Tekanan Freeport di Balik Mundurnya Chappy
A
A
A
Fahmy Radhi
Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Antimafia Migas
MUNDURNYA Chappy Hakim sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI), anak perusahaan McMoran yang berbasis di Amerika Serikat, sangat mengentak dan mengejutkan bagi khalayak. Pasalnya, Chappy menjabat Presiden Direktur PT FI belum genap empat bulan, sejak dilantik secara resmi pada November 2016.
Wajar kalau kemudian menimbulkan berbagai spekulasi di balik mundurnya Chappy. Terlebih lagi, Chappy dan PT FI tidak menjelaskan alasan pengunduran diri tersebut.
Berbeda dengan Maroef Sjamsudin, Presiden Direktur PT FI sebelumnya, Chappy Hakim tidak secara eksplisit mengungkapkan alasan mendasar pengunduran dirinya. Chappy hanya mengemukakan alasan pengunduran diri secara normatif. Lalu, apa alasan sebenarnya di balik pengunduran diri Chappy Hakim?
Minggu lalu memang sempat terjadi “insiden main tunjuk” yang dilakukan oleh Chappy Hakim terhadap anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo. Namun, Chappy sudah menyadari kekeliruannya, lalu minta maaf kepada Mukhtar Tompo atas insiden itu.
Mukhtar Tompo pun telah memaafkannya dan tidak diperpanjang lagi. Beberapa pihak mengaitkan insiden tersebut sebagai alasan bagi Chappy untuk mengundurkan diri.
Kalau benar insiden main tunjuk menjadi alasan bagi Chappy untuk mengundurkan diri, barangkali alasan itu tidak terlalu signifikan. Tentunya ada alasan lain yang lebih mendasar di balik pengunduran diri tersebut.
Salah satunya kemungkinan terusiknya rasa kebangsaan Chappy atas aksi main tekan dan adu domba. Tidak hanya main tekan terhadap pemerintah Indonesia, juga tindakan Freeport sudah mengarah pada aksi “adu domba” antara karyawan Freeport dan pemerintah Indonesia.
Kalau tetap menjadi Chief Executive Officer PT FI, Chappy bisa dituduh terlibat dalam aksi tekan dan adu domba. Pengunduran Chappy barangkali sebagai exit strategy untuk menghindari tuduhan keterlibatannya dalam aksi main tekan dan adu domba. Chappy memang kembali sebagai penasihat, tetapi peran Chappy sebatas memberikan nasihat saja.
Aksi Main Tekan dan Adu Domba
Freeport selama ini selalu menuntut beberapa tuntutan, di antaranya: tuntutan kepastian perpanjangan kontrak karya (KK), yang akan berakhir pada 2021. Kedua, izin ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri.
Terkuaknya, skandal “Papa Minta Saham” mengindikasikan aksi Freeport untuk memperoleh kepastian perpanjangan KK. Pada saat berlakunya larangan ekspor Minerba Mentah, sejak 12 Januari 2014 yang berdasarkan UU No 4/2009 tentang Minerba, PT FI menolak keras larangan itu. Sembari menekan pemerintah dengan mengancam untuk menghentikan produksi dan melakukan PHK besar-besaran serta akan menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Lantaran pemerintah tidak juga mengizinkan ekspor konsentrat, Freeport kembali menekan pemerintah. Tekanan Freeport kali ini tampaknya benar-benar dilaksanakan.
Terhitung sejak 17 Februari 2017, Freeport telah menghentikan secara total produksinya dan merumahkan 33.000 karyawan. Keputusan itu telah memicu rencana aksi demo besar-besar puluhan ribu karyawan beserta keluarganya.
Aksi demo itu menuntut pemerintah Indonesia agar mengeluarkan izin ekspor konsentrat. Padahal, rekomendasi izin ekspor konsentrat sudah dikeluarkan pada hari yang sama dengan rencana aksi demo tersebut.
Sangat kentara sekali bahwa aksi demo karyawan Freeport itu merupakan aksi adu domba, bak devide et impera pada zaman penjajahan. Aksi demo, yang digunakan untuk menekan pemerintah Indonesia agar mengeluarkan izin ekspor konsentrat, sesungguhnya tidak relevan lagi.
Mestinya tidak ada alasan lagi bagi Freeport untuk tetap menghentikan produksi dan merumahkan karyawan, lantaran tuntutan izin ekspor konsentrat sudah dipenuhi.
Rupanya aksi menghentikan produksi dan PHK masih digunakan untuk menekan pemerintah memenuhi tuntutan lainnya, di luar tuntutan izin ekspor konsentrat. Tuntutan itu berkaitan dengan penolakan Freeport untuk memenuhi persyaratan izin usaha pertambangan khusus (IUPK), tentang syarat divestasi saham dan sistem perpajakan.
Pemerintah sebenarnya sudah memilih opsi jalan tengah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2017 tentang Minerba. PP Minerba itu mewajibkan perusahaan pemegang KK untuk mengolah dan memurnikan Minerba Mentah di smelter dalam negeri.
