Demokrasi Kebablasan
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
ADALAH wajar jika kemudian timbul kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat tentang masa depan Indonesia ketika Presiden Jokowi, tiga hari yang lalu, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah kebablasen.
Kebablasen atau yang bakunya “kebablasan” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti berlebihan atau melampaui batas yang wajar. Kekhawatiran itu timbul karena jika Presiden yang mengatakan itu secara terbuka, artinya ada, minimal, dua kemungkinan.
Pertama, demokrasi di Indonesia mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang “bersatu dalam keberagaman” karena di kalangan masyarakat sudah cenderung anarkistis, keluar dari batas-batas wajar melalui kebebasan yang agak brutal sehingga, demi keselamatan negara dan bangsa, harus segera diatasi.
Kedua, pernyataan Presiden itu juga bisa ditafsirkan sebagai isyarat akan ada pembatasan-pembatasan kembali atau tindakan-tindakan represif atas semua penggunaan hak-hak konstitusional yang menggunakan kendaraan demokrasi yang, katanya, kebablasen itu.
Sebenarnya ungkapan “demokrasi kebablasen” sudah mengemuka dalam pertemuan terbatas antara Presiden dengan alumni kelompok Cipayung sehari sebelum Presiden mengemukakannya secara terbuka pada pelantikan DPP Partai Hanura, Rabu, 22 Februari 2017.
Pada hari Selasa, 21 Februari 2017, para pimpinan alumni organisasi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Cipayung, yakni HMI, GMNI, PMII, GMKI, dan PMKRI, bersilaturahmi dengan Presiden di Istana Negara.
Pada saat itu kami mendiskusikan banyak hal dengan Presiden, termasuk demokrasi yang agak kebablasen itu. Jauh sebelum itu istilah demokrasi kebablasen sebenarnya sudah sering kita dengar.
Beberapa purnawirawan ABRI (TNI dan Polri) sering mengeluhkan amendemen atau perubahan UUD 1945 (periode 1999–2002) yang dikatakannya sebagai produk dari reformasi dan demokrasi yang kebablasen sehingga hasil amendemen UUD 1945 itu keluar dari nilai-nilai Pancasila dan semangat para pendiri negara (founding fathers).
Tapi benarkah perjalanan demokrasi kita sekarang kebablasen? Jujur, gejala tersebut memang ada meskipun tidak bisa dimungkiri kita telah mencatat banyak kemajuan dalam berdemokrasi.
Gejala demokrasi kebablasen itu terjadi baik di tingkat supra- maupun infrastruktur politik maupun di kalangan masyarakat. Kita bisa melihat dengan mata telanjang betapa para pemain resmi politik telah menggunakan mekanisme resmi demokrasi untuk menggarong kekayaan negara dan merampas hak-hak rakyat.
Di dalam studi-studi politik malah muncul ungkapan “demokrasi sebagai jalan untuk korupsi”. Dengan menggunakan posisinya di lembaga demokrasi para politikus telah membuat dan menjualbelikan kebijakan dan hukum negara untuk mencuri hak-hak rakyat.
Begitu pula kerap kali ada kolusi antara oknum penting di legislatif dan eksekutif untuk berkorupsiria. Ada juga kolusi-kolusi di lembaga yudikatif. Semuanya menggunakan mekanisme formal demokrasi sehingga disimpulkan, korupsi sengaja dilakukan melalui mekanisme demokrasi.
Di tengah-tengah masyarakat pun terasa ada penggunaan hak konstitusional melalui demokrasi yang kebablasen. Gejala saling mencaci, menyebar fitnah, dan membuat informasi hoax melalui media massa dan media sosial tak terbantahkan berseliweran setiap hari.
Isu SARA yang sebenarnya ditiupkan untuk kepentingan kelompok politik tertentu dan jangka pendek semata telah dipergunakan sebagai senjata untuk saling menyerang. Orang berbicara keadilan dan hukum dituduh SARA, rasis, diskriminatif, anti-keberagaman, dan sebagainya.
Penuduhnya pun kemudian dituding balik sebagai antek dan jongos kelompok primordial tertentu yang juga berbau SARA. Saling tuding tersebut kemudian menggumpal menjadi kubu-kubu yang saling serang dengan bendera primordialisme alias SARA. Itulah demokrasi yang kebablasen.
