Muhammadiyah yang Menggembirakan
A
A
A
Abd Rohim Ghazali
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina
Peneliti Senior The Indonesian Institute
INI tentang Muhammadiyah yang akan/sedang menggelar Sidang Tanwir (semacam Rapat Kerja Nasional) 24-26 di Ambon. Bagi organisasi Islam yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka ini, tanwir merupakan momentum pencerahan, sesuai namanya "tanwir" yang berarti pencerahan.
Apa yang perlu dicerahkan pada tanwir kali ini? Menurut saya yang paling urgen adalah tentang penegasan jati diri Muhammadiyah di tengah hiruk-pikuk politik, terutama yang melibatkan tokoh-tokoh Islam, baik yang berkhidmat di arena politik praktis maupun di arena keumatan yang lebih luas.
Sejak kasus penistaan agama yang melilit Basuki Tjahaja Purnama yang direspons sebagian umat Islam dengan gelombang demonstrasi 411, 212, dan seterusnya, banyak di antara aktivis Muhammadiyah yang ikut larut dalam irama gerakan itu, dan cenderung defensif dalam merespons kritik yang dilontarkan terhadap Islam dan para ulama.
Padahal kalau kita cermati betul-betul sejarah gerakan Muhammadiyah, tata cara merespons kritik semacam itu bukan bagian dari watak Muhammadiyah. Sejak era KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah lebih cenderung mengembangkan tradisi Islam yang menggembirakan dan terbuka terhadap kritik, bahkan terhadap “penistaan” berupa tuduhan fasik, kafir, dan yang sejenisnya.
Terhadap tuduhan seperti itu, Muhammadiyah meresponsnya bukan dengan serangan balik, tapi dengan langkah-langkah konkret melalui pengembangan lembaga pendidikan, rumah sakit, balai pengobatan, dan panti-panti sosial inklusif yang terbuka bagi semua orang yang membutuhkan tanpa pandang suku, agama, ras, atau golongan.
Muhammadiyah berupaya menjadikan Islam sebagai agama yang bisa menggembirakan semua orang, bisa memberikan pertolongan semua kalangan. Maka untuk orang-orang yang ikut hadir dan menyaksikan acara-acara yang diselenggarakan Muhammadiyah, disebutnya bukan sebagai tamu atau peninjau, tapi sebagai penggembira: penggembira muktamar, tanwir (rakernas), dan sebagainya.
Bukan Tukang Kutuk
Dalam mengembangkan ajaran Islam, Muhammadiyah tidak menjadikan agama sebagai alat untuk mengutuk, tapi untuk memberi petunjuk. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. “Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai tukang kutuk, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.”
Selain itu, Muhammadiyah juga mengembangkan ajaran Islam yang memudahkan, bukan menyulitkan. Islam yang menggembirakan, bukan yang menakutkan. Pedomannya adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan Nasa’i dari Anas: “Permudahlah, jangan mempersulit. Gembirakanlah, jangan membuat orang lari.”
Atau Alquran surat Ali Imran ayat 159 yang menekankan perlunya bersikap lemah lembut terhadap mereka (yang belum memahami, belum mau menerima Islam) dan tidak bersikap keras dan kasar, karena yang demikian itu akan membuat mereka lari dari sisimu.
Atau titah Rasulullah SAW untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengan cara bijaksana, dengan tutur kata dan nasihat-nasihat yang baik, dan jika (terpaksa harus berdebat), berdebat dengan baik dan sopan.
Dalam buku “Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan” disebutkan bahwa Kiai Dahlan memberi nasihat agar setiap warga Muhammadiyah mengikuti khitahnya. Adapun khitah Kiai Dahlan yaitu: (a) tidak menduakan Muhammadiyah dengan organisasi lain; (b) tidak dendam, tidak marah, dan tidak sakit hati jika dicela dan dikritik; (c) tidak sombong dan tidak berbesar hati jika menerima pujian; (d) tidak jubria (ujub, kibir, dan riya); (e) mengorbankan harta benda, pikiran dan tenaga dengan hati ikhlas dan murni; dan (f) bersungguh-sungguh hati dalam pendirian (Anshory Ch, 2010).
