Pengawas Eksternal terhadap MK Kebutuhan Mendesak
A
A
A
JAKARTA - Pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) oleh lembaga eksternal dinilai sebagai hal mendesak saat ini. Hal itu dinilai perlu sebagai upaya darurat untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap MK, pasca penetapan tersangka Hakim Konstitusi Patrialis Akbar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terlebih, kasus yang menyeret hakim konstitusi itu bukan yang pertama kali. Sebelumnya, mantan Ketua MK Akil Mochtar sudah lebih dahulu mendekam di penjara atas kasus suap perkara di lembaga peradilan konstitusi itu.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan mengaku, menarik pernyataannya dua tahun yang lalu menolak untuk dilakukan pengawasan eksternal terhadap MK.
"Saat ini saya berpendapat wajib hukumnya, sebagai affirmative action bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial dan badan adhoc yang berada di luar MK, langkah ini harus diambil sebagai upaya darurat untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap MK," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/1/2017).
Di samping itu, dia meminta pemerintah segera mengusulkan revisi Undang-undang (UU)Tentang MK untuk segera dibahas bersama DPR. Revisi UU MK itu, terutama mengenai rekrutmen hakim konstitusi bukan hanya menghindari potensi kasus Patrialis dan Akil terulang kembali.
"Akan tetapi telah menjadi bukti yang sempurna bahwa walaupun kita kesankan 9 orang hakim ini negarawan, akan tetapi ternyata nafsu keduniawiannya dan hasrat setan lainnya masih melekat dan kental sekali oleh karena itu wajib diawasi. Tinggal kita bicara instrumen dan bentuk konkritnya seperti apa," papar mantan pengacara yang sering berperkara di MK ini.
Terlebih, kasus yang menyeret hakim konstitusi itu bukan yang pertama kali. Sebelumnya, mantan Ketua MK Akil Mochtar sudah lebih dahulu mendekam di penjara atas kasus suap perkara di lembaga peradilan konstitusi itu.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan mengaku, menarik pernyataannya dua tahun yang lalu menolak untuk dilakukan pengawasan eksternal terhadap MK.
"Saat ini saya berpendapat wajib hukumnya, sebagai affirmative action bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial dan badan adhoc yang berada di luar MK, langkah ini harus diambil sebagai upaya darurat untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap MK," ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (29/1/2017).
Di samping itu, dia meminta pemerintah segera mengusulkan revisi Undang-undang (UU)Tentang MK untuk segera dibahas bersama DPR. Revisi UU MK itu, terutama mengenai rekrutmen hakim konstitusi bukan hanya menghindari potensi kasus Patrialis dan Akil terulang kembali.
"Akan tetapi telah menjadi bukti yang sempurna bahwa walaupun kita kesankan 9 orang hakim ini negarawan, akan tetapi ternyata nafsu keduniawiannya dan hasrat setan lainnya masih melekat dan kental sekali oleh karena itu wajib diawasi. Tinggal kita bicara instrumen dan bentuk konkritnya seperti apa," papar mantan pengacara yang sering berperkara di MK ini.
(kri)