Membatasi Bisnis Liar Pertanahan

Senin, 30 Januari 2017 - 07:45 WIB
Membatasi Bisnis Liar...
Membatasi Bisnis Liar Pertanahan
A A A
Candra Fajri Ananda
Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini mengungkapkan akan melakukan reformasi besar-besaran di sektor pertanahan. Saat ini pemerintah sedang pada tahap persiapan penyusunan nomenklatur kebijakan yang sesuai dengan kondisi yang tengah berkembang.

Jika kita simak berdasarkan isu yang paling sering dibahas, sepertinya wacana pengenaan pajak progresif untuk beberapa kriteria di bidang pertanahan menjadi simulasi kebijakan yang sedang dimatangkan. Tanah-tanah yang terbilang nganggur dalam jangka waktu tertentu akan mendapat kenaikan tarif pajak yang signifikan.

Rencana kebijakan ini sejalan dengan dua misi utama, yakni untuk ekstensifikasi objek-objek pajak potensial beserta peningkatan produktivitas sektor riil khususnya yang terkait dengan pertanahan.

Wacana kebijakan pajak progresif mulai bergulir sejak Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengungkapkannya ke berbagai media, satu-dua pekan lalu. Publik ikut menyorot perkembangannya lantaran kriteria-kriteria pengenaan pajak progresif dirasa belum cukup clear.

Kementerian ATR masih terus berkoordinasi dengan Menko Perekonomian dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) untuk mengkaji bagaimana mekanisme penerapannya. Ketiganya menyampaikan informasi yang senada mengenai latar belakang kebijakan, yakni untuk membatasi pola saving yang salah atas tanah.

Masyarakat kini memang semakin tergiur menjadikan tanah sebagai alat berinvestasi, tetapi celakanya tanah yang dikuasai tidak dikelola secara optimal sehingga harganya terus melangit, sedangkan fungsinya semakin tereduksi. Alasan inilah yang membuat Menteri Keuangan ikut menjelaskan bahwa tujuan dari pengenaan pajak progresif juga untuk ikut menekan tingkat kesenjangan. Dengan demikian bisa disarikan bahwa perombakan pajak pertanahan diharapkan ikut menyelesaikan berbagai soal kebangsaan.

Para pengayom pengusaha di bidang properti mulai ikut meramaikan ruang opini. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai positif langkah ini lantaran akan mencegah pertumbuhan spekulan dan memacu produktivitas.

Sementara Indonesia Property Watch lebih kritis dengan mempertanyakan bagaimana kriteria pengenaan pajak progresif. Misalnya mengenai durasi tanah yang dikatakan nganggur, apakah ada batasan tahun yang dapat dijadikan alasan pengenaan pajak tambahan.

Karena beberapa investor properti biasanya menerapkan konsep cadangan lahan (land bank) untuk investasi. Mereka baru mengaktifkan tahap pembangunan biasanya setelah tahun ketiga setelah lahan diserahkan oleh pemilik sebelumnya. Jadi jangan sampai aturan ini justru menghambat perkembangan sektor properti yang sekarang sedang masa-masa keemasan.

Bidang pertanahan memang sedang di ambang krisis jika tidak segera diluruskan kembali bagaimana mekanisme pengaturannya. Sementara ini pemerintah sedang memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar untuk pengembangan produktivitas pertanian serta peningkatan infrastruktur, khususnya akses transportasi dan perumahan.

Yang patut kita renungkan, sering kali kedua misi memiliki kontradiksi yang kuat karena sering terjadi “perebutan” lahan. Bahkan keduanya untuk menjaga level pertumbuhannya bisa dengan cara saling “tikam”.

Sebagai simulasi, dalam proses pengembangan infrastruktur biasanya yang paling mudah “dikorbankan” ialah lahan pertanian. Ini karena harganya dapat dikatakan yang paling terjangkau bila dibandingkan dengan mengambil lahan-lahan lain.

Tingkat konversi lahan dari fungsi pertanian menjadi non-pertanian pun sudah dalam tahap semakin mengkhawatirkan. Hasil kajian Anny Mulyani dkk (2016) yang dilakukan di sembilan daerah sentra padi Indonesia (Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan beberapa daerah potensial lain), jika kita akumulasikan seberapa banyak perubahan fungsi lahan yang tersedia, sepanjang tahun 2000–2015 rata-rata lahan pertanian yang hilang mencapai 12.347 hektare per tahun.

Mencoloknya alih fungsi lahan pertanian sekaligus ikut menandakan masa krisis di bidang pertanahan dari sisi pemerataan. Akses kepemilikan semakin terbatas hanya pada warga yang memiliki daya kapital tinggi sehingga sangat wajar jika kalangan yang terhitung marginal seperti halnya petani dan beberapa masyarakat kelas menengah bawah semakin sulit untuk membeli tanah.

