Pendidikan Seks Anak & Urgensi UU Sistem Perbukuan
A
A
A
Dr Budiharjo, MSi
Mantan Komisioner KPAI, Pemerhati Anak dan Wakil Dekan II FISIP Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta
PERLINDUNGAN anak menjadi sesuatu yang luas dan memiliki irisan dengan banyak hal. Salah satunya adalah pornografi yang menjadi salah satu bidang (kluster) perlindungan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
Pada prinsipnya, seks bukanlah sesuatu yang tidak boleh dibicarakan, termasuk oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Justru salah satu cara melindungi anak dan remaja dari pengetahuan tentang seks yang menyesatkan adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas yang benar.
Pendidikan seksualitas yang benar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang organ-organ seksual atau organ-organ reproduksi manusia, bagaimana cara kerjanya, dan dampaknya bila disalahgunakan.
Biasanya seseorang, terutama remaja, setelah memperoleh pendidikan seks yang benar akan cenderung menjaga kehormatannya dan berhati-hati dalam bergaul. Kekhawatirannya akan terjadi kehamilan di luar nikah, terinfeksi penyakit menular seksual, atau bahkan HIV/AIDS, adalah faktor antara lain yang menjadi bahan pertimbangan.
Ironisnya, banyak kalangan yang tidak mampu membedakan antara pendidikan seksualitas dengan pornografi meski objek pembicaraan sama, yakni organ reproduksi. Pada pendidikan seksualitas, organ reproduksi diutarakan dengan menyajikan pertimbangan-pertimbangan atau konsekuensi bila terjadi hubungan seks.
Adapun pada pornografi, organ reproduksi dieksploitasi sedemikian rupa tanpa peringatan akan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Buku menjadi instrumen pendidikan seksualitas terhadap para pelajar yang notabene masuk dalam objek penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam praktiknya, materi ajar yang sarat dengan gambar vulgar kemudian diklaim sebagai bagian dari pendidikan seks.
Ini menjadi problem pendidikan di usia anak karena dalam beberapa tahun belakangan, masyarakat dikagetkan dengan materi pendidikan seks yang tidak ramah anak. Problem semakin rumit karena materi pendidikan itu dimuat dan disebarluaskan melalui buku-buku pendidikan di sekolah.
Dengan kondisi yang demikian, dibutuhkan kehadiran negara dengan mengesahkan RUU Sistem Perbukuan, khususnya yang berkaitan dengan materi pendidikan seksual bagi anak.
Dalam RUU Sistem Perbukuan yang saat ini masih digodok, ada dua hal penting, pertama, menghasilkan buku bermutu yang mampu mencerdaskan dan membangun integritas kehidupan bangsa; kedua, memperkuat rasa cinta tanah air dan terbangunnya karakter bangsa berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Dengan adanya sistem perbukuan yang benar, penulis dan penerbit memiliki rambu-rambu yang jelas tentang mana yang boleh dan tidak, berkaitan dengan konten yang akan disuguhkan kepada masyarakat.
Perbedaan antara pendidikan seksual dengan pornografi menjadi jelas. Masyarakat mendapat perlindungan dari konten buku yang sangat tidak layak anak, yang mengajarkan seksualitas tidak tepat dan mendorong permisivitas terhadap seks menyimpang.
Dan yang paling penting, industri pornografi harus senantiasa diwaspadai, jangan sampai dia berubah wujud melalui buku-buku ajar yang sebenarnya di dalamnya ada ideologi liberalisme yang berbahaya. Tujuannya adalah merusak generasi agar semakin rabun dengan nilai-nilai kesusilaan dan agama.
Kewaspadaan harus ditingkatkan karena pornografi kemudian diliterasi oleh kekuatan teknologi dengan mengemasnya ke dalam bentuk apa pun, termasuk buku. Selain itu kekuatan tersebut menjadikannya suatu bentuk industri baru, melalui penerbit buku dan para penulisnya.
Pornografi, yang dikemas dengan pendidikan seksual, diproduksi dalam ragam bentuk yang menjangkau segala lapisan masyarakat, khususnya remaja dan anak. Semua pihak memahami bahwa pornografi adalah racun dengan residu yang kemudian harus mendapatkan perhatian semua pihak agar membendung anak-anak kita dari ideologi porno yang berbahaya bagi bangsa dan negara.
Negara telah memiliki landasan untuk melindungi anak dari segala ancaman kekerasan seksual. UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan negara menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah pun merasa perlu menambahkan ketentuan perlindungan anak dalam Inpres Nomor 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Anak (GN AKSA). Tujuannya adalah agar terjadi pengarusutamaan (mainstreaming) perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Hal ini kemudian juga diperkuat ketika Presiden Jokowi kemudian melahirkan Peraturan Perundang-undangan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun itu semua masih harus ditambah dengan peran serta keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama hadir memberi perlindungan optimal terhadap anak. Materi pendidikan seksual yang tidak tepat akan membuka peluang lebar bagi anak untuk menjadi korban pelecehan seksual.