Banyak Bekerja
Selain tidak mengutuk, tidak mudah marah, dan dendam, Muhammadiyah juga menganjurkan pada segenap warganya untuk banyak bekerja. Mengenai prinsip banyak bekerja ini, Presiden Sukarno pernah dengan lantang mengatakan:
“Dengan sedikit bicara banyak bekerja, Muhammadiyah telah memodernisasi cara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh tanah air Indonesia mulai Sabang sampai Merauke telah berdiri cabang-cabang dan ranting-rantingnya. Selaku orang yang pernah berkecimpung dalam lingkungan Muhammadiyah, saya ingin berpesan kepada saudara-saudara, supaya selalu berpegang teguh pada moto ‘banyak bekerja’. inilah sebab Muhammadiyah berkumandang dan menjadi besar.”
Di mata para peneliti tentang Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan merupakan sosok “man of action”. Yang diwariskan kepada para penerusnya bukan setumpuk buku karangan, melainkan amal usaha berupa lembaga-lembaga pendidikan, balai pengobatan, dan panti asuhan untuk anak-anak yatim dan pria-wanita lanjut usia.
Akan tetapi, prinsip yang lebih menekankan pada kerja-kerja praktis ini bukan tanpa kritik. Menurut Kuntowijoyo (1991: 270), Muhammadiyah seperti pohon yang menghasilkan buah bergizi tetapi tanpa bunga dan rasa. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal dan organisatoris.
Dalam khazanah perkembangan pemikiran Islam, harus diakui, Muhammadiyah kurang banyak mewarnai diskursus yang bisa memperkaya pemikiran keagamaan generasi mendatang. Ya, memang begitulah Muhammadiyah, oleh pendirinya, KH Ahmad Dahlan, dimaksudkan bukan untuk membuat dahi orang berkerut, tapi untuk menjaga agar bisa membuat orang senantiasa bergembira.
Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina
Peneliti Senior The Indonesian Institute
INI tentang Muhammadiyah yang akan/sedang menggelar Sidang Tanwir (semacam Rapat Kerja Nasional) 24-26 di Ambon. Bagi organisasi Islam yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka ini, tanwir merupakan momentum pencerahan, sesuai namanya "tanwir" yang berarti pencerahan.
Apa yang perlu dicerahkan pada tanwir kali ini? Menurut saya yang paling urgen adalah tentang penegasan jati diri Muhammadiyah di tengah hiruk-pikuk politik, terutama yang melibatkan tokoh-tokoh Islam, baik yang berkhidmat di arena politik praktis maupun di arena keumatan yang lebih luas.
Sejak kasus penistaan agama yang melilit Basuki Tjahaja Purnama yang direspons sebagian umat Islam dengan gelombang demonstrasi 411, 212, dan seterusnya, banyak di antara aktivis Muhammadiyah yang ikut larut dalam irama gerakan itu, dan cenderung defensif dalam merespons kritik yang dilontarkan terhadap Islam dan para ulama.
Padahal kalau kita cermati betul-betul sejarah gerakan Muhammadiyah, tata cara merespons kritik semacam itu bukan bagian dari watak Muhammadiyah. Sejak era KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah lebih cenderung mengembangkan tradisi Islam yang menggembirakan dan terbuka terhadap kritik, bahkan terhadap “penistaan” berupa tuduhan fasik, kafir, dan yang sejenisnya.
Terhadap tuduhan seperti itu, Muhammadiyah meresponsnya bukan dengan serangan balik, tapi dengan langkah-langkah konkret melalui pengembangan lembaga pendidikan, rumah sakit, balai pengobatan, dan panti-panti sosial inklusif yang terbuka bagi semua orang yang membutuhkan tanpa pandang suku, agama, ras, atau golongan.
Muhammadiyah berupaya menjadikan Islam sebagai agama yang bisa menggembirakan semua orang, bisa memberikan pertolongan semua kalangan. Maka untuk orang-orang yang ikut hadir dan menyaksikan acara-acara yang diselenggarakan Muhammadiyah, disebutnya bukan sebagai tamu atau peninjau, tapi sebagai penggembira: penggembira muktamar, tanwir (rakernas), dan sebagainya.