Kalangan petani bahkan sudah cukup berat untuk sekadar mempertahankan lahannya, apalagi untuk berangan-angan melakukan perluasan/penambahan lahan. Permasalahan kronis alih fungsi lahan yang sering menjadi tidak terkendali ditengarai karena sektor pertanian sendiri sedang mengalami “pelemahan” struktural.

Yang paling mencolok dapat kita amati dari tingkat pendapatan yang diterima petani yang seringkali berada di bawah batas minimum biaya untuk hidup sejahtera. Kondisi yang timpang kemudian “dimanfaatkan” orang-orang kaya untuk memperluas lahan investasinya.

Belum lagi dengan munculnya spekulan-spekulan tanah yang ikut meningkatkan biaya transaksi di setiap proses peralihan. Parahnya lagi para spekulan ini membiarkan tanah tersebut hingga mubazir sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya instrumen kelembagaan yang berkembang tidak berhasil mengantisipasi adanya ketimpangan dan segala kerumitan di bidang pertanahan.

Langkah pemerintah menurut penulis sudah sangat tepat untuk segera menindak persaingan bisnis pertanahan agar tidak tumbuh menjadi semakin “liar” dan tidak terkendali.

Tantangan yang Siap “Menikam”
Tugas pemerintah untuk mengamankan fungsi dari pajak progresif pertanahan akan mendapat banyak tantangan. Yang pertama, pemerintah harus meyakinkan bahwa misi besar ini bukan semata-mata bersifat bujeter, melainkan lebih besar untuk tujuan mengendalikan fungsi pemerataan dan produktivitas.

Peningkatan tarif pajak perlu diikuti dengan langkah persuasif agar tujuannya betul-betul bisa dipahami para pelaku ekonomi yang terlibat. Apalagi masyarakat kita cenderung “pintar”memanfaatkan celah-celah yang terselubung. Pemerintah bisa belajar dari skema pajak progresif untuk kendaraan bermotor yang rupa-rupanya belum cukup mengendalikan pola kepemilikan kendaraan.

Kedua, jika wacana kebijakan pajak progresif nantinya akan berupa kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) pada beberapa kriteria tertentu, perlu diikuti dengan perubahan/penyesuaian Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Tarif PBB perkotaan dan perdesaan (PBB P2) dan PBB perkebunan, kehutanan, dan pertambangan (PBB P3) juga perlu disesuaikan. Detail yang terkait dengan mekanisme, jenis pajak, dan tata cara pemajakannya perlu merangkum skema insentif dan disinsentif.

Tujuannya sekali lagi agar proses pengenaan pajak progresif tidak bersifat trade-off terhadap misi-misi pembangunan lainnya, termasuk misi pembangunan besar-besaran untuk pengembangan produktivitas pertanian dan penyediaan permukiman rakyat. Selain berupa PBB, pemerintah juga dapat menerapkan skema progresif melalui pajak penghasilan (PPh) untuk setiap peralihan kepemilikan.

Ketiga, perlu ada strategi khusus untuk memutus rantai ekonomi para spekulan tanah. Investasi ala spekulan-spekulan inilah yang selama ini menghambat produktivitas dan menimbulkan spekulasi harga tanah.

Sebagai langkah awal, harus ada definisi yang jelas mengenai spekulan. Karena sesuai dengan keresahan Indonesia Property Watch tadi, jika tidak ada parameter yang tegas, kebijakan ini justru akan menimbulkan ambiguitas antara aktivitas spekulan dan karakter investasi properti yang seringkali membutuhkan lag waktu untuk melakukan pembangunan.

Cara pencegahan yang paling sederhana bisa ditempuh misalnya dengan pengawasan di setiap transaksi peralihan kepemilikan. Calon pembeli perlu “diperiksa” bagaimana nantinya fungsi tanah yang akan dibeli, apakah memang murni untuk aktivitas pengembangan usaha/pembangunan properti atau sekadar “coba-coba”.

Keempat, pemerintah juga perlu mempersiapkan langkah preventif di luar aturan perundang-undangan agar pemerataan dan produktivitas (khususnya bagi petani dan masyarakat kelas menengah bawah) terus terjaga. Titik fokusnya dapat diawali dari sisi penanganan ketimpangan pendapatan,misalnya antara petani dan nonpetani yang saat ini relative memiliki kesenjangan yang cukup tinggi.

Tujuan dari penerapan pajak progresif perlu terus dikawal agar sesuai dengan misi-misi mulianya. Selain untuk menjaga agar produktivitas dan harga lahan tetap terkendali, kebijakan ini juga merangkum aspek pemerataan untuk hak kepemilikan lahan.

Dengan problem ketimpangan yang sekarang ini sudah terjadi, bisa kita bayangkan bagaimana mirisnya ketika banyak lahan yang sengaja “ditidurkan” di tengah banyaknya masyarakat yang membutuhkan lahan yang terjangkau untuk kegiatan sosial ekonominya. Karena itu mudah-mudahan kebijakan pajak progresif ini bisa mendorong perbaikan pada beberapa soal yang terjadi di negara yang kita cintai ini.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6272 seconds (0.1#10.140)