Pilkada untuk Publik, Mungkinkah?
A
A
A
Cahyo Seftyono
Pengajar Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang
PELAKSANAAN pilkada langsung secara serentak pada 2017 tinggal menghitung hari. Namun, yang memenuhi benak warga negara sejak beberapa hari ini bukan perasaan senang dan bahagia.
Melainkan perasaan bosan, muak, jenuh, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Perasaan negatif tersebut muncul karena kita disuguhi tontonan politik dalam negeri yang penuh intrik, saling jegal juga saling cela satu sama lain.
Yang lebih menjemukan lagi, konsentrasi ide, energi, sumber daya kita hanya diarahkan kepada pelaksanaan pilkada di satu daerah saja, pilkada di Provinsi DKI.
Padahal, tahun ini, ada lebih dari 101 daerah mulai kabupaten, kota, serta provinsi yang akan menyelenggarakan pilkada. Selain itu, kita diberi tawaran yang amat tidak menarik, pertarungan atas kekuasaan yang hanya dimainkan oleh elite-elite politik yang selama ini bertarung dalam Pilpres 2014 dan sebelumnya.
Pertarungan ini dilakukan dengan cara “menitipkan” orang-orang untuk berkompetisi secara elektoral di level yang lebih rendah. Cara-cara oligarkis ini dilakukan melalui intervensi mereka secara langsung ataupun melalui mekanisme kelembagaan, seperti prosedur rekomendasi calon kepala daerah dari ketua umum DPP partai politik (atau lembaga tertinggi partai) yang memang semua partai politik menjalankan mekanisme tersebut?
Demokrasi Setengah Hati
Fenomena politik yang muncul akhir-akhir ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Demokrasi kita, pada dasarnya hanyalah demokrasi setengah hati. Jenis demokrasi ini bukanlah demokrasi yang muncul melalui proses yang totalitas dan ideologis.
Oleh sebab itu, perkembangan demokrasi kita yang paling menonjol hanya sebatas pada pemilihan pemimpin secara langsung. Mekanisme pemilihan secara langsung tersebut dianggap secara psikologis mampu memberikan kepuasan bagi para pemilik hak suara untuk menyuarakan keinginannya dalam memilih pemimpin.
Kita dininabobokkan oleh romantisme pemilu secara langsung dengan tingkat partisipasi tertinggi di dunia. Fenomena ini pun menahbiskan kita sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia.
Benar bahwa kita memiliki penduduk (peserta pemilu) yang banyak, memiliki representasi partai politik yang beragam, serta sebaran demografi yang luas. Hanya, sebatas itu saja kita saat ini bisa berbangga.
Demokrasi prosedural memang dijalankan dengan aman dan damai. Namun, persoalan kualitas demokrasi, capaian, dan kesejahteraan publik dari praktek demokrasi merupakan urusan lain yang tidak menjadi prioritas utama.
Di sisi lain, nilai-nilai demokrasi yang ada tidak berjalan secara efektif, baik dalam konteks proses politik secara umum maupun dalam konteks pelaksanaan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Buktinya, Democracy Index hasil rilis dua tahunan Economic Intelligent Unit (2016) menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ke-48 atau masih berada di peringkat tengah-atas.
Bandingkan dengan Taiwan (33), India (32), atau Jepang (20) atau negara demokrasi lainnya. Bahkan, dengan Timor Leste (43) saja kita ketinggalan. Data ini menunjukkan, betapa banyak pekerjaan rumah yang segera perlu kita diselesaikan.
EIU sendiri dalam membuat pemeringkatan dan mengategorisasi kualitas demokrasi negara-negara di dunia tidak semata mendasarkan pada demokrasi prosedural berupa pemilu di tingkat pusat ataupun di daerah (negara bagian ataupun pilkada jika di Indonesia). Mereka juga mengajukan beberapa kriteria, seperti Proses Pemilihan dan Keragaman, Kebebasan Sipil, Kinerja Pemerintah, Partisipasi Politik, dan Budaya Politik.