Tanpa pengolahan dan pemurnian, perusahaan tambang tidak diizinkan mengekspor Minerba Mentah, termasuk konsentrat. Jalan tengah yang diberikan adalah opsi untuk mengubah status dari KK menjadi IUPK sebagai syarat penerbitan izin ekspor konsentrat.
Freeport menyetujui jalan tengah tersebut dengan mengajukan permohonan perubahan status kontrak dari KK menjadi IUPK melalui surat yang diajukan ke Kementerian ESDM pada 12 Februari 2017. Berdasarkan surat itu, Menteri ESDM sudah mengesahkan perubahan status KK Freeport menjadi IUPK.
Dengan pengesahan tersebut, Menteri ESDM mengeluarkan izin ekspor konsentrat kepada Freeport 1.113.105 Wet Metric Ton (WMT) konsentrat tembaga. Izin ekspor konsentrat itu dikeluarkan berdasarkan Surat Persetujuan Menteri ESDM Nomor 352/30/DJB/2017, pada 17 Februari 2017.
Kendati Freeport sudah menyetujui status IUPK, anehnya Freeport menolak persyaratan IUPK terkait dengan divestasi saham dan sistem perpajakan. Freeport bersikeras menolak syarat divestasi saham 51% secara bertahap dalam 10 tahun.
Freeport juga menolak sistem perpajakan prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia) yang merupakan persyaratan IUPK. Freeport ngotot untuk tetap menggunakan sistem perpajakan naildown (besaran pajak tetap), seperti yang diterapkan oleh Freeport dengan status KK.
Tekanan Freeport untuk menolak persyaratan IUPK sesungguhnya sudah berlebihan dan keterlaluan sehingga tidak seharusnya dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Sebesar apa pun gertakan Freeport, termasuk tekanan Freeport untuk mengadukan pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional, pemerintahan Joko Widodo harus berani menolak tuntutan Freeport itu.
Barangkali, pengunduran diri Chappy Hakim secara implisit menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap aksi tekanan dan adu domba yang dilakukan oleh Freeport. Pemerintah pun harus mengikuti jejak Chappy Hakim untuk melawan tindakan sewenang-wenang Freeport dalam memaksakan kehendak untuk memenuhi semua tuntutan Freeport, yang kadang sudah tidak masuk akal sehat.
Dosen UGM dan Mantan Anggota Tim Antimafia Migas
MUNDURNYA Chappy Hakim sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI), anak perusahaan McMoran yang berbasis di Amerika Serikat, sangat mengentak dan mengejutkan bagi khalayak. Pasalnya, Chappy menjabat Presiden Direktur PT FI belum genap empat bulan, sejak dilantik secara resmi pada November 2016.
Wajar kalau kemudian menimbulkan berbagai spekulasi di balik mundurnya Chappy. Terlebih lagi, Chappy dan PT FI tidak menjelaskan alasan pengunduran diri tersebut.
Berbeda dengan Maroef Sjamsudin, Presiden Direktur PT FI sebelumnya, Chappy Hakim tidak secara eksplisit mengungkapkan alasan mendasar pengunduran dirinya. Chappy hanya mengemukakan alasan pengunduran diri secara normatif. Lalu, apa alasan sebenarnya di balik pengunduran diri Chappy Hakim?
Minggu lalu memang sempat terjadi “insiden main tunjuk” yang dilakukan oleh Chappy Hakim terhadap anggota Komisi VII DPR RI Mukhtar Tompo. Namun, Chappy sudah menyadari kekeliruannya, lalu minta maaf kepada Mukhtar Tompo atas insiden itu.
Mukhtar Tompo pun telah memaafkannya dan tidak diperpanjang lagi. Beberapa pihak mengaitkan insiden tersebut sebagai alasan bagi Chappy untuk mengundurkan diri.
Kalau benar insiden main tunjuk menjadi alasan bagi Chappy untuk mengundurkan diri, barangkali alasan itu tidak terlalu signifikan. Tentunya ada alasan lain yang lebih mendasar di balik pengunduran diri tersebut.
Salah satunya kemungkinan terusiknya rasa kebangsaan Chappy atas aksi main tekan dan adu domba. Tidak hanya main tekan terhadap pemerintah Indonesia, juga tindakan Freeport sudah mengarah pada aksi “adu domba” antara karyawan Freeport dan pemerintah Indonesia.
Kalau tetap menjadi Chief Executive Officer PT FI, Chappy bisa dituduh terlibat dalam aksi tekan dan adu domba. Pengunduran Chappy barangkali sebagai exit strategy untuk menghindari tuduhan keterlibatannya dalam aksi main tekan dan adu domba. Chappy memang kembali sebagai penasihat, tetapi peran Chappy sebatas memberikan nasihat saja.
