Pupuk Pungli

Selasa, 31 Januari 2017 - 08:30 WIB
Pupuk Pungli
Pupuk Pungli
A A A
Asep Sumaryana
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP Unpad

BILA ada seorang kepala dinas (kadis) di salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat terkecoh oleh penipu yang mengaku Tim Saber, bisa jadi itu bukan satu-satunya korban. Setidaknya ada pengakuan diri atas praktik seperti itu di instansinya.

Atau, mungkin anggota tim tersebut pun dipersepsikan dapat disuap seperti tim lain, termasuk hakim MK yang beberapa waktu tertangkap. Bahkan mungkin ada sangkaan bahwa sejumlah anggota tersebut menjadi bagian dari masalah pungli sebelumnya.

Mungkin saja pungli masih sulit dihilangkan sepanjang lahan, benih, dan pupuknya masih tersedia dan efektif untuk menumbuh-suburkannya. Mental instan masyarakat menjadi pemupuk aktivitas menyesatkan di atas. Dampaknya, sejumlah aktivitas menjadi bagiannya. Bukan hanya untuk masuk kerja dan promosi jabatan publik, masuk sekolah serta perbaikan ujian pun seringkali diwarnai hal serupa.

Kondisi tersebut menjadi peluang bagi oknum untuk mengeruk keuntungan finansial. Dengan demikian, keberhasilan karier publik dikaitkan dengan sejumlah pengorbanan yang dikeluarkan di luar prestasi dirinya.

Kebutuhan
Boleh jadi kebutuhan materialistis mengalahkan kejujuran, keikhlasan, dan kebaikan lain. Maraknya kepamrihan berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan di atas.

Bila demikian adanya, sejumlah tugas pokok dan fungsi bisa dikemas untuk mencoba mencari tambahan agar dapat memuaskan apa yang diinginkannya. Tidak heran bila rusaknya lingkungan berkaitan dengan penyimpangan dalam perizinan ruang.

Munculnya pejabat yang korup berkaitan dengan kualitas pejabat yang tidak terseleksi secara cermat akibat pembelian jabatan. Lemahnya penegakan hukum pun tidak lepas dari daya beli perkara oleh pihak yang sedang beperkara.

Potret di atas menunjukkan nilai mulai melemah dengan menguatnya kebutuhan seperti Dananjaya (1986) tuliskan. Simbol kebaikan yang dibangun menjadi kemasan untuk mendapat persepsi agar orang lain percaya kepada dirinya sebagai orang ikhlas kendati dirinya culas.

Agama pun menjadi tameng agar dirinya dianggap tulus kendati bulus. Prilaku di atas memanfaatkan persepsi simbolis yang bertumpu pada kehadirannya di tempat ibadah, bukan dari prilaku keseharian dalam memperlakukan orang lain. Tidak heran kalau diskusi panjang lebih alot dalam membahas sejumlah fenomena yang belakangan marak.

Bila hal di atas berkembang, orang menjadi mudah disusupi pengaruh yang berangkat dari kebutuhan pihak yang memengaruhinya. Diskusi menjadi panjang dan liar tanpa ujung dalam masyarakat yang no action talk only (NATO).

Kelompok ini semakin banyak dan menggemari diskusi di warung kopi tentang ihwal yang idealis walaupun bila prilakunya sering pragmatis. Tidak heran bila dalam sejumlah pemilu/kada pun money politics menjadi pemandangan biasa di tengah masyarakat yang hipokrit seperti Mochtar Lubis (1981) tuliskan. Praktik ini pun dapat ditemui untuk menjadi pejabat seperti menunjukkan belum berhasilnya reformasi birokrasi dan revolusi mental.

Potret di atas menunjukkan merit system masih belum mampu mengalahkan spoil system kendati open bidding ataupun UU ASN dijalankan. Boleh jadi, sejumlah praktik yang diskenariokan untuk memperbaiki keadaan terpental oleh pihak yang berlomba memenuhi kebutuhannya.

