MK Serius Lakukan Pembenahan Internal
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) terus melakukan pembenahan internal setelah ditangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar dalam dugaan suap.
Lembaga di bawah pimpinan Arief Hidayat ini akan memperketat sistem dan prosedur lalu lintas dokumen putusan untuk mencegah kebocoran.
Kebocoran draf putusan sidang judicial review menjadi sorotan publik saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukannya bersama dengan pihak yang diduga menyuap hakim Patrialis.
"Ada beberapa perbaikan saya kira yang ditempuh MK terkait dugaan bocornya draf putusan. Mulai beberapa saat setelah itu sudah diputuskan seluruh lalu lintas dokumen terkait perkara diperketat, dalam arti tercatat dan diakui oleh hakim dan panitera secara berjenjang," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono kemarin.
Setiap cetakan draf putusan akan dicatat dan harus diketahui penerimanya. Cetakan untuk keperluan di luar keperluan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) harus seizin ketua panel yang menyidangkan perkara tersebut.
"Jadi (cetakan draf putusan) diketahui panitera. Lalu lintas diperketat. Ini bertolak dari kejadian kemarin adanya dugaan kasus bocor draf putusan," jelasnya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi mendesak DPR dan pemerintah mengevaluasi hakim MK. Ini karena sudah dua hakim konstitusi ditangkap KPK berkaitan dengan suap, yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.
Ketua MK Arief Hidayat hingga kini tidak pernah berurusan dengan hukum, apalagi ditangkap KPK. Hal ini ditegaskan Kepala Biro Humas dan Protokol MK Rubiyo dalam surat yang diterima redaksi KORAN SINDO kemarin.
Hal ini sekaligus koreksi atas pemberitaan KORAN SINDO edisi Senin (13/2) yang menyebut Arief adalah salah satu hakim MK yang pernah ditangkap KPK. Arief merupakan salah satu hakim yang menentang praktik korupsi di lembaganya.
Dia berusaha keras mengembalikan kepercayaan publik yang jatuh ke titik nadir setelah MK diterjang skandal korupsi Akil Mochtar. Menurut Fajar, sekuat apa pun sistem yang dirancang mencegah kebocoran di MK, tentu masih menyisakan celah untuk melakukan kecurangan.
Namun, MK berkomitmen memperbaiki semuanya. Misalnya dalam RPH, forum bagi para hakim konstitusi untuk bermusyawarah tentang suatu perkara, hanya boleh dihadiri pegawai tersumpah.
Belasan tahun sistem ini berlaku tidak pernah ada kebocoran perkara. Ini menurut Fajar merupakan sistem MK yang terbangun secara kuat.
"Yang dibutuhkan MK dan segera akan dilakukan perbaikan manajemen perkara yang dari tahun ke tahun bebannya terus meningkat, pada tahun 2016 saja ada 150 lebih perkara judicial review," ujarnya.
Pada dasarnya, kata Fajar, memang, tidak ada ketentuan yang memberi batas waktu MK untuk menyelesaikan suatu perkara, namun bukan berarti pihaknya lantas berlama-lama merampungkannya.
"Kita ingin cepat satu per satu, maka manajemen perkara harus diperbaiki. Dari 2016, kita bisa putus 96 perkara," ungkapnya.
Menurut Fajar, indikator keberhasilan semua perbaikan internal akan terlihat pada putusan-putusan yang dihasilkan, karena itulah satu-satunya cara bagi MK untuk berbicara pada khalayak ramai.
"Bagaimana menjadikan kualitas putusan menjadi baik maka itu didukung dengan aparatur yang mendukung akuntabilitas transparansi dalam memberikan dan melayani para pencari keadilan," imbuhnya.
Anggota Komisi III DPR Syaiful Bahri Ruray berharap ada perubahan mendasar pada MK setelah dua hakimnya tersandung masalah korupsi. "Harus ada perubahan struktural dan kultural. Kultural itu perbaikan manajemen kepemimpinan. Struktural tidak boleh tambal sulam lagi," ujarnya.
Persoalan lain yang penting untuk diperhatikan adalah rekrutmen pada lembaga-lembaga yang mengusulkan hakim, yaitu pemerintah, Mahkamah Agung, dan DPR. Aturan tersebut menurutnya harus dibakukan dalam peraturan tertentu, seperti undang-undang atau peraturan pemerintah.
"Kalau tidak ada mekanisme rekrutmen yang seragam, masing-masing instansi akan suka-suka," ujarnya.