Jadi tidak salahlah Presiden ketika mengatakan ada gejala demokrasi kebablasen karena selain hal itu sudah lama diungkapkan oleh kelompok-kelompok masyarakat, faktanya pun memang sangat terasa.
Meskipun Presiden mengatakan hal tersebut banyak muncul di media sosial dengan akun-akun yang tidak bertuan, sedangkan yang di media massa konvensional bisa dikendalikan, faktanya media konvensional pun tidak jarang memainkan irama demokrasi yang kebablasen ini melalui trik-triknya yang juga canggih.
Soalnya, bagaimana menghadapi dan mengatasi gejala yang bisa membahayakan eksistensi NKRI itu? Jawabannya sebenarnya ada pada pernyataan Presiden sendiri, yakni penegakan hukum tanpa pandang bulu, tegas, dan tidak ragu.
Presiden mengatakan, “Tegakkan hukum, jangan ragu.” Solusi tentang penegakan hukum oleh Presiden ini pun benar.
Konstitusi kita menyatakan negara kita adalah negara demokrasi (kerakyatan) dan negara nomokrasi (negara hukum). Demokrasi tanpa hukum bisa liar dan anarkistis, hukum tanpa demokrasi bisa elitis dan sewenang-wenang. Itu yang bisa dibunyikan dari Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Tapi harus segera dinyatakan juga bahwa saat ini rasa keadilan di dalam masyarakat terlukai karena hukum belum suprime, hukum masih terasa membedakan siapa subjek yang harus ditindak dan dilayani. Pada tingkat elite hukum kerap kali kolutif, sedangkan pada tingkat massa hukum kerap kali anarkistis. Ketidakberesan hukum pada tingkat elite, terutama di birokrasi, ini sebenarnya tergantung dan di bawah kendali sah Presiden.
Jadi, syukur alhamdulillah, Presiden sendiri yang mengemukakan adanya gejala atau problem “demokrasi liar dan penegakan hukum”, sebab Presiden pasti sudah tahu bagaimana menyikapi berbagai masalah dan langkah apa yang harus diambil untuk menegakkan hukum agar demokrasi tidak kebablasen.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
ADALAH wajar jika kemudian timbul kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat tentang masa depan Indonesia ketika Presiden Jokowi, tiga hari yang lalu, mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia sudah kebablasen.
Kebablasen atau yang bakunya “kebablasan” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang berarti berlebihan atau melampaui batas yang wajar. Kekhawatiran itu timbul karena jika Presiden yang mengatakan itu secara terbuka, artinya ada, minimal, dua kemungkinan.
Pertama, demokrasi di Indonesia mengancam eksistensi bangsa dan negara Indonesia yang “bersatu dalam keberagaman” karena di kalangan masyarakat sudah cenderung anarkistis, keluar dari batas-batas wajar melalui kebebasan yang agak brutal sehingga, demi keselamatan negara dan bangsa, harus segera diatasi.
Kedua, pernyataan Presiden itu juga bisa ditafsirkan sebagai isyarat akan ada pembatasan-pembatasan kembali atau tindakan-tindakan represif atas semua penggunaan hak-hak konstitusional yang menggunakan kendaraan demokrasi yang, katanya, kebablasen itu.
Sebenarnya ungkapan “demokrasi kebablasen” sudah mengemuka dalam pertemuan terbatas antara Presiden dengan alumni kelompok Cipayung sehari sebelum Presiden mengemukakannya secara terbuka pada pelantikan DPP Partai Hanura, Rabu, 22 Februari 2017.
Pada hari Selasa, 21 Februari 2017, para pimpinan alumni organisasi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Cipayung, yakni HMI, GMNI, PMII, GMKI, dan PMKRI, bersilaturahmi dengan Presiden di Istana Negara.
Pada saat itu kami mendiskusikan banyak hal dengan Presiden, termasuk demokrasi yang agak kebablasen itu. Jauh sebelum itu istilah demokrasi kebablasen sebenarnya sudah sering kita dengar.
Beberapa purnawirawan ABRI (TNI dan Polri) sering mengeluhkan amendemen atau perubahan UUD 1945 (periode 1999–2002) yang dikatakannya sebagai produk dari reformasi dan demokrasi yang kebablasen sehingga hasil amendemen UUD 1945 itu keluar dari nilai-nilai Pancasila dan semangat para pendiri negara (founding fathers).