Nah, pada kerangka partisipasi politik dan budaya politik inilah barangkali kita perlu banyak belajar. Pembelajaran tersebut dilakukan melalui upaya memperbaiki partisipasi publik menjadi lebih independen dan budaya politik yang lebih terbuka serta dialogis.
Merujuk pada beberapa pilkada sebelumnya, yang juga ditunjukkan dari panasnya persiapan pilkada serentak 2017 ini, ada begitu banyak permasalahan politik yang berpotensi konflik. Politik kita yang konon demokratis ini justru dihadapkan pada nilai-nilai yang tidak demokratis. Keterbukaan menjadi hilang, kejujuran menjadi barang langka, rasa saling menghargai pun semakin menjauh.
Tidak cuma di dunia nyata lewat berbalas aksi di jalanan. Di dunia maya pun demikian. Buzzer parpol dan kandidat juga bertikai tiada henti. Kembali lagi, publik secara luas yang nantinya berpartisipasi dalam pilkada justru seolah tidak mendapat ruang berekspresi secara wajar.
Fenomena ini sebagai implikasi dari mudahnya melakukan labeling bahwa seseorang atau kelompok tertentu misalnya pro ini, kontra itu, anti-kebinekaan, antek asing, dan seterusnya.
Pilkada Hura-Hura menjadi Politik sebagai Rutinitas
Stabilitas dan partisipasi publik barangkali sering dibaca sebagai hal yang bertentangan dalam politik kita pada masa pascareformasi. Kita seolah ketakutan dengan pengalaman masa lalu, di mana stabilitas diidentikkan dengan sulitnya menunjukkan preferensi ataupun ide.
Oleh sebab itu, kita terus menempatkan stabilitas di satu tempat dan partisipasi publik di tempat yang lain. Padahal, bukan hal yang istimewa sebenarnya, jika kita mau menempatkan stabilitas dan partisipasi publik ke dalam satu tempat yang sama.
Jika selama ini kita disibukkan dengan langkah-langkah formal prosedural dalam mencapai sistem yang demokratis, tampaknya perlu juga dipikirkan bagaimana demokrasi kita dimunculkan melalui proses-proses dialog secara nonformal. Sebagaimana bangsa kita yang sejak dulu dikenal “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”.
Petuah ini memang bersifat Jawa sentris. Namun, di mana pun tempat di negara ini, petuah-petuah demikian sudah mafhum adanya. Hubungan-hubungan sosial yang positif adalah pendekatan kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kembali kepada konteks pilkada (dan pemilihan lainnya) perlu kiranya partisipasi publik dan budaya politik yang positif dikedepankan. Partisipasi publik harus dimunculkan dengan jalan mengubah nalar pemilihan yang semata perayaan periodikal, melainkan sebuah proses yang berkesinambungan.
Pilkada juga jangan dimaknai sebagai pesta yang sebatas hura-hura. Jika kita memperlakukan pilkada seperti ini, yang terjadi adalah orang-orang berduit saja yang akan berpartisipasi.
Memperluas spektrum waktu pembacaan kandidat dari setahun terakhir (atau bahkan kurang) menjadi lima tahun menuju pilkada memungkinkan biaya untuk mengenali kandidat menjadi lebih murah.
Publik pun akan lebih mudah dalam mengenal kandidat. Ini merupakan proses pembacaan atas personal, ide-ide, serta kontribusi calon, yang harus bisa dibaca dalam lima tahun terakhir.
Perbincangan atas mereka dibangun dengan kerangka dialog keseharian. Harapannya, masukan positif serta negatif tidak lagi dimaknai usaha untuk saling mengalahkan, melainkan untuk terlibat dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik. Sebab, bagaimana pun, politik adalah proses melayani publik. Bukan mencari uang dari publik.
