Suap Jabatan Sungguh Mengerikan
A
A
A
Prof Amzulian Rifai PhD
Ketua Ombudsman RI
BISIK-bisik soal adanya suap jabatan bukan hal baru. Sejak lama aromanya merebak ke mana-mana. Konon ada uang suap guna memperoleh suatu jabatan. Tapi minim bukti. Sungguhpun di tingkat pusat tidak totally free dari isu suap jabatan, tapi artikel ini khusus membahas suap jabatan di pemerintah daerah saja.
Adalah Sri Hartini, bupati Klaten yang meyakinkan publik adanya suap untuk memperoleh jabatan di pemerintah daerah. Bupati yang cukup populer itu tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat, 30 Desember 2016.
Tentu membuat geger bukan hanya bagi publik kabupaten yang dipimpinnya tetapi juga negeri ini. Apalagi sebagian orang sudah lama “menanti” berita seperti ini. Bukti pula bukan jaminan seorang Bupati terpilih dengan suara signifikan pasti amanah.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap bupati Klaten dan kawan-kawan, KPK mengamankan 8 orang pada Jumat, 30 Desember 2016 sekitar pukul 10.30 WIB di Klaten, Jawa Tengah. Penyidik mengamankan uang sekitar Rp80 juta. Petugas juga mengamankan uang sekitar Rp2 miliar dalam pecahan rupiah dan valuta asing sejumlah USD5.700 dan 2.035 dolar Singapura.
Dalam penggeledahan beberapa hari setelah OTT, KPK menyita uang Rp3,2 miliar dari penggeledahan rumah dinas Bupati Klaten Sri Hartini terkait kasus dugaan korupsi suap untuk mutasi jabatan di pemerintahan kabupaten Klaten.
Uang itu ditemukan di lemari. Rinciannya, uang sejumlah Rp3 miliar ditemukan di lemari kamar dan Rp200 juta ditemukan di lemari kamar bupati.
Sri Hartini adalah bupati Klaten periode 2016-2021 yang dilantik pada 17 Februari 2016. Ia bersama Wakil Bupati Klaten Sri Mulyani mendapatkan perolehan suara sebanyak 321.593 suara atau 48,99%.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun meraih rekor Muri awal 2016 karena terpilih sebagai bupati wanita pertama di Indonesia melalui hasil pemilihan kepala daerah. Suatu prestasi luar biasa dalam upaya mengangkat isu kesetaraan gender.
Potensi Implikasi Politik Dinasti
Mungkin salah juga jika selama ini saya tergolong “tidak terlalu” menyoal adanya politik dinasti dalam batasan tertentu. Batasan yang saya maksudkan misalnya ada keluarga kepala daerah dalam hubungan langsung (anak, istri, suami, saudara kandung) yang ikut mencalonkan diri pada periode berikutnya. Apalagi jika pencalonan itu dilakukan pada wilayah yang berbeda dari sang petahana.
Faham “sesat” saya ini (bagi sebagian orang) juga dengan beberapa alasan. Pertama, bahwa ada banyak keluarga langsung kepala daerah yang sedang menjabat memang memiliki potensi besar. Di antara mereka memang cerdas, berpengalaman, pandai bergaul dan memang memiliki empati terhadap kampung halamannya. Singkatnya “bakal rugi” apabila sosok ini tidak dimanfaatkan.
Alasan kedua, apa salahnya menjadi orang yang kebetulan memiliki hubungan darah dengan seorang kepala daerah incumbent. Seorang anak tidak dapat menolak atau menghindar dari realita bahwa ayahnya seorang kepala daerah.
Suatu realita pula saat ini “anak-anak orang berada” memiliki kesempatan lebih baik memiliki jenjang pendidikan lebih tinggi, bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan kelas dunia. Belum lagi kelengkapan pendidikan yang tidak dimiliki semua orang. Jika semua fasilitas ini dimanfaatkan dengan baik, jangan heran jika kualitas SDM-nya mumpuni di atas rata-rata.
Ada yang memandang soal politik dinasti ini lebih filosofis, bukan atas dasar yuridis semata. Artinya, memang secara yuridis tidak ada yang salah dengan mereka untuk maju sebagai kandidat. Tetapi apabila asas kepatutan dan moral yang dikedepankan, bukankah tidak patut seseorang yang memiliki akses lebih/khusus dengan petahana malah memanfaatkannya.
