Bukan Apa yang Kita Mau, tapi Apa yang Kita Mampu
A
A
A
Elisa Lumbantoruan
President Director & CEO ISS Indonesia
ADA satu adegan dalam film Princess Diaries yang begitu berkesan dan sampai saat ini masih saya ingat, yaitu ketika Mia (tokoh utama) menerima surat dari ayahnya yang hanya boleh dibuka saat ulang tahunnya.
Dalam surat disebutkan, manusia pada suatu saat akan berada di persimpangan jalan, di mana harus memilih antara apa yang dimau dan apa yang mampu dilakukan. Jika mau jujur, ketika dihadapkan pada persimpangan itu, umumnya kita akan memilih “apa yang kita mau”. Sekarang mari luangkan waktu sejenak.
Orang-orang yang berhasil dalam kehidupannya mempunyai kebiasaan selalu menantang dirinya sendiri untuk melakukan lebih banyak dan lebih baik. Willingness to do more.
Kebiasaan ini sebenarnya adalah dalam rangka proses capacity building dan capability building. Namun, banyak orang yang enggan untuk melakukan hal ini dengan mengatakan, “Saya tidak digaji untuk melakukan hal ini.”
“Ini bukan tugas saya.” Atau, “Ini bukan urusan saya.” Saat kita melakukan itu, sebenarnya kita kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri baik dari aspek capacity maupun capability. Kalau digaji untuk melakukan 100%, tentunya kita harus malu kalau tidak dapat mencapai 100%.
Sebaliknya, kalau mampu melakukan 100% dari tanggung jawab dengan kurang dari 100% waktu kita, maka kita dapat melakukan hal lain yang akan membuat kita menjadi lebih produktif dan efisien. Dan, waktu yang 24 jam sehari tidak lagi kurang bagi kita. Saya pernah berada di posisi tinggi di beberapa perusahaan yang punya bisnis berbeda.
Hal itu justru membuat saya semakin berusaha untuk menjadi orang bodoh. Berubah pekerjaan membuat saya merasa orang yang paling bodoh di lingkungan itu. Dengan begitu, saya terpacu menjadi orang yang paling mau belajar di lingkungan itu. Ketika pertama kali masuk di ISS Indonesia, saya harus mengikuti apa yang disebut new comer class.
Selain belajar mengenai bisnis maupun peraturan perusahaan, saya juga belajar bagaimana cara menyapu lantai hingga membersihkan toilet secara benar, termasuk mempelajari penggunaan obat atau zat-zat kimia sesuai dengan jenis material yang dibersihkan. Harus saya akui, banyak pelajaran yang saya dapat dari kelas tersebut.
Selama ini mungkin kita berpikiran tidak perlu belajar untuk sekadar membersihkan kloset. Human capital development dapat dicapai melalui beberapa hal, antara lain melalui experience (pengalaman), networking (jaringan), dan training (pelatihan). Yang paling dominan adalah pengalaman.
Experience dapat difasilitasi melalui penambahan tanggung jawab/pekerjaan, job rotation, atau dengan menambah lingkup (scope) dari tanggung jawab secara horizontal. Sementara networking bisa dibangun dengan, misalnya, terlibat di dalam kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan, budaya; atau kalau di dalam perusahaan, dengan memberi akses ke manajemen perusahaan.
Semuanya ini dilakukan di atas tanggung jawab atau pekerjaan yang sedang diemban. Dengan cara ini, capacity building dan capability building dapat dilakukan.
Simplify Complexity
Dalam sebuah khotbah di gereja, pendeta mengatakan untuk menjadi orang sukses ada dua kiat yang bisa dijalankan. Pertama, jangan pusingkan persoalan sepele. Kedua, semua persoalan adalah persoalan sepele. Saya pikir ada dua kemungkinan untuk memaknai tips dari pendeta ini.
Pertama, tips itu merupakan satu kesatuan, maka setiap persoalan yang dihadapi dalam hidup kita adalah persoalan sepele dan tidak harus dipusingkan. Memang kita punya kemampuan untuk membangun sikap seperti ini. Setiap persoalan yang kita hadapi dalam hidup adalah persoalan yang sepele dan tidak harus dipusingkan.
Berangkat dari sikap ini, maka akan terbangun kepercayaan diri dalam menghadapi setiap masalah yang kita hadapi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kadang-kadang solusi yang kita dapatkan tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Tapi tidak perlu kecewa, lain kali akan lebih baik.