Pengajar Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang
PELAKSANAAN pilkada langsung secara serentak pada 2017 tinggal menghitung hari. Namun, yang memenuhi benak warga negara sejak beberapa hari ini bukan perasaan senang dan bahagia.
Melainkan perasaan bosan, muak, jenuh, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Perasaan negatif tersebut muncul karena kita disuguhi tontonan politik dalam negeri yang penuh intrik, saling jegal juga saling cela satu sama lain.
Yang lebih menjemukan lagi, konsentrasi ide, energi, sumber daya kita hanya diarahkan kepada pelaksanaan pilkada di satu daerah saja, pilkada di Provinsi DKI.
Padahal, tahun ini, ada lebih dari 101 daerah mulai kabupaten, kota, serta provinsi yang akan menyelenggarakan pilkada. Selain itu, kita diberi tawaran yang amat tidak menarik, pertarungan atas kekuasaan yang hanya dimainkan oleh elite-elite politik yang selama ini bertarung dalam Pilpres 2014 dan sebelumnya.
Pertarungan ini dilakukan dengan cara “menitipkan” orang-orang untuk berkompetisi secara elektoral di level yang lebih rendah. Cara-cara oligarkis ini dilakukan melalui intervensi mereka secara langsung ataupun melalui mekanisme kelembagaan, seperti prosedur rekomendasi calon kepala daerah dari ketua umum DPP partai politik (atau lembaga tertinggi partai) yang memang semua partai politik menjalankan mekanisme tersebut?
Demokrasi Setengah Hati
Fenomena politik yang muncul akhir-akhir ini sebenarnya bukan hal yang mengejutkan. Demokrasi kita, pada dasarnya hanyalah demokrasi setengah hati. Jenis demokrasi ini bukanlah demokrasi yang muncul melalui proses yang totalitas dan ideologis.
Oleh sebab itu, perkembangan demokrasi kita yang paling menonjol hanya sebatas pada pemilihan pemimpin secara langsung. Mekanisme pemilihan secara langsung tersebut dianggap secara psikologis mampu memberikan kepuasan bagi para pemilik hak suara untuk menyuarakan keinginannya dalam memilih pemimpin.
Kita dininabobokkan oleh romantisme pemilu secara langsung dengan tingkat partisipasi tertinggi di dunia. Fenomena ini pun menahbiskan kita sebagai salah satu negara demokratis terbesar di dunia.
Benar bahwa kita memiliki penduduk (peserta pemilu) yang banyak, memiliki representasi partai politik yang beragam, serta sebaran demografi yang luas. Hanya, sebatas itu saja kita saat ini bisa berbangga.
Demokrasi prosedural memang dijalankan dengan aman dan damai. Namun, persoalan kualitas demokrasi, capaian, dan kesejahteraan publik dari praktek demokrasi merupakan urusan lain yang tidak menjadi prioritas utama.
Di sisi lain, nilai-nilai demokrasi yang ada tidak berjalan secara efektif, baik dalam konteks proses politik secara umum maupun dalam konteks pelaksanaan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Buktinya, Democracy Index hasil rilis dua tahunan Economic Intelligent Unit (2016) menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ke-48 atau masih berada di peringkat tengah-atas.
Bandingkan dengan Taiwan (33), India (32), atau Jepang (20) atau negara demokrasi lainnya. Bahkan, dengan Timor Leste (43) saja kita ketinggalan. Data ini menunjukkan, betapa banyak pekerjaan rumah yang segera perlu kita diselesaikan.
EIU sendiri dalam membuat pemeringkatan dan mengategorisasi kualitas demokrasi negara-negara di dunia tidak semata mendasarkan pada demokrasi prosedural berupa pemilu di tingkat pusat ataupun di daerah (negara bagian ataupun pilkada jika di Indonesia). Mereka juga mengajukan beberapa kriteria, seperti Proses Pemilihan dan Keragaman, Kebebasan Sipil, Kinerja Pemerintah, Partisipasi Politik, dan Budaya Politik.