Pornografi menjadi katalisis sekaligus bahan bakar mental bagi anak untuk menjadi pelaku pelecehan seksual sesamanya. Jika ini terjadi, paedofil dan predator seksual anak akan menggunakan materi tersebut dengan dalih pendidikan seksual.
Bukan tidak mungkin, mereka akan memperlihatkan bagian-bagian vital seksual kepada anak dan menanamkan pikiran bahwa anak juga bisa meniru yang demikian.
Bahaya lain adalah dengan mengganggu dan mengacaukan identitas kelamin. Pria dipandang sebagai pribadi yang mendapat kepuasan seksual dan perempuan sebagai objek sensasinya. Gambaran yang salah inilah yang ditangkap oleh anak dan jika dibiarkan akan mengganggu perkembangan psikologis mereka.
Pendidikan seksual yang tidak tepat akan mendorong anak untuk menjadi pelaku kekerasan seksual. Dalam hal ini anak bisa menjadi pelaku dan melakukannya dengan teman-temannya.
Ini sangat berbahaya secara fisik dan dampaknya terlihat pula secara fisik. Dampaknya adalah mencakup kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular hubungan seksual hingga ketergantungan seks.
Pendidikan seks bukanlah memperagakan hubungan seks, menjelaskan bagaimana hubungan itu dilakukan, atau memperlihatkan materi (film/gambar/audio) porno kepada anak. Sama sekali bukan.
Walau demikian, memang ada jenis pendidikan di negara maju yang sudah berani menggunakan alat-alat peraga seperti film atau buku. Namun, untuk di Indonesia, yang notabene negara timur dengan asasnya yang mengangkat tinggi norma agama dan kesusilaan, cara demikian dianggap menyimpang dan salah.
Oleh sebab itu, kehadiran guru atau orang tua untuk membimbing anak mutlak dibutuhkan. Mereka bisa mendampingi anak untuk mendapatkan penjelasan tentang organ intim yang mulai berkembang dan sebagainya.
Mantan Komisioner KPAI, Pemerhati Anak dan Wakil Dekan II FISIP Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) Jakarta
PERLINDUNGAN anak menjadi sesuatu yang luas dan memiliki irisan dengan banyak hal. Salah satunya adalah pornografi yang menjadi salah satu bidang (kluster) perlindungan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak.
Pada prinsipnya, seks bukanlah sesuatu yang tidak boleh dibicarakan, termasuk oleh mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Justru salah satu cara melindungi anak dan remaja dari pengetahuan tentang seks yang menyesatkan adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas yang benar.
Pendidikan seksualitas yang benar adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang organ-organ seksual atau organ-organ reproduksi manusia, bagaimana cara kerjanya, dan dampaknya bila disalahgunakan.
Biasanya seseorang, terutama remaja, setelah memperoleh pendidikan seks yang benar akan cenderung menjaga kehormatannya dan berhati-hati dalam bergaul. Kekhawatirannya akan terjadi kehamilan di luar nikah, terinfeksi penyakit menular seksual, atau bahkan HIV/AIDS, adalah faktor antara lain yang menjadi bahan pertimbangan.
Ironisnya, banyak kalangan yang tidak mampu membedakan antara pendidikan seksualitas dengan pornografi meski objek pembicaraan sama, yakni organ reproduksi. Pada pendidikan seksualitas, organ reproduksi diutarakan dengan menyajikan pertimbangan-pertimbangan atau konsekuensi bila terjadi hubungan seks.
Adapun pada pornografi, organ reproduksi dieksploitasi sedemikian rupa tanpa peringatan akan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Buku menjadi instrumen pendidikan seksualitas terhadap para pelajar yang notabene masuk dalam objek penyelenggaraan perlindungan anak. Dalam praktiknya, materi ajar yang sarat dengan gambar vulgar kemudian diklaim sebagai bagian dari pendidikan seks.
Ini menjadi problem pendidikan di usia anak karena dalam beberapa tahun belakangan, masyarakat dikagetkan dengan materi pendidikan seks yang tidak ramah anak. Problem semakin rumit karena materi pendidikan itu dimuat dan disebarluaskan melalui buku-buku pendidikan di sekolah.
Dengan kondisi yang demikian, dibutuhkan kehadiran negara dengan mengesahkan RUU Sistem Perbukuan, khususnya yang berkaitan dengan materi pendidikan seksual bagi anak.
