Kredit (Murah) Menggairahkan

Senin, 13 Februari 2017 - 08:12 WIB
Kredit (Murah) Menggairahkan
Kredit (Murah) Menggairahkan
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

KEBIJAKAN kredit murah dengan berbagai skema telah menjadi salah satu komoditas politik yang paling populer. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) dirancang dengan sangat menggiurkan demi mengembangkan berbagai jenis usaha produktif, terutama untuk usaha berskala mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Ketika program KUR berjalan efektif dan skala usaha terus mengalami eskalasi, pemerintah berharap akan mendapat sokongan dari para pengusaha untuk dapat memacu pertumbuhan indikator-indikator makroekonomi nasional. Program ini lebih banyak diarahkan kepada UMKM yang memiliki kelayakan (feasible) secara ekonomi, tetapi terbatas untuk memenuhi syarat-syarat kredit perbankan (bankable).

Arah tujuannya sudah sangat relevan dengan semangat inklusivitas di sektor keuangan. UMKM yang paling banyak diharapkan untuk dapat menyerap manfaat dari kebijakan ini adalah sektor-sektor unggulan dan produktif yang masih dikelola secara tradisional.

Jadi program KUR sangat dielu-elukan karena dianggap berpihak rakyat kecil dan bersifat sangat inklusif. Nah, sekarang bagaimana catatan realisasi kinerja dari KUR?

Setelah berjalan hampir satu dekade, para pelaku UMKM yang jumlahnya mencapai puluhan juta unit mulai sedikit bernapas lega. Jumlah peserta KUR juga terus bertambah setiap tahun karena pemerintah di berbagai lapis struktural terus meningkatkan kapasitas dana yang disalurkan.

Jika diagregatkan sejak 2007–2014, Komite Kebijakan KUR Kemenko Perekonomian mengklaim total dana perbankan yang berputar sudah mencapai Rp178,85 triliun dengan tingkat non-performing loan (NPL) atau kredit bermasalah sebesar 3,3%. Program KUR dalam kurun waktu tersebut juga mampu menyerap lebih dari 20 juta tenaga kerja.

Yang terbaru, pemerintah pusat melalui APBN 2017 menyisipkan Rp110 triliun untuk pendanaan pelaksanaan KUR. Jumlah ini jauh lebih meningkat bila dibandingkan dengan 2015 yang hanya Rp30 triliun. Tahun lalu pemerintah mengalokasikan anggaran hingga Rp100 triliun dan mampu terserap Rp94,4 triliun dengan tingkat NPL mampu ditekan hingga 0,37%.

Namun sebagai catatan pembanding, penyerapan KUR yang dianggap sudah sangat fantastis juga menyimpan kelemahan dan tantangan yang harus segera diselesaikan. Parameter awalnya dapat diukur dari sisi penyerapan KUR yang masih bersifat “eksklusif”. Misalnya dari sisi proporsi penyaluran menurut sebaran secara geografis dan sektoral.

Realisasi penyaluran berdasarkan sebaran pulau cenderung masih berpola Jawa-sentris. Menko Perekonomian (2017) mengatakan, 54,6% penyaluran KUR berputar di Pulau Jawa. Sisanya terbagi di Pulau Sumatera (20,2%), Sulawesi (9,4%), Bali-Nusra (7,4%), Kalimantan (6,1%), Papua (1,6%), serta Maluku yang hanya terlibat sebanyak 0,7%. Fenomena ini semakin menjustifikasi penyebab sebaran pertumbuhan ekonomi yang sama halnya juga bersifat Jawa-sentris.

Sebaran berdasarkan sektor-sektor ekonomi juga dianggap belum merata dan proporsional. Tahun 2016 tercatat sektor perdagangan mendominasi proporsi KUR hingga mencapai 66%, diikuti dengan sektor industri, pertanian, dan perikanan yang hanya menyerap 22%.

Padahal jika melihat potensi value added-nya, seharusnya justru sektor industri, pertanian, dan perikanan yang perlu lebih diprioritaskan. Karena ketiga sektor ini memiliki dampak yang lebih luas terhadap indikator makroekonomi seperti pertumbuhan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, serta kemiskinan dan ketimpangan.

Belum efektifnya pola persebaran kredit disinyalir karena pihak perbankan masih waswas dengan risiko kredit bermasalah (NPL) yang masih sangat tinggi di beberapa sektor tertentu, terutama sektor industri dan pertanian yang memiliki karakteristik sirkulasi keuangan yang berubah-ubah.

Kinerja sektor industri untuk saat ini memang relatif sulit diterka karena kondisi jagat perekonomian global yang masih gonjang-ganjing, sedangkan sektor pertanian lebih disebabkan faktor iklim yang sulit diprediksi sehingga skala profitabilitasnya pun ikut sulit untuk ditakar.

Jika “dipaksa” mengikuti standar pengelolaan kredit perbankan, mereka tetap akan mengalami kesulitan karena pola penghasilan mereka cenderung musiman. Karena itu kedua sektor ini perlu mendapatkan kebijakan “afirmasi” agar skema KUR dapat betul-betul menjawab kebutuhan modal mereka.

Karena masih besarnya tingkat risiko yang dihadapi pihak perbankan, bisa jadi faktor ini pula yang menyebabkan sulitnya menekan tingkat suku bunga KUR. Untuk saat ini tingkat bunga dari KUR bertahan di kisaran angka 9% dan dipandang masih cukup memberatkan bagi pelaku usaha.

Jika angka ini diturunkan, pihak perbankan yang akan “menjerit”. Akan tetapi jika tingkat suku bunga KUR masih bertahan di kisaran tersebut juga bisa mengancam daya jangkau debitor, terutama bagi petani dan industri berskala mikro dan kecil.

