Menilai Kiprah Partai Islam
A
A
A
Biyanto
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
PENGERTIAN partai Islam dalam tulisan ini sepenuhnya merujuk pada kategori yang dibuat Saiful Mujani. Akademikus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus konsultan politik ini membagi partai Islam menjadi dua kelompok.
Pertama, partai berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas) keislaman, seperti PKB dan PAN. Kedua, partai yang menegaskan diri berplatform Islam, seperti PKS, PPP, dan PBB.
Harus diakui, sejauh ini partai-partai Islam belum menunjukkan kiprah yang menggembirakan. Bahkan, ada kecenderungan perolehan suara partai Islam dalam pemilu sepanjang era reformasi terus tergerus.
Pertanyaannya, mengapa partai Islam belum menunjukkan perkembangan signifikan? Padahal selalu dikatakan mayoritas penduduk negeri ini muslim.
Data statistik juga menunjukkan jumlah umat Islam Indonesia mencapai 87%. Umat Islam Indonesia adalah yang terbesar jumlahnya dibanding negara lain. Itu berarti partai-partai Islam sejatinya memiliki modal sosial untuk menjadi kekuatan penentu.
Realitasnya, hingga kini partai-partai Islam masih kalah dengan partai berideologi nasionalis. Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan partai Islam belum menjadi kekuatan penentu.
Faktor pertama, umat Islam yang diperebutkan suaranya oleh partai-partai Islam adalah mereka yang tergabung dalam berbagai ormas keagamaan. Polarisasi umat Islam dalam berbagai ormas keagamaan secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya penyebaran suara sehingga tidak bisa dimobilisasi untuk memilih partai Islam tertentu.
Selalu ada alasan yang bersifat emosional dan ideologis sehingga suara umat terbelah. Kebijakan multipartai juga memberi peluang umat menyalurkan aspirasi di sejumlah partai.
Faktor kedua, perjalanan sejarah umat Islam Indonesia diwarnai munculnya kecenderungan militerisasi. Dampaknya, umat mengalami trauma politik yang luar biasa karena harus berhadapan dengan kekuasaan dan militer sekaligus.
Fenomena ini dapat diamati pada awal era Orde Baru hingga pertengahan 1980-an. Pada masa itu banyak elite muslim menjadi korban politik melalui isu “komando jihad”. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya kelompok kosmopolitan di kalangan umat. Dampaknya, elite muslim tidak lagi menempatkan politik dan kekuasaan sebagai satu-satunya orientasi perjuangan.
Sebagian elite muslim mulai merambah perjuangan melalui jalur kultural. Misalnya, mengembangkan institusi pendidikan, ekonomi-bisnis, dan berbagai jenis pelayanan sosial.
Perjuangan melalui jalur kultural ternyata menunjukkan hasil yang memuaskan. Tengoklah berbagai lembaga pendidikan berkualitas yang siap mencetak generasi masa depan bangsa; lembaga ekonomi-bisnis yang mampu menjadi tumpuan dan memberdayakan potensi sosial-ekonomi umat; serta lembaga sosial seperti rumah sakit dan panti asuhan yang siap memberikan pelayanan.
Tanpa disadari, ternyata pilihan berjuang melalui jalur kultural telah menghadirkan blessing in disguise (rahmat tersembunyi). Itu karena tidak semua potensi umat tersedot untuk kepentingan politik.
Faktor ketiga, tema-tema yang diwacanakan elite partai berplatform Islam dan berbasis ormas keislaman banyak yang tidak relevan dengan persoalan riil rakyat. Tema pemberlakuan syariat Islam, khilafah, dan pembentukan negara Islam, mestinya tidak dikedepankan karena bertentangan dengan semangat merawat ideologi Pancasila dan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pandangan sebagian elite muslim sering kali juga masih bernada romantisme sejarah kejayaan umat masa silam. Padahal, problem yang dihadapi umat kini lebih banyak berkaitan dengan persoalan praktis-pragmatis.
Faktor keempat,berkaitan dengan performansi elite partai Islam. Rasanya, sudah banyak elite partai berplatform Islam dan berbasis ormas keislaman yang tidak menunjukkan karakter sebagai politisi muslim yang sesungguhnya.
Sebagian bahkan menampilkan diri sebagai ”politisi busuk” karena terlibat kasus suap, korupsi, dan perempuan. Padahal, semestinya mereka menjadi politisi berkarakter yang mampu menunjukkan satunya kata dengan perbuatan.
Saat ini terasa sangat sulit menemukan politisi muslim berkarakter layaknya M Natsir (Masyumi). Natsir pernah dengan tegas menolak bergabung dalam kabinet pemerintahan Mr Ali Sastroamijoyo (PNI) pada masa demokrasi liberal karena merasa ada perbedaan prinsipiil dengan kebijakan pemerintah.
