat bencana yang ditimbulkan oleh pembangunan yang abai masalah lingkungan sudah nyata dan berulang.
Langkah berikutnya adalah pemberian sanksi yang tegas bagi pihak yang terbukti melanggar peraturan. Pembangunan kawasan properti tanpa amdal, misalnya, harus dihentikan dan pemiliknya harus diberi sanksi tegas.
Hal ini tidak saja akan memberi efek jera pada para pelaku, tapi juga menjadi pembelajaran bagi pihak lain yang coba-coba bermain dengan masalah perizinan terkait pemeliharaan lingkungan hidup.
Sayangnya, penerapan sanksi tegas terhadap pelanggar aturan lingkungan hidup belum dijalankan secara konsisten. Di Jawa Barat, misalnya, seperti tertuang dalam catatan akhir tahun Walhi Jawa Barat 2016, kebanyakan pelanggar aturan tata ruang dan perusak lingkungan hanya diberi hukuman administratif berupa peringatan dan pembinaan; sedikit yang dilanjutkan sampai ke pengadilan.
Terakhir, bencana banjir bukan nasib dan sebab itu bisa diatasi. Banjir merupakan kejadian yang sebagian besar faktor penyebabnya bisa dikendalikan. Ini tergantung pada kesadaran, rencana, dan program yang akan dijalankan pemerintah.
Ketua Rescue Perindo
MEMASUKI tahun 2017 banjir menerjang lebih dari separuh wilayah di Indonesia. Kerugian material dan nonmaterial tak terhitung. Diperlukan langkah tepat agar banjir tidak lagi mampir, paling tidak berkurang di tahun-tahun mendatang.
Salah satu yang paling mendasar adalah mencegah dan memulihkan lingkungan yang rusak akibat ulah manusia. Bencana banjir terjadi hampir merata.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, awal 2017 banjir menerjang 25 provinsi dan 121 kabupaten/kota di Indonesia. Bencana banjir merentang dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan NTB. Makin parah, sebab daerah-daerah yang sebelumnya tidak banjir, tahun ini terdampak. BNPB memperkirakan banjir akan terus terjadi hingga musim penghujan berakhir, yakni April 2017.
Kejadian ini tentu sangat merugikan. Pemerintah dan masyarakat umum harus berpikir kenapa dan bagaimana banjir bisa diatasi.
Alam dan Manusia
Umum diketahui bencana banjir disebabkan dua faktor utama yang saling terkait, faktor alam dan manusia. Siklus alam seperti El Nino yang kemudian berganti La Nina menyebabkan intensitas hujan pada akhir 2016 dan awal 2017 lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya. Hujan lebat mengguyur di beberapa daerah dan menimbulkan banjir.
Tetapi banjir bukan semata kesalahan alam, manusia juga berperan besar mendatangkan bencana tersebut. Hujan deras yang mengguyur beberapa daerah tidak bisa dialirkan sungai dan kanal secara memadai.
Sungai meluap akibat kelebihan debit air. Penyebabnya tak jauh-jauh dari penyempitan, pendangkalan, dan kerusakan daerah aliran (DAS) akibat berbagai aktivitas manusia.
Banjir juga dipicu oleh ketidaklayakan drainase. Ini juga akibat ulah manusia. Selokan yang mestinya siap mengalirkan air mampat karena sampah, tertimbun limbah, atau karena sudah beralih fungsi. Limpahan air hujan yang mestinya mengalir ke sungai menggenang, membanjiri permukiman.
Sebenarnya di daerah-daerah yang kondisi alamnya masih seimbang tumpahan air hujan tidak pernah menjadi masalah. Tempat-tempat yang memiliki kawasan hutan terjaga akan aman dari banjir.
Secara alami hutan menyerap dan menyimpan tumpahan air hujan sehingga tidak mengalir begitu saja ke tempat-tempat yang landai. Sungai-sungai juga tidak kewalahan menampung mengalirkan tumpahan air tersebut.
Proses alamiah seperti di atas sudah tidak ditemui lagi di tempat-tempat yang rutin mengalami banjir seperti Jakarta dan sekitarnya. Di daerah ini, dan beberapa daerah yang telah dan sedang diterjang banjir, hutan sebagai pencegah banjir alami, dan sejumlah manfaat besar lainnya, telah rusak parah.
Kerusakan Hutan
Kabar tentang keparahan kerusakan hutan di Tanah Air terus disebarkan hampir setiap hari. Namun, pada saat yang sama kabar itu seolah menguap begitu saja.
Pemerintah dan masyarakat menganggap berita kerusakan hutan hanya sebagai selingan yang tidak perlu diperhatikan sungguh-sungguh. Indikasinya, hampir tidak ada langkah terobosan untuk mencegah perilaku perusakan hutan, apalagi memulihkan kerusakan tersebut.
