Membingkai Perang Sipil di Suriah
A
A
A
Broto Wardoyo
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
DARI sebuah demonstrasi damai terhadap rezim Bashar Al-Assad, konflik di Suriah telah tumbuh menjadi perang sipil berkepanjangan. Berbagai upaya mediasi senantiasa mengalami kegagalan. Terakhir, perundingan di Astana yang dilakukan pascatragedi kemanusiaan di Aleppo juga menemui jalan buntu.
Lebarnya gap kepentingan, bukan saja antara kubu oposisi dan rezim, namun juga antarkelompok di dalam kubu oposisi, menjadi salah satu kendala yang harus diselesaikan oleh para mediator, selain besarnya kepentingan negara-negara besar dalam konflik ini.
Salah satu dampak dari apa yang terjadi di Suriah adalah munculnya pemahaman hitam-putih, yang sering kali tidak merefleksikan apa yang terjadi di lapangan. Dalam konteks Indonesia, misalnya, isu Suriah juga berkembang menjadi bola liar, terutama karena adanya upaya untuk membingkai isu ini sebagai pertarungan antara Sunni dengan Syiah.
Sikap pemerintah yang cenderung menjaga jarak untuk tidak masuk dalam lingkaran konflik, meski tidak segan menyerukan nilai-nilai kemanusiaan, semakin memperkeruh perdebatan di publik tersebut. Salah satu contohnya adalah bagaimana penggunaan kekerasan di Aleppo yang terjadi akhir tahun lalu menimbulkan kegaduhan di dunia maya.
Setidaknya ada tiga bingkai yang berkembang dalam memahami perang sipil di Suriah. Pertama, dan salah satu yang banyak dibahas di media sosial, adalah pemahaman perang sipil di Suriah sebagai konflik antara Sunni melawan Syiah.
Keberadaan Iran dan Hizbullah yang mendukung rezim Assad menjadi salah satu alasan yang banyak dikemukakan oleh para pengusung bingkai ini. Selain itu, argumen juga dibangun dari anggapan yang mengidentifikasi Alawite, kelompok di mana klan Assad berasal, sebagai kelompok Syiah; hal yang sebenarnya tidaklah tepat.
Pemetaan aktor-aktor yang terlibat di dalam konflik ini sendiri menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Sebagai contoh, selain mendapat dukungan dari beragam kelompok minoritas yang ada di Suriah, pemerintah Assad juga didukung oleh beberapa kelompok Sunni, terutama dari kalangan aristokrat atau kelas menengah atas yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh rezim.
Aliansi dengan kelompok ini memberikan legitimasi tersendiri bagi pemerintahan rezim Assad. Sebaliknya, meski statusnya minoritas, beberapa kelompok Kurdi memilih untuk tidak memberikan dukungan pada rezim atau bahkan bergabung dengan kubu oposisi.
Sebaliknya, kubu oposisi juga bukan sebuah kelompok yang solid yang dibangun berdasarkan persamaan ideologi atau etnis tertentu. Tidak seperti kelompok-kelompok utama di kubu oposisi, bentangan kepentingan kelompok-kelompok Kurdi dimulai dari keinginan untuk merdeka atau sebatas mendapatkan otonomi yang luas. Al-Qaeda atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) juga memiliki agenda yang berbeda dengan sebagian besar kelompok di kubu oposisi.
Keberadaan berbagai kelompok yang berbeda ideologi, misi, dan kepentingan di kedua kubu tersebut menjadi salah satu alasan bagi kompleksitas perang sipil di Suriah.
Belum lagi sejarah panjang Suriah juga ditandai dengan ketegangan antarwilayah yang semakin menyulitkan upaya untuk menciptakan kategorisasi yang lebih sederhana dalam memahami konflik ini. Basis pendukung rezim ataupun kelompok oposisi, misalnya, terkonsentrasi dalam wilayah-wilayah tertentu. Jika Aleppo dikenal sebagai daerah pendukung kelompok oposisi, Latakia dikenal sebagai wilayah prorezim.
