Waspadai Potensi Krisis Perbankan Italia-Eropa

Selasa, 21 Februari 2017 - 08:31 WIB
Waspadai Potensi Krisis...
Waspadai Potensi Krisis Perbankan Italia-Eropa
A A A
Prof Firmanzah PhD
Rektor Universitas Paramadina
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia

STABILITAS sistem keuangan dan perbankan dunia saat ini diuji oleh potensi krisis perbankan di Italia. Bank tertua dunia dan terbesar ke-3 di Italia, yaitu Monte dei Paschi di Siena (MPS), mengalami kesulitan likuiditas dan mengajukan proposal injeksi dana untuk memperkuat struktur permodalan dalam jumlah cukup besar ke Bank Sentral Eropa (ECB) yang diperkirakan mencapai 8,8 miliar euro.

Hilangnya kepercayaan dari deposan yang menarik dananya secara besar-besaran di tengah melonjaknya kredit bermasalah (nonperforming loans/NPL) yang mencapai 28,5 miliar euro telah membuat neraca keuangan MPS bermasalah.

Situasi yang dialami oleh MPS memunculkan kekhawatiran baru akan potensi risiko dampak sistemiknya terhadap stabilitas sistem keuangan, tidak hanya di Eropa, tetapi juga di dunia seperti 2008. Tentu kita tidak perlu merasa cemas berlebihan, namun yang terpenting, otoritas moneter perlu terus memonitor pola dan magnitudo dampaknya terhadap stabilitas sistem keuangan global apabila penanganan MPS tidak menemukan solusi yang mampu menenangkan pasar.

Hal ini beralasan mengingat Italia sebagai kekuatan ekonomi ke-3 di Eropa memiliki NPL dalam jumlah yang sangat besar, yaitu senilai 360 miliar euro. Paling tidak terdapat dua faktor mengapa sistem perbankan Italia memiliki NPL yang sangat besar. Pertama, rendahnya pertumbuhan ekonomi, dan yang kedua ketidakhati-hatian dalam proses penyaluran kredit perbankan.

Pemerintah Italia saat ini menganggarkan tidak kurang 20 miliar euro untuk memperkuat sistem perbankan di negara tersebut. Sementara itu menurut KPMG, kawasan Eropa memiliki kredit bermasalah yang sangat besar, senilai 1,2 triliun euro atau hampir tiga kali dari NPL di Amerika Serikat.

Kasus yang menimpa MPS di Italia tidak menutup kemungkinan akan terjadi di bank-bank lainnya di kawasan Eropa. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat lesunya perekonomian setelah krisis fiskal di Eropa ditengarai berkontribusi cukup besar terhadap membengkaknya kredit bermasalah di Eropa.

Persoalan terbesar perbankan Eropa saat ini adalah membengkaknya kredit bermasalah. Menurut IMF, rata-rata rasio NPL di zona Eropa mencapai puncaknya pada 2013 yang berada di angka 8%.

Meskipun di beberapa negara di Eropa rasio NPL berada di bawah 3%, di sejumlah negara kredit bermasalah melonjak. Posisi September 2016, empat negara Eropa seperti Italia, Irlandia, Portugal, dan Slovenia rata-rata NPL berada di level 20%. Bahkan dua negara Eropa, yaitu Siprus dan Yunani memiliki exposure kredit bermasalah yang sangat parah, di mana setengah dari total pinjaman perbankan dikategorikan sebagai kredit bermasalah.

Melihat hal ini, banyak pihak yang mulai waswas bahwa persoalan yang terjadi di MPS berisiko akan tertransmisi tidak hanya bagi bank di negara lain di Eropa, tetapi juga cerminan krisis ekonomi yang lebih dalam di kawasan Eropa, di mana melonjaknya kredit bermasalah salah satunya disebabkan oleh kinerja sektor riil yang memburuk dan membuat konsumen maupun korporasi mengalami kesulitan membayar kewajiban ke perbankan.

