Postulat Kebijakan Moneter & Fiskal

Senin, 20 Februari 2017 - 07:50 WIB
Postulat Kebijakan Moneter...
Postulat Kebijakan Moneter & Fiskal
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

KONSOLIDASI kebijakan moneter dan fiskal bisa diibaratkan seperti sepasang suami-istri yang sifatnya cenderung saling melengkapi. Teori ekonomi model IS-LM yang diunggah Richard Hicks dan Alvin H Hansen menjadi bukti sahih bagaimana kedua kebijakan bekerja menentukan keseimbangan pasar barang dan pasar modal.

Jika peran kedua kebijakan mampu berjalan secara harmonis dan efisien yang sesuai dengan karakter masing-masing, hasilnya akan dapat secara signifikan mendukung percepatan tahapan pembangunan. Namun riwayat konsolidasi keduanya tidak selalu berjalan mulus.

Dengan latar belakang bidang yang sangat kontras, negara kita pernah mengalami perception gap di antara kebijakan moneter dan fiskal. Hasilnya mudah ditebak, iklim pasar cenderung tidak harmonis dan serba-membingungkan hingga pada akhirnya situasi menjadi serbarunyam dan ikut mengantarkan perekonomian Indonesia ke dalam masa-masa krisis.

Contoh ketidakharmonisan hubungan antara sektor moneter dan fiskal pernah terjadi pada saat krisis tahun 1998 dan 2008. Kebetulan kedua contoh tersebut bermula dari kondisi sektor moneter yang pada saat itu menghadapi guncangan eksternal yang hebat.

Efek krisis di beberapa negara mitra ekonomi utama membuat nilai tukar rupiah menurun drastis dan merembet pada neraca perdagangan ekspor-impor yang ikut-ikutan anjlok. Akibatnya komoditas-komoditas andalan ekspor beserta dengan industri yang selama ini mengandalkan bahan baku impor ikut terhambat laju produktivitasnya.

Efek berikutnya terus mengalir terhadap tingkat pendapatan dan konsumsi masyarakat serta hasil penerimaan dari pajak yang kian lemah. Pemerintah semakin mengandalkan utang dari luar negeri dan swasta untuk menutup defisit fiskal.

Dana utang ternyata tidak banyak membantu perekonomian karena pemerintah relatif gagal membangun manajemen pengelolaan utang dan terjadi bocor di mana-mana sehingga banyak masalah fundamental yang tidak teratasi.

Tidak hanya berhenti di situ, akibat merosotnya kualitas faktor-faktor fundamental seperti halnya kualitas infrastruktur dan tenaga kerja, ditambah dengan meningkatnya biaya transaksi akibat inefisiensi pada unsur birokrasi dan kelembagaan serta daya tahan yang lemah terhadap kondisi perekonomian global, daya tarik investasi kita berjalan tersendat-sendat.

Praktis kinerja sektor moneter yang direpresentasikan kalangan perbankan tidak banyak terlibat untuk menggeliatkan perekonomian. Sistem kredit dan deposito perbankan yang selama ini menjadi andalan untuk mengembangkan likuiditas keuangannya tidak bergerak secara simultan. Karena itu upaya pengembangan sektor fiskal dan moneter sempat secara kompak mengalami masa-masa suram.

Membangun Peran Kuratif
Meskipun secara konseptual dibentuk dalam sistem yang independen, dalam praktiknya kedua kebijakan bisa mengalami saling ketergantungan (interdependensi) karena perilaku pasar yang cenderung wait and see. Dengan demikian ada begitu banyak alasan mengapa kebijakan fiskal dan moneter harus mampu berdiri saling melengkapi.

Keduanya juga memiliki domain yang sering kali mengalami tarik ulur kepentingan karena bisa bergerak berlawanan dan tidak saling menguntungkan. Misalnya ketika pemerintah sangat menginginkan adanya kenaikan investasi produktif, mereka biasanya akan mempersiapkan beberapa instrumen andalannya seperti subsidi, pajak yang rendah, dan kemudahan regulasi untuk kemudahan investasi. Belum lagi sokongan belanja pemerintah melalui pengembangan infrastruktur dan tenaga kerja.

Menanggapi kepentingan ini, secara ideal seharusnya otoritas moneter mendukung, misalnya dengan mempersiapkan tingkat suku bunga kredit yang rendah, agar calon investor memiliki akses permodalan yang lebih kuat. Namun karena kedua otoritas belum tentu selalu sepemikiran, bisa saja perbankan justru “melawan” kepentingan dengan menawarkan return deposito yang lebih tinggi, dengan dalih menambah likuiditas keuangan.

Jadi secara rasional investor bisa lebih memilih menanamkan modalnya ke bank daripada ke sektor riil karena perhitungan risikonya lebih terjangkau. Kalau sudah demikian, pemerintah relatif tidak dapat berbuat banyak karena investor cenderung memiliki opportunistic behaviour. Namun pemerintah memiliki kesempatan untuk melakukan “pembalasan”. Misalnya pembangunan daya dukung dan akses investasi sengaja “dihambat”.

Nanti perbankan bisa saja kelabakan karena pangsa pasar kredit untuk investasi dan konsumsinya bisa menurun drastis. Adapun sumber pendapatan terbesar perbankan dan dana yang dibagihasilkan dengan para penanam deposito justru dari bunga hasil penyaluran jasa kredit.