Aksi Main Tekan dan Adu Domba
Freeport selama ini selalu menuntut beberapa tuntutan, di antaranya: tuntutan kepastian perpanjangan kontrak karya (KK), yang akan berakhir pada 2021. Kedua, izin ekspor konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri.
Terkuaknya, skandal “Papa Minta Saham” mengindikasikan aksi Freeport untuk memperoleh kepastian perpanjangan KK. Pada saat berlakunya larangan ekspor Minerba Mentah, sejak 12 Januari 2014 yang berdasarkan UU No 4/2009 tentang Minerba, PT FI menolak keras larangan itu. Sembari menekan pemerintah dengan mengancam untuk menghentikan produksi dan melakukan PHK besar-besaran serta akan menggugat pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional.
Lantaran pemerintah tidak juga mengizinkan ekspor konsentrat, Freeport kembali menekan pemerintah. Tekanan Freeport kali ini tampaknya benar-benar dilaksanakan.
Terhitung sejak 17 Februari 2017, Freeport telah menghentikan secara total produksinya dan merumahkan 33.000 karyawan. Keputusan itu telah memicu rencana aksi demo besar-besar puluhan ribu karyawan beserta keluarganya.
Aksi demo itu menuntut pemerintah Indonesia agar mengeluarkan izin ekspor konsentrat. Padahal, rekomendasi izin ekspor konsentrat sudah dikeluarkan pada hari yang sama dengan rencana aksi demo tersebut.
Sangat kentara sekali bahwa aksi demo karyawan Freeport itu merupakan aksi adu domba, bak devide et impera pada zaman penjajahan. Aksi demo, yang digunakan untuk menekan pemerintah Indonesia agar mengeluarkan izin ekspor konsentrat, sesungguhnya tidak relevan lagi.
Mestinya tidak ada alasan lagi bagi Freeport untuk tetap menghentikan produksi dan merumahkan karyawan, lantaran tuntutan izin ekspor konsentrat sudah dipenuhi.
Rupanya aksi menghentikan produksi dan PHK masih digunakan untuk menekan pemerintah memenuhi tuntutan lainnya, di luar tuntutan izin ekspor konsentrat. Tuntutan itu berkaitan dengan penolakan Freeport untuk memenuhi persyaratan izin usaha pertambangan khusus (IUPK), tentang syarat divestasi saham dan sistem perpajakan.
Pemerintah sebenarnya sudah memilih opsi jalan tengah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 1/2017 tentang Minerba. PP Minerba itu mewajibkan perusahaan pemegang KK untuk mengolah dan memurnikan Minerba Mentah di smelter dalam negeri.
Tanpa pengolahan dan pemurnian, perusahaan tambang tidak diizinkan mengekspor Minerba Mentah, termasuk konsentrat. Jalan tengah yang diberikan adalah opsi untuk mengubah status dari KK menjadi IUPK sebagai syarat penerbitan izin ekspor konsentrat.
Freeport menyetujui jalan tengah tersebut dengan mengajukan permohonan perubahan status kontrak dari KK menjadi IUPK melalui surat yang diajukan ke Kementerian ESDM pada 12 Februari 2017. Berdasarkan surat itu, Menteri ESDM sudah mengesahkan perubahan status KK Freeport menjadi IUPK.
Dengan pengesahan tersebut, Menteri ESDM mengeluarkan izin ekspor konsentrat kepada Freeport 1.113.105 Wet Metric Ton (WMT) konsentrat tembaga. Izin ekspor konsentrat itu dikeluarkan berdasarkan Surat Persetujuan Menteri ESDM Nomor 352/30/DJB/2017, pada 17 Februari 2017.
Kendati Freeport sudah menyetujui status IUPK, anehnya Freeport menolak persyaratan IUPK terkait dengan divestasi saham dan sistem perpajakan. Freeport bersikeras menolak syarat divestasi saham 51% secara bertahap dalam 10 tahun.
Freeport juga menolak sistem perpajakan prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia) yang merupakan persyaratan IUPK. Freeport ngotot untuk tetap menggunakan sistem perpajakan naildown (besaran pajak tetap), seperti yang diterapkan oleh Freeport dengan status KK.
Tekanan Freeport untuk menolak persyaratan IUPK sesungguhnya sudah berlebihan dan keterlaluan sehingga tidak seharusnya dipenuhi oleh pemerintah Indonesia. Sebesar apa pun gertakan Freeport, termasuk tekanan Freeport untuk mengadukan pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional, pemerintahan Joko Widodo harus berani menolak tuntutan Freeport itu.
Barangkali, pengunduran diri Chappy Hakim secara implisit menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap aksi tekanan dan adu domba yang dilakukan oleh Freeport. Pemerintah pun harus mengikuti jejak Chappy Hakim untuk melawan tindakan sewenang-wenang Freeport dalam memaksakan kehendak untuk memenuhi semua tuntutan Freeport, yang kadang sudah tidak masuk akal sehat.
(poe)