Faham ini memandang, politik dinasti lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Kasus bupati Klaten sebagai salah satu bukti buruknya akibat yang ditimbulkan oleh politik dinasti. Jabatan bupati Klaten untuk jangka waktu lama hanya berputar di sekitar dua keluarga saja yang tidak sehat untuk demokrasi.
Dinasti dua keluarga yang memegang kekuasaan di Klaten sejak 2000 hingga saat ini adalah keluarga Haryanto Wibowo dan Sunarna. Pada periode 2000–2005, Haryanto dan Sunarna berpasangan menjadi bupati dan wakil bupati Klaten.
Kemudian pada periode selanjutnya, yaitu 2005-2015, Haryanto lengser dan digantikan Sunarna sebagai bupati. Sedangkan wakil Sunarna adalah Sri Hartini, yang merupakan istri Haryanto.
Kembali berselang ke periode berikutnya, yaitu 2016-2021, gantian Sunarna yang lengser dan Sri Hartini menjadi bupati. Wakilnya adalah Sri Mulyani, yang merupakan istri Sunarna.
Meniadakan Kompetisi Memperkukuh Korupsi
Suap jabatan memiliki berbagai implikasi cukup mengerikan bagi upaya kita membangun Indonesia yang sejahtera dan melibatkan semua rakyat. Kesejahteraan adalah hak rakyat yang menjadi kewajiban negara untuk menghadirkannya.
Ada banyak sisi negatif yang diakibatkan oleh suap jabatan. Pertama suap jabatan meniadakan kompetisi. Ada banyak orang yang mungkin tepat menduduki jabatan, tetapi tersingkirkan karena ketiadaan koneksi. Kondisi ini terjadi saat ketersediaan jabatan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kandidatnya.
Akibatnya terjadi “kasak-kusuk” perebutan jabatan secara tidak wajar. Kepala daerah yang korup memandang perebutan jabatan ini sebagai peluang untuk memanfaatkannya.
Kekuasaan yang begitu besar yang ada padanya menjadikan ia dapat berbuat semena-mena dalam pengisian jabatan. Konon berlaku politik balas budi untuk menempatkan orang-orang yang berjasa dan loyal saat pemilihan atau siapa saja yang sanggup membayar untuk jabatan tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, tentu kompetisi ditiadakan. Penempatan orang dalam jabatan tanpa kompetisi sangat tidak sehat bagi upaya pemberian pelayanan publik terbaik. Jika jabatan didapat dengan cara menyuap maka sangat mungkin ada upaya mengembalikan biaya suap melalui jabatan yang didudukinya.
Suap jabatan makin memperkukuh posisi Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Banyak yang sulit percaya ketika bupati menerapkan tarif untuk jabatan-jabatan yang diisi atas dasar kewenangannya.
Pada kasus suap Bupati Klaten Sri Hartini, ditemukan catatan yang memuat daftar harga jabatan yang dilelang. Lengkap mulai dari eselon I hingga hanya staf tata usaha (TU) puskesmas.
Daftar rahasia yang bocor ini tentu memprihatinkan kita. Isu yang berkembang bahwa suap jabatan berlangsung di banyak tempat di Indonesia. Komisi Aparatur Sipil Negara memprediksi uang yang beredar dalam praktik jual-beli jabatan di pemda mencapai Rp45 triliun per tahun.
Walaupun tentu saja daftar yang beredar ini masih harus dibuktikan kebenarannya, membandingkan uang yang disita dengan kondisi di lapangan maka sangat mungkin tarif semacam ini benar-benar dilakukan. Apalagi pola suap untuk mendapatkan jabatan ini memang menggejala di banyak daerah.
Suap jabatan juga membuktikan bahwa korupsi memang penyakit kronis di negeri ini. Korupsi yang sudah merasuk dalam sukma birokrasi yang sudah pasti merusak sendi-sendi bernegara. Pelayanan publik yang diharapkan tidak akan tercapai karena dihadapkan kepada pejabat publik bukan karena kompetensinya.
Kerugian negara akibat suap jabatan tidak berhenti begitu saja setelah suap terjadi. Kerugian negara tersebut berlanjut karena pejabat hasil suap tersebut berusaha mengembalikan modal suapnya.
Mereka akan menyunat anggaran yang menjadi kendalinya. KASN dan Kemenpan RB memperkirakan kerugian negara mencapai Rp350 triliun sebagai efek domino dari jual-beli jabatan tersebut.
Bagaimana ke Depan?
Kita tidak menggeneralisasi suatu kejadian. Ada keyakinan bahwa masih ada kepala daerah yang memiliki komitmen menjalankan amanahnya.