Coba bandingkan keteguhan Natsir dengan sikap politik yang ditunjukkan elite partai Islam sekarang. Mereka yang pada saat kampanye menjanjikan akan memperjuangkan sesuatu yang dipandang ideal menurut ajaran Islam ternyata tunduk pada proses tawar-menawar politik.
Sebagian politisi muslim juga tampak ragu dalam menentukan sikap terhadap pemerintah. Terkadang mereka ingin memosisikan diri sebagai oposisi kritis. Sementara pada saat bersamaan mereka juga berkeinginan untuk menjadi bagian dari kekuasaan.
Sikap mendua ini jelas menunjukkan buruknya performansi elite partai Islam. Dengan bersikap seperti ini berarti mereka sejatinya telah kehilangan idealisme dalam berpolitik.
Pertanyaannya, dengan realitas seperti itu bisakah partai-partai Islam memperluas basis konstituennya sehingga menjadi partai besar? Dengan begitu, berarti ada peluang partai Islam menjadi kekuatan yang menentukan proses-proses politik di negeri ini?
Termasuk yang terdekat adalah pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Jawabnya tentu berpulang pada elite partai, legislator, dan eksekutif dari partai-partai Islam.
Mampukah mereka memperbaiki citranya dari politisi yang hanya berorientasi politik-kekuasaan menjadi politisi berkarakter?
Untuk menjadi partai besar, elite partai Islam juga harus mengubah tema yang selama ini diwacanakan. Tema yang menonjolkan simbol-simbol keagamaan sudah saatnya diganti karena bisa memicu resistensi kelompok masyarakat lain.
Elite muslim juga harus terlibat aktif dalam proses pembumian wajah Islam yang moderat, inklusif, dan pluralis. Langkah ini penting karena sejalan dengan semangat semua elemen untuk merawat kebinekaan di tengah kehidupan yang majemuk.
Terakhir, yang juga tidak kalah penting adalah elite partai Islam harus mengusung persoalan sosial, ekonomi, dan program riil yang bermanfaat bagi umat. Jika beberapa strategi ini dilakukan, maka peluang partai Islam menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam percaturan politik nasional masih terbuka lebar.
Dosen UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim
PENGERTIAN partai Islam dalam tulisan ini sepenuhnya merujuk pada kategori yang dibuat Saiful Mujani. Akademikus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus konsultan politik ini membagi partai Islam menjadi dua kelompok.
Pertama, partai berbasis organisasi kemasyarakatan (ormas) keislaman, seperti PKB dan PAN. Kedua, partai yang menegaskan diri berplatform Islam, seperti PKS, PPP, dan PBB.
Harus diakui, sejauh ini partai-partai Islam belum menunjukkan kiprah yang menggembirakan. Bahkan, ada kecenderungan perolehan suara partai Islam dalam pemilu sepanjang era reformasi terus tergerus.
Pertanyaannya, mengapa partai Islam belum menunjukkan perkembangan signifikan? Padahal selalu dikatakan mayoritas penduduk negeri ini muslim.
Data statistik juga menunjukkan jumlah umat Islam Indonesia mencapai 87%. Umat Islam Indonesia adalah yang terbesar jumlahnya dibanding negara lain. Itu berarti partai-partai Islam sejatinya memiliki modal sosial untuk menjadi kekuatan penentu.
Realitasnya, hingga kini partai-partai Islam masih kalah dengan partai berideologi nasionalis. Setidaknya ada empat faktor yang menyebabkan partai Islam belum menjadi kekuatan penentu.
Faktor pertama, umat Islam yang diperebutkan suaranya oleh partai-partai Islam adalah mereka yang tergabung dalam berbagai ormas keagamaan. Polarisasi umat Islam dalam berbagai ormas keagamaan secara tidak langsung mengakibatkan terjadinya penyebaran suara sehingga tidak bisa dimobilisasi untuk memilih partai Islam tertentu.
Selalu ada alasan yang bersifat emosional dan ideologis sehingga suara umat terbelah. Kebijakan multipartai juga memberi peluang umat menyalurkan aspirasi di sejumlah partai.
Faktor kedua, perjalanan sejarah umat Islam Indonesia diwarnai munculnya kecenderungan militerisasi. Dampaknya, umat mengalami trauma politik yang luar biasa karena harus berhadapan dengan kekuasaan dan militer sekaligus.
Fenomena ini dapat diamati pada awal era Orde Baru hingga pertengahan 1980-an. Pada masa itu banyak elite muslim menjadi korban politik melalui isu “komando jihad”. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya kelompok kosmopolitan di kalangan umat. Dampaknya, elite muslim tidak lagi menempatkan politik dan kekuasaan sebagai satu-satunya orientasi perjuangan.