Tatkala pihak tersebut ada di level legislatif, sejumlah kebijakan politik akan lahir untuk memfasilitasi kesesatan tersebut. Demikian halnya tatkala kebutuhan biaya untuk pemilu/kada menjadi penting, apa pun nilai yang berlaku akan dikemas agar di dalamnya bisa memfasilitasi pemenuhan kebutuhannya.
Dampaknya, publik memersepsikan keburukan seperti itu sebagai kewajaran dan ikut larut di dalamnya agar kebutuhannya tidak terdamparkan.

Prestise
Bila praktik suap bertahan, pihak yang disuap menempatkannya sebagai kelumrahan atas pelayanan yang diberikan. Kebiasaan seperti itu akan menimbulkan kekagetan tatkala pelayanannya tidak berujung bayaran.

Dengan sejumlah alasan rasional, hal tersebut akan melahirkan ide untuk mengomersialkan pelayanan untuk memperoleh tambahan seperti pernah Hommans (1965) tuliskan. Sahwat seperti itu muncul akibat jabatan dipersepsikan dengan ketersediaan materi yang berlimpah.

Akibat itu, sejumlah pejabat menjadi minder tatkala tidak bermateri. Dengan demikian, aparat ataupun pejabat yang lemah moral berusaha menghimpun sejumlah dana melalui komersialisasi pekerjaannya untuk membeli jabatan yang prestisius.

Agaknya orientasi hasil sudah melekat dalam diri pelayan publik. Dampaknya, nilai perjuangan sering tidak dihargai bila hasil yang bersifat material minimal. Tidak heran ketika jabatan mensyaratkan jenjang pendidikan tertentu, lembaga pendidikan yang mudah memberikan gelar akan dicarinya.

Ketika dipersyaratkan menulis karya ilmiah, calo pembuatnya juga telah tersedia pula. Dengan demikian, pengeluaran materi pun menjadi besar untuk berburu jabatan dengan instan. Kondisi seperti itu melemahkan daya juang yang bertumpu pada kapasitas intelektual dan kompetensi teknis lainnya seperti Bowman (2010) tuliskan.

Untuk mengangkangi praktik di atas, perubahan mindset menjadi penting. Orientasi proses patut dikembangkan dalam organisasi publik. Berangkat dari keluarga, upaya tersebut dapat diperjuangkan.

Orang tua tidak boleh menghargai anak dari peringkat tinggi di sekolahnya. Keluarga juga tidak boleh melihat penghasilan besar suami/istri di kantornya. Demikian juga masyarakat tidak boleh silau dengan tongkrongan kendaraan aparat/pejabat tanpa diketahui jabatan dan pekerjaan kesehariannya.

Untuk itu, revolusi mental perlu dimulai dengan sistematika yang difokuskan pada aparat dan pejabat publik. Penghargaan terhadap pekerja keras, cerdas, dan jujur patut digelorakan agar nafsu serakah terempas.

Kontrol sosial menjadi penting, baik keluarga maupun masyarakat di mana pejabat/aparat berada. Kebanggaan atas hasil sudah harus dikurangi bila irasional dengan kedudukannya di organisasi publik. Atasan di kantornya harus menelusuri perolehan materi yang dimiliki bawahannya bila mencolok.

Penelusuran tersebut akan mengklarifikasi sumber perolehan tersebut. Tatkala janggal, bisa dilakukan teguran dan pembinaan agar berubah menjadi pejuang dengan pengabdian yang baik terhadap pekerjaannya. Demikian halnya bila ternyata legal dan rasional, atasan harus mampu memberikan penghargaan dan memotivasi yang lainnya untuk menjadi pejuang seperti yang dilakukannya.

Upaya di atas harus disertai dengan pengawalan dari persepsi masyarakatnya. Tugas ulama untuk mengubah persepsi jamaah agar menjadi pejuang dan menghargai perjuangan hidup siapa pun secara halalal toyibban.

Kesuksesan ulama terletak pada penurunan praktik suap masyarakat terhadap aparat/pejabat publik ketika mengurus keperluan dirinya. Sukses atasan terletak pada pengurangan praktik pungli yang dilakukan bawahannya. Bila masih besar, pungli akan tetap bertahan kendati disediakan Saber Pungli karena pupuknya masih tersedia banyak dan efektif.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0719 seconds (0.1#10.140)