Tapi benarkah perjalanan demokrasi kita sekarang kebablasen? Jujur, gejala tersebut memang ada meskipun tidak bisa dimungkiri kita telah mencatat banyak kemajuan dalam berdemokrasi.
Gejala demokrasi kebablasen itu terjadi baik di tingkat supra- maupun infrastruktur politik maupun di kalangan masyarakat. Kita bisa melihat dengan mata telanjang betapa para pemain resmi politik telah menggunakan mekanisme resmi demokrasi untuk menggarong kekayaan negara dan merampas hak-hak rakyat.
Di dalam studi-studi politik malah muncul ungkapan “demokrasi sebagai jalan untuk korupsi”. Dengan menggunakan posisinya di lembaga demokrasi para politikus telah membuat dan menjualbelikan kebijakan dan hukum negara untuk mencuri hak-hak rakyat.
Begitu pula kerap kali ada kolusi antara oknum penting di legislatif dan eksekutif untuk berkorupsiria. Ada juga kolusi-kolusi di lembaga yudikatif. Semuanya menggunakan mekanisme formal demokrasi sehingga disimpulkan, korupsi sengaja dilakukan melalui mekanisme demokrasi.
Di tengah-tengah masyarakat pun terasa ada penggunaan hak konstitusional melalui demokrasi yang kebablasen. Gejala saling mencaci, menyebar fitnah, dan membuat informasi hoax melalui media massa dan media sosial tak terbantahkan berseliweran setiap hari.
Isu SARA yang sebenarnya ditiupkan untuk kepentingan kelompok politik tertentu dan jangka pendek semata telah dipergunakan sebagai senjata untuk saling menyerang. Orang berbicara keadilan dan hukum dituduh SARA, rasis, diskriminatif, anti-keberagaman, dan sebagainya.
Penuduhnya pun kemudian dituding balik sebagai antek dan jongos kelompok primordial tertentu yang juga berbau SARA. Saling tuding tersebut kemudian menggumpal menjadi kubu-kubu yang saling serang dengan bendera primordialisme alias SARA. Itulah demokrasi yang kebablasen.
Jadi tidak salahlah Presiden ketika mengatakan ada gejala demokrasi kebablasen karena selain hal itu sudah lama diungkapkan oleh kelompok-kelompok masyarakat, faktanya pun memang sangat terasa.
Meskipun Presiden mengatakan hal tersebut banyak muncul di media sosial dengan akun-akun yang tidak bertuan, sedangkan yang di media massa konvensional bisa dikendalikan, faktanya media konvensional pun tidak jarang memainkan irama demokrasi yang kebablasen ini melalui trik-triknya yang juga canggih.
Soalnya, bagaimana menghadapi dan mengatasi gejala yang bisa membahayakan eksistensi NKRI itu? Jawabannya sebenarnya ada pada pernyataan Presiden sendiri, yakni penegakan hukum tanpa pandang bulu, tegas, dan tidak ragu.
Presiden mengatakan, “Tegakkan hukum, jangan ragu.” Solusi tentang penegakan hukum oleh Presiden ini pun benar.
Konstitusi kita menyatakan negara kita adalah negara demokrasi (kerakyatan) dan negara nomokrasi (negara hukum). Demokrasi tanpa hukum bisa liar dan anarkistis, hukum tanpa demokrasi bisa elitis dan sewenang-wenang. Itu yang bisa dibunyikan dari Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Tapi harus segera dinyatakan juga bahwa saat ini rasa keadilan di dalam masyarakat terlukai karena hukum belum suprime, hukum masih terasa membedakan siapa subjek yang harus ditindak dan dilayani. Pada tingkat elite hukum kerap kali kolutif, sedangkan pada tingkat massa hukum kerap kali anarkistis. Ketidakberesan hukum pada tingkat elite, terutama di birokrasi, ini sebenarnya tergantung dan di bawah kendali sah Presiden.
Jadi, syukur alhamdulillah, Presiden sendiri yang mengemukakan adanya gejala atau problem “demokrasi liar dan penegakan hukum”, sebab Presiden pasti sudah tahu bagaimana menyikapi berbagai masalah dan langkah apa yang harus diambil untuk menegakkan hukum agar demokrasi tidak kebablasen.
(poe)