Dalam RUU Sistem Perbukuan yang saat ini masih digodok, ada dua hal penting, pertama, menghasilkan buku bermutu yang mampu mencerdaskan dan membangun integritas kehidupan bangsa; kedua, memperkuat rasa cinta tanah air dan terbangunnya karakter bangsa berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila.
Dengan adanya sistem perbukuan yang benar, penulis dan penerbit memiliki rambu-rambu yang jelas tentang mana yang boleh dan tidak, berkaitan dengan konten yang akan disuguhkan kepada masyarakat.
Perbedaan antara pendidikan seksual dengan pornografi menjadi jelas. Masyarakat mendapat perlindungan dari konten buku yang sangat tidak layak anak, yang mengajarkan seksualitas tidak tepat dan mendorong permisivitas terhadap seks menyimpang.
Dan yang paling penting, industri pornografi harus senantiasa diwaspadai, jangan sampai dia berubah wujud melalui buku-buku ajar yang sebenarnya di dalamnya ada ideologi liberalisme yang berbahaya. Tujuannya adalah merusak generasi agar semakin rabun dengan nilai-nilai kesusilaan dan agama.
Kewaspadaan harus ditingkatkan karena pornografi kemudian diliterasi oleh kekuatan teknologi dengan mengemasnya ke dalam bentuk apa pun, termasuk buku. Selain itu kekuatan tersebut menjadikannya suatu bentuk industri baru, melalui penerbit buku dan para penulisnya.
Pornografi, yang dikemas dengan pendidikan seksual, diproduksi dalam ragam bentuk yang menjangkau segala lapisan masyarakat, khususnya remaja dan anak. Semua pihak memahami bahwa pornografi adalah racun dengan residu yang kemudian harus mendapatkan perhatian semua pihak agar membendung anak-anak kita dari ideologi porno yang berbahaya bagi bangsa dan negara.
Negara telah memiliki landasan untuk melindungi anak dari segala ancaman kekerasan seksual. UU Nomor 35/2014 tentang Perlindungan Anak menegaskan negara menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah pun merasa perlu menambahkan ketentuan perlindungan anak dalam Inpres Nomor 5/2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kekerasan Seksual Anak (GN AKSA). Tujuannya adalah agar terjadi pengarusutamaan (mainstreaming) perlindungan anak dari kekerasan seksual.
Hal ini kemudian juga diperkuat ketika Presiden Jokowi kemudian melahirkan Peraturan Perundang-undangan Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Namun itu semua masih harus ditambah dengan peran serta keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama hadir memberi perlindungan optimal terhadap anak. Materi pendidikan seksual yang tidak tepat akan membuka peluang lebar bagi anak untuk menjadi korban pelecehan seksual.
Pornografi menjadi katalisis sekaligus bahan bakar mental bagi anak untuk menjadi pelaku pelecehan seksual sesamanya. Jika ini terjadi, paedofil dan predator seksual anak akan menggunakan materi tersebut dengan dalih pendidikan seksual.
Bukan tidak mungkin, mereka akan memperlihatkan bagian-bagian vital seksual kepada anak dan menanamkan pikiran bahwa anak juga bisa meniru yang demikian.
Bahaya lain adalah dengan mengganggu dan mengacaukan identitas kelamin. Pria dipandang sebagai pribadi yang mendapat kepuasan seksual dan perempuan sebagai objek sensasinya. Gambaran yang salah inilah yang ditangkap oleh anak dan jika dibiarkan akan mengganggu perkembangan psikologis mereka.
Pendidikan seksual yang tidak tepat akan mendorong anak untuk menjadi pelaku kekerasan seksual. Dalam hal ini anak bisa menjadi pelaku dan melakukannya dengan teman-temannya.
Ini sangat berbahaya secara fisik dan dampaknya terlihat pula secara fisik. Dampaknya adalah mencakup kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular hubungan seksual hingga ketergantungan seks.
Pendidikan seks bukanlah memperagakan hubungan seks, menjelaskan bagaimana hubungan itu dilakukan, atau memperlihatkan materi (film/gambar/audio) porno kepada anak. Sama sekali bukan.
Walau demikian, memang ada jenis pendidikan di negara maju yang sudah berani menggunakan alat-alat peraga seperti film atau buku. Namun, untuk di Indonesia, yang notabene negara timur dengan asasnya yang mengangkat tinggi norma agama dan kesusilaan, cara demikian dianggap menyimpang dan salah.
Oleh sebab itu, kehadiran guru atau orang tua untuk membimbing anak mutlak dibutuhkan. Mereka bisa mendampingi anak untuk mendapatkan penjelasan tentang organ intim yang mulai berkembang dan sebagainya.
(poe)