Nah, pada kerangka partisipasi politik dan budaya politik inilah barangkali kita perlu banyak belajar. Pembelajaran tersebut dilakukan melalui upaya memperbaiki partisipasi publik menjadi lebih independen dan budaya politik yang lebih terbuka serta dialogis.
Merujuk pada beberapa pilkada sebelumnya, yang juga ditunjukkan dari panasnya persiapan pilkada serentak 2017 ini, ada begitu banyak permasalahan politik yang berpotensi konflik. Politik kita yang konon demokratis ini justru dihadapkan pada nilai-nilai yang tidak demokratis. Keterbukaan menjadi hilang, kejujuran menjadi barang langka, rasa saling menghargai pun semakin menjauh.
Tidak cuma di dunia nyata lewat berbalas aksi di jalanan. Di dunia maya pun demikian. Buzzer parpol dan kandidat juga bertikai tiada henti. Kembali lagi, publik secara luas yang nantinya berpartisipasi dalam pilkada justru seolah tidak mendapat ruang berekspresi secara wajar.
Fenomena ini sebagai implikasi dari mudahnya melakukan labeling bahwa seseorang atau kelompok tertentu misalnya pro ini, kontra itu, anti-kebinekaan, antek asing, dan seterusnya.
Pilkada Hura-Hura menjadi Politik sebagai Rutinitas
Stabilitas dan partisipasi publik barangkali sering dibaca sebagai hal yang bertentangan dalam politik kita pada masa pascareformasi. Kita seolah ketakutan dengan pengalaman masa lalu, di mana stabilitas diidentikkan dengan sulitnya menunjukkan preferensi ataupun ide.
Oleh sebab itu, kita terus menempatkan stabilitas di satu tempat dan partisipasi publik di tempat yang lain. Padahal, bukan hal yang istimewa sebenarnya, jika kita mau menempatkan stabilitas dan partisipasi publik ke dalam satu tempat yang sama.
Jika selama ini kita disibukkan dengan langkah-langkah formal prosedural dalam mencapai sistem yang demokratis, tampaknya perlu juga dipikirkan bagaimana demokrasi kita dimunculkan melalui proses-proses dialog secara nonformal. Sebagaimana bangsa kita yang sejak dulu dikenal “gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo”.
Petuah ini memang bersifat Jawa sentris. Namun, di mana pun tempat di negara ini, petuah-petuah demikian sudah mafhum adanya. Hubungan-hubungan sosial yang positif adalah pendekatan kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kembali kepada konteks pilkada (dan pemilihan lainnya) perlu kiranya partisipasi publik dan budaya politik yang positif dikedepankan. Partisipasi publik harus dimunculkan dengan jalan mengubah nalar pemilihan yang semata perayaan periodikal, melainkan sebuah proses yang berkesinambungan.
Pilkada juga jangan dimaknai sebagai pesta yang sebatas hura-hura. Jika kita memperlakukan pilkada seperti ini, yang terjadi adalah orang-orang berduit saja yang akan berpartisipasi.
Memperluas spektrum waktu pembacaan kandidat dari setahun terakhir (atau bahkan kurang) menjadi lima tahun menuju pilkada memungkinkan biaya untuk mengenali kandidat menjadi lebih murah.
Publik pun akan lebih mudah dalam mengenal kandidat. Ini merupakan proses pembacaan atas personal, ide-ide, serta kontribusi calon, yang harus bisa dibaca dalam lima tahun terakhir.
Perbincangan atas mereka dibangun dengan kerangka dialog keseharian. Harapannya, masukan positif serta negatif tidak lagi dimaknai usaha untuk saling mengalahkan, melainkan untuk terlibat dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik. Sebab, bagaimana pun, politik adalah proses melayani publik. Bukan mencari uang dari publik.
(poe)