Jadi kalau otoritas fiskal dan moneter ingin sama-sama untung, keduanya harus menciptakan konsolidasi yang kuat dan bersifat komplementer. Kita bisa ambil beberapa topik yang sedang hangat dibahas masyarakat dan terkait dengan pentingnya konsolidasi fiskal dan moneter. Misalnya pembahasan mengenai tax amnesty, penyediaan perumahan murah, dan yang terbaru mengenai program pembiayaan infrastruktur non-anggaran (PINA) pemerintah.

Ketiga topik ini bisa direncanakan menjadi satu rangkaian proses sekaligus. Tiga faktor kuncinya terletak pada cara komunikasi dalam menyamakan persepsi, pola managing agar memperoleh modular yang pas antarkebijakan, dan faktor leadership untuk mengamankan keseluruhan aspek yang sudah direncanakan.

Kita mulai analoginya dari topik yang membahas hasil program tax amnesty. Program ini menjadi contoh pertama bagaimana mekanisme antara otoritas fiskal dan moneter agar dapat berjalan beriringan.

Berdasarkan dashboard tax amnesty pada minggu kemarin (17/2), total komitmen dana repatriasi sudah mencapai Rp140,6 triliun. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengonfirmasi realisasi dana yang masuk melalui bank persepsi baru sekitar Rp105 triliun, tetapi,8 triliun (sekitar 71%) di antaranya masih mengendap di perbankan sebagai simpanan deposito.

Belum lancarnya pengelolaan dana tersebut bisa menjadi alasan yang kuat mengapa perolehan dana repatriasi masih jauh dari target yang dicanangkan. Padahal sektor-sektor potensial yang (konon) sangat diminati peserta tax amnesty seperti investasi di bidang infrastruktur, properti, dan kredit di sektor riil lain sudah sangat menanti kucuran modal investasi. Apalagi likuiditas perbankan sedang dalam masa berlapis karena disokong penerimaan dana repatriasi.

Solusinya, pemerintah dan perbankan harus fokus terhadap tujuan-tujuan pembangunan. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang mengarah pada perbaikan dan kemudahan dalam berinvestasi. Paket-paket deregulasi kebijakan yang sudah dipublikasikan kemarin perlu dipermak agar semakin efisien.

Layanan perbankan juga harus ditingkatkan variannya agar tidak sebatas sebagai penyalur kredit. OJK ikut mendorong perbankan untuk mulai menawarkan pengelolaan dana repatriasi melalui mekanisme trustee atau jasa penitipan dan pengelolaan dana yang sesuai dengan preferensi para investor.

Jadi perbankan nantinya akan berperan sekaligus sebagai manajer dan pengelola dana, misalnya dalam bentuk saham obligasi swasta, proyek infrastruktur, ataupun reksa dana.

Contoh yang kedua bisa kita singgung topik perumahan murah yang sedang hangat-hangatnya dibahas masyarakat. Terlepas dari keterkaitan dengan isu-isu politik, program ini sebetulnya sangat relevan untuk tujuan peningkatan investasi dan pengendalian ketimpangan.

Bagaimanapun mekanisme pasar yang sedang terjadi di sektor properti harus diakui semakin meningkatkan barrier bagi masyarakat menengah ke bawah. Jadi campur tangan pemerintah melalui subsidi perumahan bisa dianggap sebagai solusi jitu.

Tahun ini sudah disiapkan anggaran Rp17,3 triliun untuk pengadaan dan pembiayaan visi sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah hingga 2019. Pemerintah juga sudah memangkas proses perizinan dari 33 menjadi 11.

Perbankan dapat mendukung visi ini dengan menyiapkan akses kredit bagi produsen dan konsumen perumahan untuk menjamin mekanisme supply-demand bisa mencapai titik keseimbangan.

Dari sisi konsumen, sebelum dicanangkannya program sejuta rumah, rata-rata pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) baru mencapai 11%. Sekarang rata-rata pertumbuhannya sudah meningkat menjadi 25%.

Apalagi jika memang wacana pemberian subsidi agar downpayment (DP) KPR 0% betul-betul bisa diwujudkan, sisi inklusivitasnya akan semakin mendekati kenyataan. Namun perlu dipastikan bahwa komitmen untuk memberikan subsidi DP KPR ini bisa dipertanggungjawabkan. Karena perbankan memiliki kewajiban mematuhi aturan Bank Indonesia mengenai regulasi loan to value (LTV) dan financing to value (LTV) demi keamanan di sektor keuangan.

Selain itu belajar dari pengalaman krisis yang ditimbulkan subprime mortgage di Amerika Serikat, kita juga harus memastikan bahwa program rumah murah ini tidak dimanfaatkan oleh para makelar/spekulan perumahan.

Contoh konsolidasi yang terakhir ialah mekanisme penerbitan sukuk. Dari sisi fiskal, sukuk menjadi instrumen penting untuk menutupi gap pendanaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur. Jadi peran pemerintah sangat besar dalam penyusunan regulasi dan portofolio investasi sukuk.

Dalam perkembangannya Bank Indonesia (BI) selaku regulator sektor moneter juga mulai ikut membeli sukuk (jangka pendek) untuk mengatur likuiditas uang yang beredar dan menstabilkan kondisi perekonomian. BI secara fleksibel dapat menjual jumlah sukuknya kepada perbankan untuk mengurangi jumlah uang beredar pada saat perekonomian mengalami overwhelming.

Begitu pula sebaliknya, BI dapat membeli sukuk kembali untuk menambah jumlah uang beredar. Jadi dengan adanya sukuk, Indonesia dapat mengatasi dua masalah sekaligus, yakni kekurangan kapasitas belanja pemerintah dan membantu BI untuk mengelola excess/lackofliquidity.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0769 seconds (0.1#10.140)