Hakim Konstitusi Tak Gentar

Senin, 30 Januari 2017 - 08:25 WIB
Hakim Konstitusi Tak...
Hakim Konstitusi Tak Gentar
A A A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum, Pengajar Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi Universitas Bosowa, Makassar

UNTUK kedua kali hakim Mahkamah Konstitusi (MK) terjerat jaring operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) karena diduga menerima suap terkait perkara yang ditangani (25/1/2017).

Sebelumnya Ketua MK Akil Mochtar (Oktober 2013) ditangkap tangan KPK dan saat ini menjalani pidana penjara seumur hidup. Kali ini hakim Patrialis Akbar kembali ditangkap tangan KPK karena diduga menerima pemberian atau janji dengan maksud memengaruhi putusan pengujian (judicial review) UU Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ada dugaan Patrialis bermain mata dengan pemohon uji materi agar permohonannya dikabulkan.

Dua peristiwa itu bukan hanya memprihatinkan, apalagi memalukan, melainkan sudah masuk pada “tahap mengerikan”. MK telah gagal belajar pada kasus serupa karena masih ada oknum hakim yang “tidak gentar” pada intaian KPK dan ancaman hukuman berat jika melakukan korupsi.

Padahal, menurut Ketua MK Arief Hidayat saat jumpa pers (26/1/2017), dia selalu mengingatkan para hakim MK untuk menjaga kehormatan dan martabat hakim MK. Arif menyebut KPK ikut memantau kinerja MK dan menduga ponsel para hakim disadap.

Hal itu juga mengonfirmasi bahwa masih ada hakim konstitusi yang belum memahami bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). MK yang pada awalnya sangat dipercaya publik sebagai benteng yang kokoh dalam penegakan hukum, bahkan pernah ada pengacara di Makassar yang menyampaikan kepada saya bahwa ada kliennya yang bersoal di pengadilan perdata mengenai kasus tanah meminta agar gugatannya dicabut dan dialihkan ke MK. Itu salah satu bentuk apresiasi dan kepercayaan publik dan pencari keadilan terhadap MK.

Negarawan dan Integritas
Bagaimana MK menjadi benteng terakhir hukum kalau ada oknum hakimnya yang lulus dari syarat “negarawan” agar menjaga kehormatan dan martabatnya kalau masih tergoda rayuan kepentingan duniawi. Ketika memilih menjadi hakim konstitusi seharusnya persoalan kepentingan diri sendiri dan keluarganya yang bersifat finansial sudah selesai.

Tidak boleh menjadikan jabatan hakim sebagai sarana untuk meraup harta kekayaan secara ilegal dengan menyalahgunakan kewenangan dan amanah rakyat.

Ungkapan yang selalu digaungkan bahwa “hakim adalah wakil Tuhan di dunia” tidak akan pernah bermakna kalau keadilan sudah dijadikan lahan bisnis untuk mengumpulkan harta. Sembilan tiang kokoh MK yang dianalogikan terhadap sembilan hakim konstitusi pada akhirnya juga akan goyah.

Tiang itu bisa roboh akibat moralitas yang lemah dan rentan disusupi kepentingan duniawi. Tidak butuh buldoser untuk merobohkan pertahanan keadilan MK. Cukup dengan iming-iming uang kepada oknum hakimnya yang sejak awal ditengarai rapuh integritasnya.

Marwah MK kembali terperosok ke lubang yang sama. Padahal, setelah kasus pertama 2013 para hakim konstitusi dan pegawai MK mulai membangun kembali citranya. Kasus OTT KPK dan berbagai bisik-bisik oleh pencari keadilan terhadap sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan uji materi undang-undang terhadap UUD 1945 bahwa ada oknum hakim MK yang bisa memainkan putusan bukan isapan jempol.

Integritas sebagai salah satu elemen bagi seorang negarawan belum sepenuhnya melembaga dan terpatri dalam hati sebagian hakim MK.

Integritas merupakan nilai-nilai utama yang mengilhami lahirnya kejujuran, moralitas, ketegasan, dan satunya kata dengan perbuatan. Hakim konstitusi yang negarawan akan menjaga integritasnya dengan menempatkan kepentingan bangsa dan masyarakat di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Semua tindakan, ucapan, dan pengambilan keputusan selalu dilandasi nilai-nilai kebenaran dan rasa keadilan masyarakat (keadilan substantif).