Kepala daerah yang bekerja sepenuh hati, membebaskan diri dari praktek-praktek KKN. Ironisnya, para kepala daerah golongan ini dicemari oleh kepala daerah yang tertangkap KPK.
Kita harus tetap memiliki harapan. Walaupun pasca tertangkapnya Bupati Klaten, kini kita meyakini bahwa suap jabatan itu memang ada. Bupati Sri “ketiban sial saja,” ketahuan. Padahal praktik semacam ini meluas, mungkin terjadi di banyak daerah. Tapi mungkin lebih banyak yang selamat dari endusan aparat.
Undang-Undang Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mewajibkan adanya keterbukaan dalam pengisian jabatan. Walaupun tuduhan adanya suap sampai puluhan triliun rupiah per tahun perlu dibuktikan, bukan hanya data dibesar-besarkan atas dasar kali-kalian dari peristiwa Klaten.
Memang berat mengubah tradisi pengisian jabatan yang selama ini sangat longgar, ada di antara kepala daerah “main tunjuk saja” yang terkadang atas dasar subjektivitas. Adanya mutasi massal pasca Pilkada mengindikasikan unfairness itu.
Ada pula sanksi tegas terhadap siapa saja yang terlibat dalam suap jabatan. Namanya juga suap, pemberi dan penerimanya harus dihukum. Ini bertujuan agar ada efek jera, juga menghapuskan perilaku menyimpang yang tergolong aib besar itu.
Jika seleksi pengisian jabatan dilakukan secara terbuka, harus ada jaminan bahwa seleksi itu benar-benar objektif. Jangan sampai suap itu beralih dari kepala daerah kepada tim seleksi. Inti persoalan memang pada manusianya. Runyamnya, faktor manusia Indonesia inilah yang menjadi trouble maker dalam banyak kejadian.
Hiruk-pikuk suap jabatan dan dalam waktu bersamaan kakunya mutasi jabatan menjadi tantangan bagi DPR RI dalam merevisi Undang-Undang ASN. Diharapkan, para legislator mendalami benar apa sumber permasalahannya. Adanya dilema atas nama lelang terbuka yang juga memperlambat pengisian jabatan. Apa pun keputusannya satu hal yang pasti: praktik suap jabatan sungguh mengerikan.
Ketua Ombudsman RI
BISIK-bisik soal adanya suap jabatan bukan hal baru. Sejak lama aromanya merebak ke mana-mana. Konon ada uang suap guna memperoleh suatu jabatan. Tapi minim bukti. Sungguhpun di tingkat pusat tidak totally free dari isu suap jabatan, tapi artikel ini khusus membahas suap jabatan di pemerintah daerah saja.
Adalah Sri Hartini, bupati Klaten yang meyakinkan publik adanya suap untuk memperoleh jabatan di pemerintah daerah. Bupati yang cukup populer itu tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat, 30 Desember 2016.
Tentu membuat geger bukan hanya bagi publik kabupaten yang dipimpinnya tetapi juga negeri ini. Apalagi sebagian orang sudah lama “menanti” berita seperti ini. Bukti pula bukan jaminan seorang Bupati terpilih dengan suara signifikan pasti amanah.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) terhadap bupati Klaten dan kawan-kawan, KPK mengamankan 8 orang pada Jumat, 30 Desember 2016 sekitar pukul 10.30 WIB di Klaten, Jawa Tengah. Penyidik mengamankan uang sekitar Rp80 juta. Petugas juga mengamankan uang sekitar Rp2 miliar dalam pecahan rupiah dan valuta asing sejumlah USD5.700 dan 2.035 dolar Singapura.
Dalam penggeledahan beberapa hari setelah OTT, KPK menyita uang Rp3,2 miliar dari penggeledahan rumah dinas Bupati Klaten Sri Hartini terkait kasus dugaan korupsi suap untuk mutasi jabatan di pemerintahan kabupaten Klaten.
Uang itu ditemukan di lemari. Rinciannya, uang sejumlah Rp3 miliar ditemukan di lemari kamar dan Rp200 juta ditemukan di lemari kamar bupati.
Sri Hartini adalah bupati Klaten periode 2016-2021 yang dilantik pada 17 Februari 2016. Ia bersama Wakil Bupati Klaten Sri Mulyani mendapatkan perolehan suara sebanyak 321.593 suara atau 48,99%.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun meraih rekor Muri awal 2016 karena terpilih sebagai bupati wanita pertama di Indonesia melalui hasil pemilihan kepala daerah. Suatu prestasi luar biasa dalam upaya mengangkat isu kesetaraan gender.