Bahkan, setelah berusaha keras, sampai saat kita mampu mengakui bahwa kita tidak mampu, itu juga merupakan jawaban. Pendekatan kedua untuk memaknai dan mengaplikasikan nasihat pendeta tadi adalah dengan melihat kedua tips ini tidak merupakan satu kesatuan, tapi masing-masing berdiri sendiri.
Tidak dapat diingkari, dalam kehidupan banyak persoalan yang kita hadapi pada saat yang sama, tapi juga harus diselesaikan semua. Padahal, kita punya keterbatasan, baik dari segi waktu, energi, kemampuan, maupun daya (resources). Perbedaan orang yang sukses adalah kemampuannya untuk menentukan urutan prioritas.
Beberapa metode yang digunakan, misalnya, adalah pemetaan masalah ke tabel criticalimportant atau konsep pareto. Dalam tabel critical-important, prioritasnya tentu yang masuk kategori critical and important. Sedangkan dengan konsep pareto, prioritaskan pada hal-hal yang mewakili mayoritas, atau yang dampaknya besar. Setiap persoalan tentu mempunyai kompleksitas yang berbeda-beda.
Kemampuan kita untuk menyederhanakan persoalan adalah langkah awal untuk menyelesaikan suatu masalah. Akan tetapi, selalu saja ada orang yang membuat masalah sederhana menjadi sangat kompleks. Prinsip kedua yaitu semua persoalan adalah persoalan sepele, justru bisa mendorong kita untuk selalu menyederhanakan masalah yang kompleks.
Selain kemampuan menyederhanakan kompleksitas, untuk bisa berhasil maka seseorang juga harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti kata Bapak Evolusi, Charles Darwin: “It’s not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.”
Kemampuan beradaptasi sangat menentukan apakah kita akan berhasil dalam kehidupan, demikian juga dalam dunia profesi. Alasan lain, kita hidup di lingkungan yang mengalami banyak sekali perubahan. Jadi yang mampu beradaptasi terhadap perubahan adalah yang mampu bertahan dan berkembang.
Mampu beradaptasi bukan berarti tidak punya pendirian. Kemampuan beradaptasi merupakan salah satu syarat yang diperlukan untuk bisa melakukan Simplify Complexity. Dengan kemampuan ini, kita tidak lagi korban dari perubahan, tetapi menjadi agen dari perubahan.
President Director & CEO ISS Indonesia
ADA satu adegan dalam film Princess Diaries yang begitu berkesan dan sampai saat ini masih saya ingat, yaitu ketika Mia (tokoh utama) menerima surat dari ayahnya yang hanya boleh dibuka saat ulang tahunnya.
Dalam surat disebutkan, manusia pada suatu saat akan berada di persimpangan jalan, di mana harus memilih antara apa yang dimau dan apa yang mampu dilakukan. Jika mau jujur, ketika dihadapkan pada persimpangan itu, umumnya kita akan memilih “apa yang kita mau”. Sekarang mari luangkan waktu sejenak.
Orang-orang yang berhasil dalam kehidupannya mempunyai kebiasaan selalu menantang dirinya sendiri untuk melakukan lebih banyak dan lebih baik. Willingness to do more.
Kebiasaan ini sebenarnya adalah dalam rangka proses capacity building dan capability building. Namun, banyak orang yang enggan untuk melakukan hal ini dengan mengatakan, “Saya tidak digaji untuk melakukan hal ini.”
“Ini bukan tugas saya.” Atau, “Ini bukan urusan saya.” Saat kita melakukan itu, sebenarnya kita kehilangan kesempatan untuk mengembangkan diri baik dari aspek capacity maupun capability. Kalau digaji untuk melakukan 100%, tentunya kita harus malu kalau tidak dapat mencapai 100%.
Sebaliknya, kalau mampu melakukan 100% dari tanggung jawab dengan kurang dari 100% waktu kita, maka kita dapat melakukan hal lain yang akan membuat kita menjadi lebih produktif dan efisien. Dan, waktu yang 24 jam sehari tidak lagi kurang bagi kita. Saya pernah berada di posisi tinggi di beberapa perusahaan yang punya bisnis berbeda.
Hal itu justru membuat saya semakin berusaha untuk menjadi orang bodoh. Berubah pekerjaan membuat saya merasa orang yang paling bodoh di lingkungan itu. Dengan begitu, saya terpacu menjadi orang yang paling mau belajar di lingkungan itu. Ketika pertama kali masuk di ISS Indonesia, saya harus mengikuti apa yang disebut new comer class.