Persinggungan antara warna lokal-nasional-global dan etnis atau identitas lain di kedua kubu menjadikan bingkai pertarungan Sunni-Syiah tersebut menjadi sulit dipertanggungjawabkan. Bahkan, menyebut perang sipil di Suriah sebagai konflik sektarian pun sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Kedua, perang sipil di Suriah juga sering dipahami sebagai perang proxy. Keterlibatan negara-negara besar dalam perang sipil di Suriah memang tidak dapat dipungkiri, baik kekuatan-kekuatan global seperti Rusia dan Amerika Serikat maupun kekuatan-kekuatan regional seperti Iran, Arab Saudi, maupun Turki.
Namun, kepentingan mereka bukanlah akar dari apa yang saat ini berlangsung di Suriah meski kepentingan mereka tetap menentukan perdamaian di Suriah.
Perang sipil yang terjadi di Suriah berawal dari gerakan masyarakat yang menghendaki kebebasan sebagai bagian dari gerakan Musim Semi Arab. Keputusan pemerintah Assad yang merespons protes tersebut dengan kekerasan menjadi salah satu titik balik dalam gerakan damai tersebut.
Penggunaan kekerasan tersebut yang melahirkan kelompok-kelompok bersenjata di dalam kelompok oposisi. Dukungan terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam kelompok oposisi dari beberapa negara Arab Teluk dan dukungan dari Iran terhadap rezim Assad pada periode-periode awal perang sipil juga tidak semata disebabkan oleh ketidaksukaan pada ataupun kedekatan negara-negara tersebut dengan Assad, namun juga didorong oleh adanya pertarungan dalam politik regional yang melibatkan negara-negara tersebut.
Arab Saudi, misalnya, memiliki sejarah kompetisi yang panjang dengan Suriah dalam politik intra-Arab. Hal yang sama juga muncul dalam pertarungan regional antara Arab Saudi dan Iran, yang sudah lama dikenal sebagai kawan baik Suriah.
Keterlibatan negara-negara besar dalam perang sipil di Suriah juga tidak hanya didorong oleh kepentingan mereka terhadap negara tersebut. Rusia, misalnya, memang memiliki pangkalan militer di Tartus dan perlu meredam kelompok-kelompok radikal anti-Moskow yang beroperasi di wilayah Kaukasus.
Namun, dukungan Rusia terhadap Assad juga didasari oleh kekhawatiran akan perubahan perimbangan kekuatan di kawasan Timur Tengah, dengan semakin menguatnya pengaruh Amerika Serikat yang lebih dahulu menunjukkan keterlibatannya dalam konflik ini.
Satu hal yang pasti, hadirnya kepentingan negara-negara besar tersebut menjadikan konflik di Suriah semakin pelik. Keberadaan dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang berseberangan kepentingan di Suriah, Rusia dan Amerika Serikat, menjadikan mekanisme penyelesaian melalui PBB menjadi tidak efektif.
Melihat pada sequence tersebut, bingkai ketiga, internasionalisasi konflik, menjadi lebih bisa dimengerti. Keterlibatan asing di dalam konflik dipandang sebagai langkah untuk memenangkan pertarungan domestik.
Upaya untuk membawa konflik internal di Suriah ke wahana yang lebih luas menjadi opsi yang masuk akal yang dilakukan kubu oposisi mengingat kekuatan rezim masih sangat dominan di periode-periode awal konflik ini. Pertautan antara kelompok oposisi dengan negara-negara Arab Teluk menjadi istimewa mengingat negara-negara tersebut juga dilanda oleh gelombang Musim Semi Arab dan berhasil melewatinya dengan relatif damai.
Keunikan lain yang juga tercipta adalah keberadaan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang selama ini dikenal anti dengan Al-Qaeda maupun kelompok-kelompok radikal lain semacam ISIS dalam satu kotak oposisi.