Potensi Implikasi Politik Dinasti
Mungkin salah juga jika selama ini saya tergolong “tidak terlalu” menyoal adanya politik dinasti dalam batasan tertentu. Batasan yang saya maksudkan misalnya ada keluarga kepala daerah dalam hubungan langsung (anak, istri, suami, saudara kandung) yang ikut mencalonkan diri pada periode berikutnya. Apalagi jika pencalonan itu dilakukan pada wilayah yang berbeda dari sang petahana.
Faham “sesat” saya ini (bagi sebagian orang) juga dengan beberapa alasan. Pertama, bahwa ada banyak keluarga langsung kepala daerah yang sedang menjabat memang memiliki potensi besar. Di antara mereka memang cerdas, berpengalaman, pandai bergaul dan memang memiliki empati terhadap kampung halamannya. Singkatnya “bakal rugi” apabila sosok ini tidak dimanfaatkan.
Alasan kedua, apa salahnya menjadi orang yang kebetulan memiliki hubungan darah dengan seorang kepala daerah incumbent. Seorang anak tidak dapat menolak atau menghindar dari realita bahwa ayahnya seorang kepala daerah.
Suatu realita pula saat ini “anak-anak orang berada” memiliki kesempatan lebih baik memiliki jenjang pendidikan lebih tinggi, bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan kelas dunia. Belum lagi kelengkapan pendidikan yang tidak dimiliki semua orang. Jika semua fasilitas ini dimanfaatkan dengan baik, jangan heran jika kualitas SDM-nya mumpuni di atas rata-rata.
Ada yang memandang soal politik dinasti ini lebih filosofis, bukan atas dasar yuridis semata. Artinya, memang secara yuridis tidak ada yang salah dengan mereka untuk maju sebagai kandidat. Tetapi apabila asas kepatutan dan moral yang dikedepankan, bukankah tidak patut seseorang yang memiliki akses lebih/khusus dengan petahana malah memanfaatkannya.
Faham ini memandang, politik dinasti lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Kasus bupati Klaten sebagai salah satu bukti buruknya akibat yang ditimbulkan oleh politik dinasti. Jabatan bupati Klaten untuk jangka waktu lama hanya berputar di sekitar dua keluarga saja yang tidak sehat untuk demokrasi.
Dinasti dua keluarga yang memegang kekuasaan di Klaten sejak 2000 hingga saat ini adalah keluarga Haryanto Wibowo dan Sunarna. Pada periode 2000–2005, Haryanto dan Sunarna berpasangan menjadi bupati dan wakil bupati Klaten.
Kemudian pada periode selanjutnya, yaitu 2005-2015, Haryanto lengser dan digantikan Sunarna sebagai bupati. Sedangkan wakil Sunarna adalah Sri Hartini, yang merupakan istri Haryanto.
Kembali berselang ke periode berikutnya, yaitu 2016-2021, gantian Sunarna yang lengser dan Sri Hartini menjadi bupati. Wakilnya adalah Sri Mulyani, yang merupakan istri Sunarna.
Meniadakan Kompetisi Memperkukuh Korupsi
Suap jabatan memiliki berbagai implikasi cukup mengerikan bagi upaya kita membangun Indonesia yang sejahtera dan melibatkan semua rakyat. Kesejahteraan adalah hak rakyat yang menjadi kewajiban negara untuk menghadirkannya.
Ada banyak sisi negatif yang diakibatkan oleh suap jabatan. Pertama suap jabatan meniadakan kompetisi. Ada banyak orang yang mungkin tepat menduduki jabatan, tetapi tersingkirkan karena ketiadaan koneksi. Kondisi ini terjadi saat ketersediaan jabatan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kandidatnya.
Akibatnya terjadi “kasak-kusuk” perebutan jabatan secara tidak wajar. Kepala daerah yang korup memandang perebutan jabatan ini sebagai peluang untuk memanfaatkannya.
Kekuasaan yang begitu besar yang ada padanya menjadikan ia dapat berbuat semena-mena dalam pengisian jabatan. Konon berlaku politik balas budi untuk menempatkan orang-orang yang berjasa dan loyal saat pemilihan atau siapa saja yang sanggup membayar untuk jabatan tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, tentu kompetisi ditiadakan. Penempatan orang dalam jabatan tanpa kompetisi sangat tidak sehat bagi upaya pemberian pelayanan publik terbaik. Jika jabatan didapat dengan cara menyuap maka sangat mungkin ada upaya mengembalikan biaya suap melalui jabatan yang didudukinya.