Mari kita lihat bagaimana kondisi hutan di Jawa Barat dan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) besarnya seperti Citarum, Cisadane, Cimanuk, dan Ciliwung. Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Jawa Barat memperkirakan, kawasan DAS Cimanuk yang rusak mencapai 4.500 ha dan kawasan hulu Citarum di Bandung Selatan mencapai 9.000 ha.
Sementara itu, nasib hulu DAS Cisadane dan Ciliwung tidak lebih baik, kerusakannya mencapai 7.500 ha. Kerusakan ekologis di hulu sungai di Jawa Barat tidak hanya berdampak bencana di provinsi tersebut, tapi juga menjadi faktor yang menyebabkan Jakarta dikepung banjir hampir setiap tahun.
Kerusakan DAS disebabkan beberapa faktor seperti alih fungsi lahan untuk pertanian, hunian dan industri. Tidak ada yang menyangkal pembangunan perumahan dan industri itu penting. Tapi yang perlu diperhatikan pembangunan dalam wujud apa pun harus diimbangi dengan pemeliharaan lingkungan.
Ini yang luput dari perhatian. Mengutip lagi laporan Walhi, di DAS Citarum masih ada sekitar 526 pabrik yang membuang limbah cair secara langsung, tanpa melalui pengolahan di instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Bisa dibayangkan seperti apa dampaknya jika hal demikian terus terjadi beberapa tahun mendatang.
Kondisi serupa terjadi di kawasan Puncak Bogor, yang merupakan hulu dari Ciliwung yang setiap tahunnya meluapkan banjir. Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan, kerusakan hutan di Puncak Bogor terus berlangsung hingga kini.
Dalam rentang tahun 2000 hingga 2016, demikian data FWI, pengurangan hutan di daerah Puncak mencapai 66 kali luas Kebun Raya Bogor, yaitu sekitar 5.000an ha. DAS Ciliwung yang tertutupi hutan kini hanya tersisa sekitar 9,2% dari total 39.000 ha. Padahal, tutupan hutan yang ideal, minimal harus 30%.
Apa yang Harus Dilakukan?
Bencana banjir lebih banyak disebabkan faktor manusia daripada alam. DAS yang mestinya memiliki hutan yang terjaga sebagai penyerap air hujan rusak dan hingga kini belum dipulihkan.
Dengan demikian, pengatasan banjir dan bencana terkait seperti longsor harus dilakukan secara mendasar dan perlu perencanaan jangka panjang yang matang. Menaikkan anggaran untuk badan penanggulangan bencana, pengiriman bantuan, dan membuat pemukiman bagi pengungsi di daerah-daerah rawan banjir adalah langkah yang perlu, tapi tidak cukup.
Demikian juga dengan perbaikan saluran air. Pembuatan sodetan dan pembuatan turap di sepanjang sungai bisa membantu mengalirkan air secara lancar. Namun, hal itu terbukti tidak memadai ketika limpahan air yang harus dialirkan terlalu besar, seperti yang terjadi di beberapa bulan ini.
Dalam kondisi ekologi yang sudah tidak seimbang, banjir mau tidak mau terjadi dan akan terus terjadi selama alam yang rusak itu tidak dipulihkan. Dan hal yang perlu dilakukan sebelum pemulihan itu adalah pencegahan, agar DAS yang sudah rusak tidak bertambah parah.
Karena itu, pemerintah, pusat dan daerah, harus memprioritaskan pemeliharaan ekosistem dan pengurangan risiko bencana lingkungan hidup. Alih fungsi lahan untuk permukiman dan kepentingan pembangunan harus tunduk pada penjagaan lingkungan hidup.
Pemerintah perlu tegas soal ini, mengingat bencana yang ditimbulkan oleh pembangunan yang abai masalah lingkungan sudah nyata dan berulang.
Langkah berikutnya adalah pemberian sanksi yang tegas bagi pihak yang terbukti melanggar peraturan. Pembangunan kawasan properti tanpa amdal, misalnya, harus dihentikan dan pemiliknya harus diberi sanksi tegas.
Hal ini tidak saja akan memberi efek jera pada para pelaku, tapi juga menjadi pembelajaran bagi pihak lain yang coba-coba bermain dengan masalah perizinan terkait pemeliharaan lingkungan hidup.
Sayangnya, penerapan sanksi tegas terhadap pelanggar aturan lingkungan hidup belum dijalankan secara konsisten. Di Jawa Barat, misalnya, seperti tertuang dalam catatan akhir tahun Walhi Jawa Barat 2016, kebanyakan pelanggar aturan tata ruang dan perusak lingkungan hanya diberi hukuman administratif berupa peringatan dan pembinaan; sedikit yang dilanjutkan sampai ke pengadilan.
Terakhir, bencana banjir bukan nasib dan sebab itu bisa diatasi. Banjir merupakan kejadian yang sebagian besar faktor penyebabnya bisa dikendalikan. Ini tergantung pada kesadaran, rencana, dan program yang akan dijalankan pemerintah.
(poe)