Ketiga cara pandang tersebut memperlihatkan bahwa perang sipil di Suriah merupakan isu yang pelik. Kompleksitas tersebut berdampak pada sulitnya mencari solusi untuk mengatasi perang sipil ini. Sejauh ini, upaya untuk mencari penyelesaian jangka panjang selalu berujung dengan kegagalan.
Beberapa langkah penghentian kekerasan bisa dicapai dan dihormati meskipun dalam rentang waktu yang relatif pendek. Selain kuatnya kepentingan para pihak dan pihak-pihak luar yang terlibat di dalam perang sipil ini, relasi internal di kedua kubu juga tidaklah sehitam-putih yang dibayangkan.
Kompleksitas perang sipil di Suriah menciptakan kerumitan tersendiri bagi negara-negara lain untuk bersikap, terutama mereka yang tidak secara langsung memiliki kepentingan dengan pihak-pihak yang terlibat. Sikap yang diambil pemerintah Indonesia yang nampak tidak terlalu “aktif” dalam masalah ini pada dasarnya menunjukkan adanya kehati-hatian.
Keberpihakan kepada salah satu pihak hanya tidak akan mendorong pada penyelesaian konflik secara menyeluruh. Sikap hati-hati untuk menghindari keberpihakan politik tersebut bisa dilihat dari pilihan abstain yang diambil oleh pemerintah dalam sidang Dewan HAM PBB beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah menjelaskan bahwa pilihan tersebut diambil karena adanya ketidakseimbangan dalam draf resolusi yang merupakan langkah yang tepat. Apalagi, Indonesia juga senantiasa mengedepankan prinsip untuk tidak mencampuri urusan domestik negara lain yang juga mendasari kebijakan Indonesia di Suriah.
Dengan kompleksitas yang sedemikian rupa, kehati-hatian dalam mengambil kebijakan merupakan hal yang bijak dan bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pilihan untuk mengedepankan prinsip-prinsip umum seperti penghentian kekerasan atau intervensi kemanusiaan untuk bisa menyalurkan bantuan kepada yang membutuhkan tanpa melihat afiliasi politik mereka menjadi langkah yang lebih baik untuk diambil.
Kepentingan Indonesia dalam perang sipil di Suriah sendiri lebih terkait dengan perlindungan warga negara dan membendung dampak lanjutan dari spill-over hostility melalui keberadaan para kombatan yang kembali ke Indonesia.
Pengungkapan rencana teror beberapa waktu yang lalu harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas dengan mempertimbangkan perkembangan kelompok-kelompok radikal di Suriah yang mulai berhasil melakukan internasionalisasi konflik.
Secara politik sendiri, setidaknya ada dua opsi yang bisa diajukan untuk menyelesaikan perang sipil di Suriah. Opsi pertama adalah partisi dengan membagi wilayah Suriah ke dalam kotak-kotak tertentu berdasarkan penguasaan riil di lapangan.
Opsi kedua, yang merupakan kelanjutan dari partisi, adalah konfensionalisme. Untuk tetap menyatukan wilayah Suriah dalam satu negara, pembagian kekuatan politik berdasarkan kepemilikan saham mereka bisa dijadikan opsi.
Hanya, sejauh ada dua model penyelesaian politik semacam ini di Timur Tengah yang hasilnya bertolak belakang. Libanon menjadi contoh sukses pendekatan tersebut, meski secara konsisten didera kekerasan, sedangkan Irak menjadi contoh yang gagal.
Apa pun pilihan ke depan yang akan diambil, upaya untuk memahami kompleksitas perang sipil di Suriah dan mengambil sikap berdasarkan kepentingan nyata Indonesia dan berpijak pada prinsip-prinsip yang lebih umum dan prokemanusiaan tetap menjadi hal terbaik yang bisa dilakukan. Pengotakan yang sederhana, apalagi jika dibalut dengan sikap ideologis, hanya akan menjadikan Indonesia sebagai korban internasionalisasi konflik.
Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
DARI sebuah demonstrasi damai terhadap rezim Bashar Al-Assad, konflik di Suriah telah tumbuh menjadi perang sipil berkepanjangan. Berbagai upaya mediasi senantiasa mengalami kegagalan. Terakhir, perundingan di Astana yang dilakukan pascatragedi kemanusiaan di Aleppo juga menemui jalan buntu.
Lebarnya gap kepentingan, bukan saja antara kubu oposisi dan rezim, namun juga antarkelompok di dalam kubu oposisi, menjadi salah satu kendala yang harus diselesaikan oleh para mediator, selain besarnya kepentingan negara-negara besar dalam konflik ini.
Salah satu dampak dari apa yang terjadi di Suriah adalah munculnya pemahaman hitam-putih, yang sering kali tidak merefleksikan apa yang terjadi di lapangan. Dalam konteks Indonesia, misalnya, isu Suriah juga berkembang menjadi bola liar, terutama karena adanya upaya untuk membingkai isu ini sebagai pertarungan antara Sunni dengan Syiah.
Sikap pemerintah yang cenderung menjaga jarak untuk tidak masuk dalam lingkaran konflik, meski tidak segan menyerukan nilai-nilai kemanusiaan, semakin memperkeruh perdebatan di publik tersebut. Salah satu contohnya adalah bagaimana penggunaan kekerasan di Aleppo yang terjadi akhir tahun lalu menimbulkan kegaduhan di dunia maya.
Setidaknya ada tiga bingkai yang berkembang dalam memahami perang sipil di Suriah. Pertama, dan salah satu yang banyak dibahas di media sosial, adalah pemahaman perang sipil di Suriah sebagai konflik antara Sunni melawan Syiah.
Keberadaan Iran dan Hizbullah yang mendukung rezim Assad menjadi salah satu alasan yang banyak dikemukakan oleh para pengusung bingkai ini. Selain itu, argumen juga dibangun dari anggapan yang mengidentifikasi Alawite, kelompok di mana klan Assad berasal, sebagai kelompok Syiah; hal yang sebenarnya tidaklah tepat.
Pemetaan aktor-aktor yang terlibat di dalam konflik ini sendiri menunjukkan kompleksitas yang lebih tinggi. Sebagai contoh, selain mendapat dukungan dari beragam kelompok minoritas yang ada di Suriah, pemerintah Assad juga didukung oleh beberapa kelompok Sunni, terutama dari kalangan aristokrat atau kelas menengah atas yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh rezim.
Aliansi dengan kelompok ini memberikan legitimasi tersendiri bagi pemerintahan rezim Assad. Sebaliknya, meski statusnya minoritas, beberapa kelompok Kurdi memilih untuk tidak memberikan dukungan pada rezim atau bahkan bergabung dengan kubu oposisi.
Sebaliknya, kubu oposisi juga bukan sebuah kelompok yang solid yang dibangun berdasarkan persamaan ideologi atau etnis tertentu. Tidak seperti kelompok-kelompok utama di kubu oposisi, bentangan kepentingan kelompok-kelompok Kurdi dimulai dari keinginan untuk merdeka atau sebatas mendapatkan otonomi yang luas. Al-Qaeda atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) juga memiliki agenda yang berbeda dengan sebagian besar kelompok di kubu oposisi.
Keberadaan berbagai kelompok yang berbeda ideologi, misi, dan kepentingan di kedua kubu tersebut menjadi salah satu alasan bagi kompleksitas perang sipil di Suriah.
Belum lagi sejarah panjang Suriah juga ditandai dengan ketegangan antarwilayah yang semakin menyulitkan upaya untuk menciptakan kategorisasi yang lebih sederhana dalam memahami konflik ini. Basis pendukung rezim ataupun kelompok oposisi, misalnya, terkonsentrasi dalam wilayah-wilayah tertentu. Jika Aleppo dikenal sebagai daerah pendukung kelompok oposisi, Latakia dikenal sebagai wilayah prorezim.