Suap jabatan makin memperkukuh posisi Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Banyak yang sulit percaya ketika bupati menerapkan tarif untuk jabatan-jabatan yang diisi atas dasar kewenangannya.
Pada kasus suap Bupati Klaten Sri Hartini, ditemukan catatan yang memuat daftar harga jabatan yang dilelang. Lengkap mulai dari eselon I hingga hanya staf tata usaha (TU) puskesmas.
Daftar rahasia yang bocor ini tentu memprihatinkan kita. Isu yang berkembang bahwa suap jabatan berlangsung di banyak tempat di Indonesia. Komisi Aparatur Sipil Negara memprediksi uang yang beredar dalam praktik jual-beli jabatan di pemda mencapai Rp45 triliun per tahun.
Walaupun tentu saja daftar yang beredar ini masih harus dibuktikan kebenarannya, membandingkan uang yang disita dengan kondisi di lapangan maka sangat mungkin tarif semacam ini benar-benar dilakukan. Apalagi pola suap untuk mendapatkan jabatan ini memang menggejala di banyak daerah.
Suap jabatan juga membuktikan bahwa korupsi memang penyakit kronis di negeri ini. Korupsi yang sudah merasuk dalam sukma birokrasi yang sudah pasti merusak sendi-sendi bernegara. Pelayanan publik yang diharapkan tidak akan tercapai karena dihadapkan kepada pejabat publik bukan karena kompetensinya.
Kerugian negara akibat suap jabatan tidak berhenti begitu saja setelah suap terjadi. Kerugian negara tersebut berlanjut karena pejabat hasil suap tersebut berusaha mengembalikan modal suapnya.
Mereka akan menyunat anggaran yang menjadi kendalinya. KASN dan Kemenpan RB memperkirakan kerugian negara mencapai Rp350 triliun sebagai efek domino dari jual-beli jabatan tersebut.
Bagaimana ke Depan?
Kita tidak menggeneralisasi suatu kejadian. Ada keyakinan bahwa masih ada kepala daerah yang memiliki komitmen menjalankan amanahnya.
Kepala daerah yang bekerja sepenuh hati, membebaskan diri dari praktek-praktek KKN. Ironisnya, para kepala daerah golongan ini dicemari oleh kepala daerah yang tertangkap KPK.
Kita harus tetap memiliki harapan. Walaupun pasca tertangkapnya Bupati Klaten, kini kita meyakini bahwa suap jabatan itu memang ada. Bupati Sri “ketiban sial saja,” ketahuan. Padahal praktik semacam ini meluas, mungkin terjadi di banyak daerah. Tapi mungkin lebih banyak yang selamat dari endusan aparat.
Undang-Undang Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mewajibkan adanya keterbukaan dalam pengisian jabatan. Walaupun tuduhan adanya suap sampai puluhan triliun rupiah per tahun perlu dibuktikan, bukan hanya data dibesar-besarkan atas dasar kali-kalian dari peristiwa Klaten.
Memang berat mengubah tradisi pengisian jabatan yang selama ini sangat longgar, ada di antara kepala daerah “main tunjuk saja” yang terkadang atas dasar subjektivitas. Adanya mutasi massal pasca Pilkada mengindikasikan unfairness itu.
Ada pula sanksi tegas terhadap siapa saja yang terlibat dalam suap jabatan. Namanya juga suap, pemberi dan penerimanya harus dihukum. Ini bertujuan agar ada efek jera, juga menghapuskan perilaku menyimpang yang tergolong aib besar itu.
Jika seleksi pengisian jabatan dilakukan secara terbuka, harus ada jaminan bahwa seleksi itu benar-benar objektif. Jangan sampai suap itu beralih dari kepala daerah kepada tim seleksi. Inti persoalan memang pada manusianya. Runyamnya, faktor manusia Indonesia inilah yang menjadi trouble maker dalam banyak kejadian.
Hiruk-pikuk suap jabatan dan dalam waktu bersamaan kakunya mutasi jabatan menjadi tantangan bagi DPR RI dalam merevisi Undang-Undang ASN. Diharapkan, para legislator mendalami benar apa sumber permasalahannya. Adanya dilema atas nama lelang terbuka yang juga memperlambat pengisian jabatan. Apa pun keputusannya satu hal yang pasti: praktik suap jabatan sungguh mengerikan.
(poe)