Selain belajar mengenai bisnis maupun peraturan perusahaan, saya juga belajar bagaimana cara menyapu lantai hingga membersihkan toilet secara benar, termasuk mempelajari penggunaan obat atau zat-zat kimia sesuai dengan jenis material yang dibersihkan. Harus saya akui, banyak pelajaran yang saya dapat dari kelas tersebut.
Selama ini mungkin kita berpikiran tidak perlu belajar untuk sekadar membersihkan kloset. Human capital development dapat dicapai melalui beberapa hal, antara lain melalui experience (pengalaman), networking (jaringan), dan training (pelatihan). Yang paling dominan adalah pengalaman.
Experience dapat difasilitasi melalui penambahan tanggung jawab/pekerjaan, job rotation, atau dengan menambah lingkup (scope) dari tanggung jawab secara horizontal. Sementara networking bisa dibangun dengan, misalnya, terlibat di dalam kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan, budaya; atau kalau di dalam perusahaan, dengan memberi akses ke manajemen perusahaan.
Semuanya ini dilakukan di atas tanggung jawab atau pekerjaan yang sedang diemban. Dengan cara ini, capacity building dan capability building dapat dilakukan.
Simplify Complexity
Dalam sebuah khotbah di gereja, pendeta mengatakan untuk menjadi orang sukses ada dua kiat yang bisa dijalankan. Pertama, jangan pusingkan persoalan sepele. Kedua, semua persoalan adalah persoalan sepele. Saya pikir ada dua kemungkinan untuk memaknai tips dari pendeta ini.
Pertama, tips itu merupakan satu kesatuan, maka setiap persoalan yang dihadapi dalam hidup kita adalah persoalan sepele dan tidak harus dipusingkan. Memang kita punya kemampuan untuk membangun sikap seperti ini. Setiap persoalan yang kita hadapi dalam hidup adalah persoalan yang sepele dan tidak harus dipusingkan.
Berangkat dari sikap ini, maka akan terbangun kepercayaan diri dalam menghadapi setiap masalah yang kita hadapi dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kadang-kadang solusi yang kita dapatkan tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Tapi tidak perlu kecewa, lain kali akan lebih baik.
Bahkan, setelah berusaha keras, sampai saat kita mampu mengakui bahwa kita tidak mampu, itu juga merupakan jawaban. Pendekatan kedua untuk memaknai dan mengaplikasikan nasihat pendeta tadi adalah dengan melihat kedua tips ini tidak merupakan satu kesatuan, tapi masing-masing berdiri sendiri.
Tidak dapat diingkari, dalam kehidupan banyak persoalan yang kita hadapi pada saat yang sama, tapi juga harus diselesaikan semua. Padahal, kita punya keterbatasan, baik dari segi waktu, energi, kemampuan, maupun daya (resources). Perbedaan orang yang sukses adalah kemampuannya untuk menentukan urutan prioritas.
Beberapa metode yang digunakan, misalnya, adalah pemetaan masalah ke tabel criticalimportant atau konsep pareto. Dalam tabel critical-important, prioritasnya tentu yang masuk kategori critical and important. Sedangkan dengan konsep pareto, prioritaskan pada hal-hal yang mewakili mayoritas, atau yang dampaknya besar. Setiap persoalan tentu mempunyai kompleksitas yang berbeda-beda.
Kemampuan kita untuk menyederhanakan persoalan adalah langkah awal untuk menyelesaikan suatu masalah. Akan tetapi, selalu saja ada orang yang membuat masalah sederhana menjadi sangat kompleks. Prinsip kedua yaitu semua persoalan adalah persoalan sepele, justru bisa mendorong kita untuk selalu menyederhanakan masalah yang kompleks.
Selain kemampuan menyederhanakan kompleksitas, untuk bisa berhasil maka seseorang juga harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Seperti kata Bapak Evolusi, Charles Darwin: “It’s not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.”
Kemampuan beradaptasi sangat menentukan apakah kita akan berhasil dalam kehidupan, demikian juga dalam dunia profesi. Alasan lain, kita hidup di lingkungan yang mengalami banyak sekali perubahan. Jadi yang mampu beradaptasi terhadap perubahan adalah yang mampu bertahan dan berkembang.
Mampu beradaptasi bukan berarti tidak punya pendirian. Kemampuan beradaptasi merupakan salah satu syarat yang diperlukan untuk bisa melakukan Simplify Complexity. Dengan kemampuan ini, kita tidak lagi korban dari perubahan, tetapi menjadi agen dari perubahan.
(poe)