Persinggungan antara warna lokal-nasional-global dan etnis atau identitas lain di kedua kubu menjadikan bingkai pertarungan Sunni-Syiah tersebut menjadi sulit dipertanggungjawabkan. Bahkan, menyebut perang sipil di Suriah sebagai konflik sektarian pun sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Kedua, perang sipil di Suriah juga sering dipahami sebagai perang proxy. Keterlibatan negara-negara besar dalam perang sipil di Suriah memang tidak dapat dipungkiri, baik kekuatan-kekuatan global seperti Rusia dan Amerika Serikat maupun kekuatan-kekuatan regional seperti Iran, Arab Saudi, maupun Turki.
Namun, kepentingan mereka bukanlah akar dari apa yang saat ini berlangsung di Suriah meski kepentingan mereka tetap menentukan perdamaian di Suriah.
Perang sipil yang terjadi di Suriah berawal dari gerakan masyarakat yang menghendaki kebebasan sebagai bagian dari gerakan Musim Semi Arab. Keputusan pemerintah Assad yang merespons protes tersebut dengan kekerasan menjadi salah satu titik balik dalam gerakan damai tersebut.
Penggunaan kekerasan tersebut yang melahirkan kelompok-kelompok bersenjata di dalam kelompok oposisi. Dukungan terhadap kelompok-kelompok yang ada di dalam kelompok oposisi dari beberapa negara Arab Teluk dan dukungan dari Iran terhadap rezim Assad pada periode-periode awal perang sipil juga tidak semata disebabkan oleh ketidaksukaan pada ataupun kedekatan negara-negara tersebut dengan Assad, namun juga didorong oleh adanya pertarungan dalam politik regional yang melibatkan negara-negara tersebut.
Arab Saudi, misalnya, memiliki sejarah kompetisi yang panjang dengan Suriah dalam politik intra-Arab. Hal yang sama juga muncul dalam pertarungan regional antara Arab Saudi dan Iran, yang sudah lama dikenal sebagai kawan baik Suriah.
Keterlibatan negara-negara besar dalam perang sipil di Suriah juga tidak hanya didorong oleh kepentingan mereka terhadap negara tersebut. Rusia, misalnya, memang memiliki pangkalan militer di Tartus dan perlu meredam kelompok-kelompok radikal anti-Moskow yang beroperasi di wilayah Kaukasus.
Namun, dukungan Rusia terhadap Assad juga didasari oleh kekhawatiran akan perubahan perimbangan kekuatan di kawasan Timur Tengah, dengan semakin menguatnya pengaruh Amerika Serikat yang lebih dahulu menunjukkan keterlibatannya dalam konflik ini.
Satu hal yang pasti, hadirnya kepentingan negara-negara besar tersebut menjadikan konflik di Suriah semakin pelik. Keberadaan dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang berseberangan kepentingan di Suriah, Rusia dan Amerika Serikat, menjadikan mekanisme penyelesaian melalui PBB menjadi tidak efektif.
Melihat pada sequence tersebut, bingkai ketiga, internasionalisasi konflik, menjadi lebih bisa dimengerti. Keterlibatan asing di dalam konflik dipandang sebagai langkah untuk memenangkan pertarungan domestik.
Upaya untuk membawa konflik internal di Suriah ke wahana yang lebih luas menjadi opsi yang masuk akal yang dilakukan kubu oposisi mengingat kekuatan rezim masih sangat dominan di periode-periode awal konflik ini. Pertautan antara kelompok oposisi dengan negara-negara Arab Teluk menjadi istimewa mengingat negara-negara tersebut juga dilanda oleh gelombang Musim Semi Arab dan berhasil melewatinya dengan relatif damai.
Keunikan lain yang juga tercipta adalah keberadaan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang selama ini dikenal anti dengan Al-Qaeda maupun kelompok-kelompok radikal lain semacam ISIS dalam satu kotak oposisi.