Berkaca dari Jawa Timur
Jika disederhanakan lagi, faktor penghambat efektivitas dan efisiensi KUR bersumber pada aspek pemerataan secara geografis dan sektoral serta penanggulangan berbagai risiko kredit yang mendorong tingginya tingkat suku bunga. Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) memberikan contoh kebijakan yang menarik untuk mengakomodasi tujuan mulia KUR.

Yang pertama, Pemprov Jatim menginisiasi kerja sama antar-stakeholder dalam dua lapis institusional yang disebut sebagai “Segitiga Berlian” dan “Segitiga Emas”. Dan yang kedua, Pemprov Jatim juga memberikan diskon bunga KUR agar UMKM mampu menjaga stabilitas keuangan serta meningkatkan daya saingnya.

Kedua kebijakan ini membuat Gubernur Jawa Timur Soekarwo diganjar penghargaan dari Presiden Joko Widodo sebagai Pelopor Inklusi Keuangan di tingkat provinsi selama dua tahun terakhir. Program kuncinya tidak hanya sebatas berupa akses permodalan saja, melainkan pemerintah juga mendukung dengan pembekalan pelatihan manajerial, produksi, serta pengembangan kelembagaan usaha lainnya.

Konsep Segitiga Berlian yang diusung Pemprov Jatim merupakan kolaborasi antara penyedia kredit (BI, bank umum, dan BPR), user (UMKM), dan fasilitator kredit yang berisi antara pemerintah, perguruan tinggi, serta institusi pendukung lainnya. Ketiganya bertugas untuk menciptakan ruang kebijakan yang ideal agar sistem kredit senantiasa terjangkau, profitable, tidak bersifat merugikan dan “kanibal”, serta menanggulangi berbagai risiko internal dan eksternal.

Daya dukung sinergi ini ditekankan pada fasilitas pelatihan dan pendampingan untuk peningkatan kapasitas manajerial, serta layanan produksi dan pemasaran agar menjamin keberlanjutan ekonomi UMKM. Adapun sinergi Segitiga Emas yang melibatkan Bank Jatim, Bank UMKM Jatim, dan Jaminan Kredit Daerah (Jamkrida) lebih mengejawantahkan solusi bagi para debitor yang feasible, tetapi kurang bankable.

Jamkrida berperan sebagai “bapak” penjamin sekaligus penanggung risiko bagi para UMKM dan pelaku usaha agar tetap mampu menjangkau akses permodalan. Terutama bagi UMKM dan petani kecil. Selama mereka mampu memenuhi kaidah “kelayakan”, mereka akan tetap mendapatkan kucuran modal meskipun tidak memiliki agunan dan standar bankable lainnya.

Strategi berikutnya dari Pemprov Jatim diterapkan untuk mengatasi tingginya suku bunga KUR yang diselesaikan dengan penawaran diskon bunga kredit. Pemprov Jatim memiliki patokan bahwa tingkat bunga yang dianggap “ideal” bagi UMKM untuk saat ini sekitar 6%. Adapun di sisi perbankan, dengan angka 9% sebagai acuan bunga pun belum cukup aman untuk menanggulangi berbagai risiko kredit.

Nah di sinilah keberpihakan peran Pemprov Jatim tampak adil terhadap kedua pihak. Pemprov Jatim rela membayar selisih bunga di antara kemampuan UMKM dan perbankan agar sama-sama mampu menjaga keberlanjutan usahanya.

Jadi misalnya perbankan menetapkan bunga sebesar 9%, sedangkan skala ekonomi UMKM hanya mampu 6%, Pemprov Jatim pun membayar selisih 3%-nya.

Mengenai gap karakteristik antara perbankan dengan sektor-sektor yang penghasilannya bersifat musiman, solusi sederhananya bisa diatasi dengan mendirikan bank pertanian atau bank khusus UMKM. Lembaga ini bertugas untuk mengimbangi karakteristik ekonomi sektor pertanian dan UMKM yang memiliki risiko-risiko khusus.

Jika berkaca dari beberapa negara, tujuan pembentukan bank-bank sektoral ini adalah untuk pengembangan kinerja usaha, mengoordinasikan dan mengawasi pemberian kredit, serta menyediakan pinjaman dan fasilitas pendukung kredit.

Kesimpulan akhirnya, pemerintah harus menjamin program KUR ini tidak sebatas pada inklusivitas akses permodalan saja. Lebih luasnya lagi pola ini harus betul-betul mampu menggerakkan sektor produktif kita untuk “menyeret” lini-lini ekonomi lainnya untuk turut produktif.

Caranya dengan menciptakan kolaborasi dengan berbagai pihak yang mampu membuat kinerja KUR tidak sampai macet. Di antaranya dengan melakukan kebijakan dan pendampingan yang mengamankan para penerima KUR dari tantangan kelembagaan, faktor-faktor produksi dan pemasaran, hingga inovasi-inovasi di luar kondisi eksisting yang nantinya mampu mendorong efisiensi dan daya saing usaha di masa depan.

Di luar kondisi internal UMKM, pemerintah juga perlu mengamati penyebab rendahnya daya saing UMKM akibat tingginya biaya transaksi. Misalnya karena aspek kualitas infrastruktur yang masih rendah, rumitnya birokrasi dan perizinan, serta tata niaga yang cenderung kurang efisien sehingga memengaruhi skala profitabilitas UMKM. Jadi seharusnya program KUR ini didampingi dengan kerangka pembangunan yang lain karena bersifat sistemik dan menyeluruh.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5740 seconds (0.1#10.140)