Sebagian elite muslim mulai merambah perjuangan melalui jalur kultural. Misalnya, mengembangkan institusi pendidikan, ekonomi-bisnis, dan berbagai jenis pelayanan sosial.
Perjuangan melalui jalur kultural ternyata menunjukkan hasil yang memuaskan. Tengoklah berbagai lembaga pendidikan berkualitas yang siap mencetak generasi masa depan bangsa; lembaga ekonomi-bisnis yang mampu menjadi tumpuan dan memberdayakan potensi sosial-ekonomi umat; serta lembaga sosial seperti rumah sakit dan panti asuhan yang siap memberikan pelayanan.
Tanpa disadari, ternyata pilihan berjuang melalui jalur kultural telah menghadirkan blessing in disguise (rahmat tersembunyi). Itu karena tidak semua potensi umat tersedot untuk kepentingan politik.
Faktor ketiga, tema-tema yang diwacanakan elite partai berplatform Islam dan berbasis ormas keislaman banyak yang tidak relevan dengan persoalan riil rakyat. Tema pemberlakuan syariat Islam, khilafah, dan pembentukan negara Islam, mestinya tidak dikedepankan karena bertentangan dengan semangat merawat ideologi Pancasila dan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pandangan sebagian elite muslim sering kali juga masih bernada romantisme sejarah kejayaan umat masa silam. Padahal, problem yang dihadapi umat kini lebih banyak berkaitan dengan persoalan praktis-pragmatis.
Faktor keempat,berkaitan dengan performansi elite partai Islam. Rasanya, sudah banyak elite partai berplatform Islam dan berbasis ormas keislaman yang tidak menunjukkan karakter sebagai politisi muslim yang sesungguhnya.
Sebagian bahkan menampilkan diri sebagai ”politisi busuk” karena terlibat kasus suap, korupsi, dan perempuan. Padahal, semestinya mereka menjadi politisi berkarakter yang mampu menunjukkan satunya kata dengan perbuatan.
Saat ini terasa sangat sulit menemukan politisi muslim berkarakter layaknya M Natsir (Masyumi). Natsir pernah dengan tegas menolak bergabung dalam kabinet pemerintahan Mr Ali Sastroamijoyo (PNI) pada masa demokrasi liberal karena merasa ada perbedaan prinsipiil dengan kebijakan pemerintah.
Coba bandingkan keteguhan Natsir dengan sikap politik yang ditunjukkan elite partai Islam sekarang. Mereka yang pada saat kampanye menjanjikan akan memperjuangkan sesuatu yang dipandang ideal menurut ajaran Islam ternyata tunduk pada proses tawar-menawar politik.
Sebagian politisi muslim juga tampak ragu dalam menentukan sikap terhadap pemerintah. Terkadang mereka ingin memosisikan diri sebagai oposisi kritis. Sementara pada saat bersamaan mereka juga berkeinginan untuk menjadi bagian dari kekuasaan.
Sikap mendua ini jelas menunjukkan buruknya performansi elite partai Islam. Dengan bersikap seperti ini berarti mereka sejatinya telah kehilangan idealisme dalam berpolitik.
Pertanyaannya, dengan realitas seperti itu bisakah partai-partai Islam memperluas basis konstituennya sehingga menjadi partai besar? Dengan begitu, berarti ada peluang partai Islam menjadi kekuatan yang menentukan proses-proses politik di negeri ini?
Termasuk yang terdekat adalah pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Jawabnya tentu berpulang pada elite partai, legislator, dan eksekutif dari partai-partai Islam.
Mampukah mereka memperbaiki citranya dari politisi yang hanya berorientasi politik-kekuasaan menjadi politisi berkarakter?
Untuk menjadi partai besar, elite partai Islam juga harus mengubah tema yang selama ini diwacanakan. Tema yang menonjolkan simbol-simbol keagamaan sudah saatnya diganti karena bisa memicu resistensi kelompok masyarakat lain.
Elite muslim juga harus terlibat aktif dalam proses pembumian wajah Islam yang moderat, inklusif, dan pluralis. Langkah ini penting karena sejalan dengan semangat semua elemen untuk merawat kebinekaan di tengah kehidupan yang majemuk.
Terakhir, yang juga tidak kalah penting adalah elite partai Islam harus mengusung persoalan sosial, ekonomi, dan program riil yang bermanfaat bagi umat. Jika beberapa strategi ini dilakukan, maka peluang partai Islam menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam percaturan politik nasional masih terbuka lebar.
(poe)