Mendengar dan Mau Berubah

Selasa, 14 Februari 2017 - 07:50 WIB
Mendengar dan Mau Berubah
Mendengar dan Mau Berubah
A A A
Elin Waty
CEO Sun Life Financial Indonesia

ORANG mengenal saya sebagai pekerja keras. Usia 21 tahun, belum lulus kuliah, sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan asuransi.

Pekerjaan di bagian investasi saya jalani selama satu tahun, kemudian pindah ke training department dan diangkat menjadi training manager pada usia 23 tahun. Karier terus meningkat.

Di usia 26 tahun, saya sudah menjadi head of agency. Fasilitasnya? Mobil BMW, pergi ke mana-mana menginap di hotel bintang lima. Wah, rasanya sudah paling top.

Ketika itu, saya sangat ambisius, bertekad menjadi presiden direktur pada usia 35 tahun. Bekerja sangat keras. Energi saya besar sekali untuk mencapai cita-cita dan ambisi.

Hingga pada suatu pelatihan, semua itu berubah. Semua ambisi saya, menjadi tidak berarti lagi. Pada suatu pelatihan dari perusahaan di Selandia Baru, saya mendapat insight.

Kami diminta menutup mata dan membayangkan masuk ke dalam gereja. Di dalamnya ada peti mati dan saya berada di dalam peti mati itu.

Ketika itu, kami diminta membayangkan apa yang akan dibicarakan tentang kami yang sudah terbujur kaku di peti. Seketika saya mendengar, suami mengatakan bahwa saya adalah istri yang baik, istri yang pandai memasak, istri yang selalu memastikan anak-anak terawat dengan baik. Saya mendengar anak-anak mengenang saya sebagai mama yang baik, mama yang mendukung pendidikan anak-anaknya.

Sementara para kolega mengenang saya sebagai atasan yang kuat, pekerja keras, wanita karier, bos yang fair. Suara-suara yang saya dengar: Elin adalah perempuan yang kuat dan pekerja keras.

Belajar Mendengar
Tetapi dalam hati kecil, saya merasa ada yang salah. Saya tidak ingin dikenang seperti itu. Saya ingin dikenang suami sebagai istri yang merupakan teman baiknya, teman yang selalu ada.

Saya ingin dikenang anak sebagai mama yang penuh kasih. Saya ingin dikenang sebagai teman yang sabar, mau mendengarkan keluh-kesah sahabatnya. Saya ingin dikenang kolega sebagai atasan yang dapat menghargai dan turut mengembangkan mereka.

Itulah titik balik saya. Pada usia hampir 30 tahun itu, saya berubah. Orientasi saya tidak hanya saya, saya dan saya. Saya mulai berusaha berubah menjadi pendengar yang baik. Saya mengubah fokus dari berpusat pada diri sendiri sebagai pimpinan, menjadi fokus pada pengembangan tim.

Mudah? Sama sekali tidak. Pada dasarnya, saya adalah orang yang emosional. Lebih banyak berbicara ketimbang mendengarkan. Kadang tidak sabaran. Perlu perjuangan tersendiri untuk berubah.

Kendala ini dapat teratasi karena keinginan berubah berasal dari diri saya sendiri. Kalau saja tidak ada keinginan kuat, bisa jadi fokus saya masih akan tetap sama.

Saya pun pindah ke perusahaan lain dengan level jabatan lebih rendah. Saya seperti mengulang sebagian karier, menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga dan teman-teman. Belakangan saya menyadari, perjalanan memutar ini justru membuat saya lebih matang, baik dalam kepribadian maupun skill.

Mengajak orang dalam tim untuk berubah kadang tidak mudah. Setiap orang memiliki masalah, memiliki motivasi dan harus dirangkul dengan pendekatan berbeda. Tetapi, dengan mendengarkan, saya dapat memahami mereka.

Jika orang-orang dalam tim didengarkan, lalu kita memahami apa motivasinya, apa yang diinginkannya, diperlakukan dengan baik, di-uwongke, otomatis kinerjanya akan meningkat.

Saya pernah menjumpai manajer IT yang bersedia pindah ke bagian distribusi. Padahal, mana ada cerita orang IT kerja di distribusi? Tetapi, saya beri dia kesempatan. Ternyata hasilnya bagus sekali. Dia bahkan sempat menjadi pegawai teladan.

Saya juga sempat bertanya-tanya, sampai di mana saya jika tidak mengubah fokus. Bisa jadi, dalam karier, saya akan lebih sukses, lebih tinggi. Tetapi, bukan itu yang saya inginkan.

Turut membuat orang lain berkembang, memberikan saya kepuasan tersendiri. Bukan hanya saya yang berkembang, tetapi juga orang lain di sekitar saya. “It is not about my life, but my whole team.”

Menjadi pemimpin harus memahami passion anak buah. Mengaryakan orang pada passion-nya serta-merta akan membuat kinerjanya, juga kinerja perusahaan meningkat.

Keluarga Tetap Utama
Sebagai perempuan yang bekerja, tentu saya juga tidak mau melupakan keluarga. Keluarga, nomor satu buat saya. Sejak anak-anak kecil, saya beritahu mereka bahwa mamanya juga memiliki tanggung jawab selain di rumah.

Memang, sebagai ibu bekerja ada beberapa hal yang dikorbankan, seperti tidak bisa berlama-lama di spa. Ingin sih menghabiskan waktu empat jam memanjakan diri, tapi untuk sementara ini lebih baik bermain bersama anak-anak saya.

Menempatkan keluarga sebagai prioritas, berarti juga mengajak keluarga dalam keputusan-keputusan penting. Ketika mendapatkan tawaran menjadi CEO, saya bertanya kepada anak-anak.

Saya mengatakan, ada konsekuensinya, seperti saya akan menjadi lebih sibuk, akan lebih banyak perjalanan ke luar kota. Mereka mengatakan, sudah saatnya saya mengambil kesempatan tersebut.

Sabtu dan Minggu merupakan hari untuk keluarga. Hari Minggu biasanya kami makan malam bersama. Saya senang memasak, jadi setiap hari Minggu ada masakan untuk keluarga.

Tatanan meja makan pun istimewa, pakai bunga, pakai lilin. Perabotan makan pun bukan yang biasa dipakai sehari-hari. Dalam kesempatan ini, kami bisa bercerita, ngobrol berjam-jam, tertawa-tawa.

Dari apa yang saya alami, terlihat, menjadi pemimpin sebaiknya memiliki kepekaan terhadap passion anak buah. Dengan mendengarkan, kita dapat mengetahui apa passion-nya agar dia juga dapat mengembangkan diri lebih luas. Kuncinya, membuka telinga lebar-lebar.

Perjalanan hidup dan karier tidak selalu linier. Kembali mundur satu-dua langkah, justru akan membuat langkah kita semakin mantap kedepan. Perjalanan memutar memberikan kesempatan untuk menata kembali fokus kita.

Pada akhirnya, saya menyakini, keberadaan kita membawa misi tertentu: memberikan makna dan manfaat bagi keberadaan orang lain, baik keluarga, sahabat, kolega, bahkan orang lain yang tidak kita kenal.

Bagi saya, pencapaian besar dalam hidup adalah ketika saya tidak hanya berhasil membuat diri saya berada di titik yang menurut saya terbaik, melainkan juga berhasil membawa orang orang di sekitar saya untuk menikmati momen-momen terbaik dalam hidup mereka.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7748 seconds (0.1#10.140)