Sentimen negatif dari kawasan Eropa sebenarnya tidak hanya bersumber dari krisis perbankan seperti yang dialami oleh MPS, tetapi juga meningkatnya sentimen anti-Uni Eropa yang semakin menguat. Pemilihan presiden di Prancis, misalnya, di mana kandidat dari Partai Sayap Kanan yaitu Marie Le Pen sudah menyatakan akan mengeluarkan Prancis dari Uni Eropa apabila terpilih sebagai presiden.

Apabila skenario ini terjadi, ketidakpastian politik akan semakin meningkat pascakeluarnya Inggris dari Uni Eropa atau yang kita kenal sebagai Brexit. Sementara itu, gelombang mengkritisi Uni Eropa juga dirasakan semakin menguat di sejumlah negara seperti di Belanda yang tahun ini juga akan menyelenggarakan pemilihan umum.

Kombinasi antara stagnasi ekonomi Zona Eropa, potensi krisis perbankan, Brexit, dan sejumlah agenda politik telah menjadikan Zona Eropa sebagai episentrum baru external-shock bagi perekonomian dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Dengan semakin terintegrasinya sistem perbankan, setiap guncangan eksternal akan berdampak langsung ataupun tidak langsung ke stabilitas sistem keuangan nasional. Besar-kecilnya magnitudo dari dampak akan sangat ditentukan oleh daya tahan sistem keuangan nasional.

Aspek ini akan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain praktik good-governance di perbankan, fungsi pengawasan yang berjalan baik, efisiensi sistem perbankan nasional, dan kondisi kesehatan perbankan domestik. Pola transmisi dari setiap gejolak eksternal yang paling memungkinkan bilamana terjadi krisis perbankan di Eropa salah satunya melalui transmisi sentimen-psikologis.

Ketika terjadi krisis perbankan di luar negeri, biasanya baik investor maupun deposan akan mulai mempertanyakan risiko terjadinya hal serupa di dalam negeri. Namun ketika kesehatan perbankan terjaga, hal tersebut akan menjadi bantalan dari efek domino yang diakibatkan krisis yang bersumber dari eksternal.

Dunia perbankan di Indonesia sebenarnya telah belajar dari pengalaman berharga krisis ekonomi 1998 dan dampak krisis subprime mortgage 2008. Belajar dari dua pengalaman tersebut, menjaga dan terus meningkatkan kepercayaan (trust) terhadap institusi keuangan nasional adalah hal yang sangat penting.

Mismanagement baik di tingkat makro-pengawasan maupun mikro-pengelolaan akan menurunkan level kepercayaan masyarakat terhadap institusi perbankan. Inilah sebenarnya yang terjadi saat ini dalam kasus MPS di Italia.

Pembenahan melalui kelengkapan tata aturan perundang-undangan telah dilakukan untuk memperkuat level kepercayaan publik terhadap institusi keuangan nasional, penerapan standar global terhadap perbankan nasional, serta menyinergikan kebijakan antarotoritas.

Belajar dari kasus MSP di Italia dan membengkaknya kredit bermasalah di Eropa, otoritas serta regulator pengawasan perbankan dan sistem keuangan di Tanah Air perlu terus memastikan, praktik-praktik perbankan sesuai dengan tata aturan yang berlaku.

Kita bersyukur, meskipun meningkat, rasio kredit bermasalah di Indonesia sangat terkendali. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per November 2016 tercatat kredit bermasalah sebesar 3,18%. Kombinasi antara pengawasan dan membaiknya governance penyaluran kredit di perbankan membuat rasio kredit bermasalah relatif terjaga di tengah tekanan harga komoditas dunia yang sangat rendah sepanjang 2014–2016.

Makroprudensial perlu terus menjadi fokus pengambil kebijakan. Komitmen untuk terus mengembangkan pasar keuangan perlu diimbangi dengan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan industri keuangan nasional. Melalui hal inilah sistem keuangan nasional tidak hanya memiliki daya tahan terhadap gejolak eksternal, tetapi juga mampu tumbuh secara berkelanjutan.

Di tengah semakin tingginya ketidakpastian perekonomian global dan risiko munculnya gejolak eksternal, kesigapan dan kewaspadaan regulator dan para pelaku pasar untuk merespons setiap potensi gejolak dan risiko dari eksternal semakin dibutuhkan.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0718 seconds (0.1#10.140)