Bukan Tukang Kutuk
Dalam mengembangkan ajaran Islam, Muhammadiyah tidak menjadikan agama sebagai alat untuk mengutuk, tapi untuk memberi petunjuk. Hal ini sejalan dengan Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah. “Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai tukang kutuk, tetapi aku diutus sebagai pembawa rahmat.”
Selain itu, Muhammadiyah juga mengembangkan ajaran Islam yang memudahkan, bukan menyulitkan. Islam yang menggembirakan, bukan yang menakutkan. Pedomannya adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari, Muslim, dan Nasa’i dari Anas: “Permudahlah, jangan mempersulit. Gembirakanlah, jangan membuat orang lari.”
Atau Alquran surat Ali Imran ayat 159 yang menekankan perlunya bersikap lemah lembut terhadap mereka (yang belum memahami, belum mau menerima Islam) dan tidak bersikap keras dan kasar, karena yang demikian itu akan membuat mereka lari dari sisimu.
Atau titah Rasulullah SAW untuk mengajak orang lain ke jalan Allah dengan cara bijaksana, dengan tutur kata dan nasihat-nasihat yang baik, dan jika (terpaksa harus berdebat), berdebat dengan baik dan sopan.
Dalam buku “Rekam Jejak KH Ahmad Dahlan” disebutkan bahwa Kiai Dahlan memberi nasihat agar setiap warga Muhammadiyah mengikuti khitahnya. Adapun khitah Kiai Dahlan yaitu: (a) tidak menduakan Muhammadiyah dengan organisasi lain; (b) tidak dendam, tidak marah, dan tidak sakit hati jika dicela dan dikritik; (c) tidak sombong dan tidak berbesar hati jika menerima pujian; (d) tidak jubria (ujub, kibir, dan riya); (e) mengorbankan harta benda, pikiran dan tenaga dengan hati ikhlas dan murni; dan (f) bersungguh-sungguh hati dalam pendirian (Anshory Ch, 2010).
Banyak Bekerja
Selain tidak mengutuk, tidak mudah marah, dan dendam, Muhammadiyah juga menganjurkan pada segenap warganya untuk banyak bekerja. Mengenai prinsip banyak bekerja ini, Presiden Sukarno pernah dengan lantang mengatakan:
“Dengan sedikit bicara banyak bekerja, Muhammadiyah telah memodernisasi cara mengembangkan Islam, sehingga di seluruh tanah air Indonesia mulai Sabang sampai Merauke telah berdiri cabang-cabang dan ranting-rantingnya. Selaku orang yang pernah berkecimpung dalam lingkungan Muhammadiyah, saya ingin berpesan kepada saudara-saudara, supaya selalu berpegang teguh pada moto ‘banyak bekerja’. inilah sebab Muhammadiyah berkumandang dan menjadi besar.”
Di mata para peneliti tentang Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan merupakan sosok “man of action”. Yang diwariskan kepada para penerusnya bukan setumpuk buku karangan, melainkan amal usaha berupa lembaga-lembaga pendidikan, balai pengobatan, dan panti asuhan untuk anak-anak yatim dan pria-wanita lanjut usia.
Akan tetapi, prinsip yang lebih menekankan pada kerja-kerja praktis ini bukan tanpa kritik. Menurut Kuntowijoyo (1991: 270), Muhammadiyah seperti pohon yang menghasilkan buah bergizi tetapi tanpa bunga dan rasa. Seolah-olah hidup ini hanya dapat dibereskan secara teknis formal dan organisatoris.
Dalam khazanah perkembangan pemikiran Islam, harus diakui, Muhammadiyah kurang banyak mewarnai diskursus yang bisa memperkaya pemikiran keagamaan generasi mendatang. Ya, memang begitulah Muhammadiyah, oleh pendirinya, KH Ahmad Dahlan, dimaksudkan bukan untuk membuat dahi orang berkerut, tapi untuk menjaga agar bisa membuat orang senantiasa bergembira.
(poe)