Ketiga cara pandang tersebut memperlihatkan bahwa perang sipil di Suriah merupakan isu yang pelik. Kompleksitas tersebut berdampak pada sulitnya mencari solusi untuk mengatasi perang sipil ini. Sejauh ini, upaya untuk mencari penyelesaian jangka panjang selalu berujung dengan kegagalan.
Beberapa langkah penghentian kekerasan bisa dicapai dan dihormati meskipun dalam rentang waktu yang relatif pendek. Selain kuatnya kepentingan para pihak dan pihak-pihak luar yang terlibat di dalam perang sipil ini, relasi internal di kedua kubu juga tidaklah sehitam-putih yang dibayangkan.
Kompleksitas perang sipil di Suriah menciptakan kerumitan tersendiri bagi negara-negara lain untuk bersikap, terutama mereka yang tidak secara langsung memiliki kepentingan dengan pihak-pihak yang terlibat. Sikap yang diambil pemerintah Indonesia yang nampak tidak terlalu “aktif” dalam masalah ini pada dasarnya menunjukkan adanya kehati-hatian.
Keberpihakan kepada salah satu pihak hanya tidak akan mendorong pada penyelesaian konflik secara menyeluruh. Sikap hati-hati untuk menghindari keberpihakan politik tersebut bisa dilihat dari pilihan abstain yang diambil oleh pemerintah dalam sidang Dewan HAM PBB beberapa waktu yang lalu.
Pemerintah menjelaskan bahwa pilihan tersebut diambil karena adanya ketidakseimbangan dalam draf resolusi yang merupakan langkah yang tepat. Apalagi, Indonesia juga senantiasa mengedepankan prinsip untuk tidak mencampuri urusan domestik negara lain yang juga mendasari kebijakan Indonesia di Suriah.
Dengan kompleksitas yang sedemikian rupa, kehati-hatian dalam mengambil kebijakan merupakan hal yang bijak dan bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pilihan untuk mengedepankan prinsip-prinsip umum seperti penghentian kekerasan atau intervensi kemanusiaan untuk bisa menyalurkan bantuan kepada yang membutuhkan tanpa melihat afiliasi politik mereka menjadi langkah yang lebih baik untuk diambil.
Kepentingan Indonesia dalam perang sipil di Suriah sendiri lebih terkait dengan perlindungan warga negara dan membendung dampak lanjutan dari spill-over hostility melalui keberadaan para kombatan yang kembali ke Indonesia.
Pengungkapan rencana teror beberapa waktu yang lalu harus dilihat dalam kerangka yang lebih luas dengan mempertimbangkan perkembangan kelompok-kelompok radikal di Suriah yang mulai berhasil melakukan internasionalisasi konflik.
Secara politik sendiri, setidaknya ada dua opsi yang bisa diajukan untuk menyelesaikan perang sipil di Suriah. Opsi pertama adalah partisi dengan membagi wilayah Suriah ke dalam kotak-kotak tertentu berdasarkan penguasaan riil di lapangan.
Opsi kedua, yang merupakan kelanjutan dari partisi, adalah konfensionalisme. Untuk tetap menyatukan wilayah Suriah dalam satu negara, pembagian kekuatan politik berdasarkan kepemilikan saham mereka bisa dijadikan opsi.
Hanya, sejauh ada dua model penyelesaian politik semacam ini di Timur Tengah yang hasilnya bertolak belakang. Libanon menjadi contoh sukses pendekatan tersebut, meski secara konsisten didera kekerasan, sedangkan Irak menjadi contoh yang gagal.
Apa pun pilihan ke depan yang akan diambil, upaya untuk memahami kompleksitas perang sipil di Suriah dan mengambil sikap berdasarkan kepentingan nyata Indonesia dan berpijak pada prinsip-prinsip yang lebih umum dan prokemanusiaan tetap menjadi hal terbaik yang bisa dilakukan. Pengotakan yang sederhana, apalagi jika dibalut dengan sikap ideologis, hanya akan menjadikan Indonesia sebagai korban internasionalisasi konflik.
(poe)