Mereka yang menyandang jabatan hakim konstitusi yang selalu dipanggil “yang mulia” akan selalu menjaga harkat dan martabatnya. Apa pun risiko dari kebenaran dan keadilan yang diyakininya dalam memeriksa, mengadili, dan menjatuhkan putusan tidak akan mempan tekanan dan intervensi, apalagi hanya sekadar godaan fulus. Semoga kasus ini yang terakhir dan kesigapan Dewan Etik MK yang bergerak cepat menelusuri dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi patut diapresiasi.

Hukum Tidak Otonom
Ternyata “teori sibernetik” yang dikemukakan Talcott Parson, sosok sosiolog yang mengajar di Harvard University sejak 1927 sampai wafat 1979, bahwa dalam realitasnya hukum tidak pernah otonom. Kenapa begitu?

Menurut Parson, karena dalam kenyataan hukum (positif) selalu dipengaruhi dan diintervensi oleh faktor-faktor nonhukum (sosial) sejak pembentukan sampai pelaksanaannya. Faktor nonhukum dimaksud adalah aspek ekonomi, kekuatan politik (kekuasaan), sosial, dan budaya hukum masyarakat.

Indikasi dugaan intervensi pembentukan undang-undang dari kekuatan ekonomi pernah heboh pada 2011. Saat itu DPR dikritik oleh Ketua MK Mahfud MD. Isunya, ada dugaan terjadi jual-beli pasal dalam pembahasan undang-undang tertentu.

Kendati dugaan itu dibantah, tetap saja memberi pengaruh negatif pada publik terhadap DPR saat membahas dan menetapkan undang-undang.

Kritik juga muncul lantaran secara kasatmata kinerja sebagian oknum anggota DPR memprihatinkan. Sebut saja, saat rapat paripurna begitu banyak kursi kosong, padahal akan memutuskan sesuatu yang amat prinsipiil bagi kepentingan rakyat yang diwakili. Begitu pula, saat hukum diimplementasi, malah jauh lebih parah. Pengaruh uang, intervensi politik (kekuasaan), atau tekanan sosial menjadi pemandangan hampir setiap waktu.

Hukum bisa diam tak bergerak terhadap kasus tertentu meskipun meresahkan masyarakat apabila menyentuh oknum pejabat negara atau golongan tertentu. Tetapi bisa juga melangkah dengan cepat, bahkan berlari kencang kalau orang yang berkasus melawan kehendak kekuasaan.

Ada juga karena tekanan kuat warga masyarakat (sosial) melalui unjuk rasa lantaran penegak hukum lamban memproses seseorang yang diduga mencederai keutuhan bermasyarakat dalam bingkai NKRI.

Semuanya menyatu laksana jalinan yang tidak terputus dan kuat. Kemudian KPK terus melakukan OTT karena masih banyak penyelenggara negara yang tidak gentar melakukan korupsi. KPK ingin memutus mata rantai dari perilaku koruptif secara berjamaah yang mengancam kelangsungan pembangunan dan pemenuhan kesejahteraan rakyat. Untuk mengatasi itu, pemerintah dan aparat hukum harus tegas dan berani keluar dari belenggu teori yang dikemukakan Parson.

Pembentukan dan penegakan hukum harus mandiri (otonom) dari pengaruh kekuatan di luar hukum. Polisi, jaksa, pengacara, dan hakim, termasuk anggota legislatif dan kepala daerah, tidak boleh merusak tatanan kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang dibangun melalui peraturan perundang-undangan. Jangan menegakkan hukum dengan cara yang satu diangkat dan yang lainnya diinjak seperti saat membelah bambu atau “penegakan hukum belah bambu”.

Jika pun produk legislasi dipahami sebagai proses politik seperti disebut William J Chambliss dan Robert B Seidman bahwa dimungkinkan munculnya ”tekanan” berupa masukan yang akan memberikan warna, pelaksanaannya harus bebas dari virus kepentingan tertentu.

Penafsiran yuridis yang mengadopsi keadilan substantif harus menjadi acuan agar nilai-nilai substansial suatu produk hukum memenuhi tujuan asasinya, yaitu keadilan yang bermanfaat bagi rakyat banyak, bukan semata-mata memenuhi kepastian hukum.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5776 seconds (0.1#10.140)