Lembaga di bawah pimpinan Arief Hidayat ini akan memperketat sistem dan prosedur lalu lintas dokumen putusan untuk mencegah kebocoran.
Kebocoran draf putusan sidang judicial review menjadi sorotan publik saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukannya bersama dengan pihak yang diduga menyuap hakim Patrialis.
"Ada beberapa perbaikan saya kira yang ditempuh MK terkait dugaan bocornya draf putusan. Mulai beberapa saat setelah itu sudah diputuskan seluruh lalu lintas dokumen terkait perkara diperketat, dalam arti tercatat dan diakui oleh hakim dan panitera secara berjenjang," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono kemarin.
Setiap cetakan draf putusan akan dicatat dan harus diketahui penerimanya. Cetakan untuk keperluan di luar keperluan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) harus seizin ketua panel yang menyidangkan perkara tersebut.
"Jadi (cetakan draf putusan) diketahui panitera. Lalu lintas diperketat. Ini bertolak dari kejadian kemarin adanya dugaan kasus bocor draf putusan," jelasnya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi mendesak DPR dan pemerintah mengevaluasi hakim MK. Ini karena sudah dua hakim konstitusi ditangkap KPK berkaitan dengan suap, yaitu Akil Mochtar dan Patrialis Akbar.
Ketua MK Arief Hidayat hingga kini tidak pernah berurusan dengan hukum, apalagi ditangkap KPK. Hal ini ditegaskan Kepala Biro Humas dan Protokol MK Rubiyo dalam surat yang diterima redaksi KORAN SINDO kemarin.
Hal ini sekaligus koreksi atas pemberitaan KORAN SINDO edisi Senin (13/2) yang menyebut Arief adalah salah satu hakim MK yang pernah ditangkap KPK. Arief merupakan salah satu hakim yang menentang praktik korupsi di lembaganya.
Dia berusaha keras mengembalikan kepercayaan publik yang jatuh ke titik nadir setelah MK diterjang skandal korupsi Akil Mochtar. Menurut Fajar, sekuat apa pun sistem yang dirancang mencegah kebocoran di MK, tentu masih menyisakan celah untuk melakukan kecurangan.
Namun, MK berkomitmen memperbaiki semuanya. Misalnya dalam RPH, forum bagi para hakim konstitusi untuk bermusyawarah tentang suatu perkara, hanya boleh dihadiri pegawai tersumpah.
Belasan tahun sistem ini berlaku tidak pernah ada kebocoran perkara. Ini menurut Fajar merupakan sistem MK yang terbangun secara kuat.
"Yang dibutuhkan MK dan segera akan dilakukan perbaikan manajemen perkara yang dari tahun ke tahun bebannya terus meningkat, pada tahun 2016 saja ada 150 lebih perkara judicial review," ujarnya.
Pada dasarnya, kata Fajar, memang, tidak ada ketentuan yang memberi batas waktu MK untuk menyelesaikan suatu perkara, namun bukan berarti pihaknya lantas berlama-lama merampungkannya.
"Kita ingin cepat satu per satu, maka manajemen perkara harus diperbaiki. Dari 2016, kita bisa putus 96 perkara," ungkapnya.
Menurut Fajar, indikator keberhasilan semua perbaikan internal akan terlihat pada putusan-putusan yang dihasilkan, karena itulah satu-satunya cara bagi MK untuk berbicara pada khalayak ramai.
"Bagaimana menjadikan kualitas putusan menjadi baik maka itu didukung dengan aparatur yang mendukung akuntabilitas transparansi dalam memberikan dan melayani para pencari keadilan," imbuhnya.
Anggota Komisi III DPR Syaiful Bahri Ruray berharap ada perubahan mendasar pada MK setelah dua hakimnya tersandung masalah korupsi. "Harus ada perubahan struktural dan kultural. Kultural itu perbaikan manajemen kepemimpinan. Struktural tidak boleh tambal sulam lagi," ujarnya.
Persoalan lain yang penting untuk diperhatikan adalah rekrutmen pada lembaga-lembaga yang mengusulkan hakim, yaitu pemerintah, Mahkamah Agung, dan DPR. Aturan tersebut menurutnya harus dibakukan dalam peraturan tertentu, seperti undang-undang atau peraturan pemerintah.
"Kalau tidak ada mekanisme rekrutmen yang seragam, masing-masing instansi akan suka-suka," ujarnya.
(maf)