Twiplomacy Trump
A
A
A
Abdul Halim
Alumnus Sekolah Pascasarjana Program Studi Diplomasi Universitas Paramadina, Jakarta;
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Studies for Humanities)
DONALD John Trump resmi menjabat sebagai presiden Amerika Serikat ke-45 pada Jumat (20/1). Dalam pidatonya, Trump menekankan pentingnya jiwa nasionalis-patriotik untuk mengembalikan kejayaan Amerika Serikat (make America great again).
Di ranah hubungan internasional, Trump menegaskan penghormatannya terhadap kepentingan bangsa-bangsa lain sembari memprioritaskan kepentingan diplomasi Amerika Serikat. Pidato ini diunggah ke Twitter dan Facebook miliknya. Tak pelak, pidatonya disukai oleh lebih dari 344.000 dan dibagikan kembali oleh 76.426 pengikut (followers) Trump di Twitter dan Facebook.
Seperti kita ketahui, Trump menulis beragam cuitan diplomatik yang ditujukan kepada negara sekutu atau mereka yang dianggap sebagai ancaman. Kepada Israel, Trump berpesan “stay strong” karena 20 Januari kian dekat (25 Desember 2016) dan mengolok-olok Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai klub hiburan (27 Desember 2016) menyusul resolusinya untuk menghentikan pendudukan Israel atas Palestina.
Tidak hanya itu, Trump juga menyoal inkonsistensi China di Laut China Selatan dan pembiaran terhadap perilaku Korea Utara (3 Januari 2017). Ia menambahkan, “Korea Utara menebar kebohongan terkait dengan senjata nuklir yang diklaim bisa menjangkau Amerika Serikat” pada 3 Januari.
Menariknya, Trump juga menyinggung Rusia dengan menyebut, “memiliki relasi konstruktif dengan Rusia merupakan hal baik dalam mengatasi pelbagai isu dan problem dunia” (7 Januari).
Trump menyadari sepenuhnya manfaat dan dampak yang timbul dari penggunaan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Betapa tidak, dengan akun @realDonaldTrump, Presiden Amerika Serikat ini memiliki jumlah pengikut (followers) sebanyak 21.562.994.
Sementara di Facebook, followers-nya mencapai 18.583.364. Dengan perkataan lain, sekali cuitan di Twitter dan Facebook, Trump bisa menjangkau 40.146.358 orang secara langsung.
Akankah Trump mengubah gaya diplomasi Twitter-nya? Sepertinya Trump bakal berkata sebaliknya. Apalagi banyak pemimpin dunia dan pelaku diplomatik yang menggunakan media sosial sebagai sarana informasi dan komunikasi politik internasional.
Selain Trump, pemimpin dan pelaku diplomasi dunia yang merasakan manfaat penggunaan media sosial antara lain Presiden Republik Iran Hassan Rouhani (jumlah followers sebanyak 565.353), Presiden Republik Prancis Francois Hollande (followers 1.852.451), Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin (560.665), Kanselir Jerman Angela Merkel (83.770), Paus Francis (10.268.194), Hillary Clinton (12.504.745), Presiden Amerika Serikat Barack Obama (83.059.518), Perdana Menteri Inggris Theresa May (215.244), Direktur IMF Christine Lagarde (386.949), dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (6.709.115).
Inilah era “Twiplomacy”, medium baru diplomasi publik yang digunakan tidak hanya oleh pemimpin dunia atau aktor negara, melainkan juga melibatkan hampir 2 miliar penduduk dunia (non-state actors).
Dalam buku Twitter for Diplomats, Menteri Luar Negeri Italia Giulio Terzi (November 2011-26 Maret 2013) menyebut Twitter memberikan dua dampak positif yang sangat besar: (i) mempercepat pertukaran ide antara pemangku kebijakan (policymakers) dan masyarakat sipil; dan (ii) meningkatkan kemampuan diplomat-diplomat dalam pengumpulan informasi, antisipasi, analisis, kontrol, dan memberi reaksi atas peristiwa-peristiwa tertentu (2013: 7).
Betapa tidak, hanya dengan 140 karakter, Twitter memudahkan penyebaran berita dan opini secara real time, dengan cara yang sederhana dan ringkas, untuk mempercepat pencapaian tujuan kebijakan luar negeri suatu negara.
Statista.com mencatat, pemakai Twitter terbesar berada di Amerika Serikat (67,54 juta), diikuti India (41,19 juta), Indonesia (24,34 juta), Jepang (22,4 juta), China (19,19 juta), Brasil (17,97 juta), Inggris (14,06 juta), dan Meksiko (9,62 juta).
Bagaimana dengan pengguna Facebook? Statista.com menunjukkan, pengguna Facebook terbesar kelima belas di dunia tersebar di India (195,16 juta), Amerika Serikat (191,3 juta), Brasil (90,11 juta), Indonesia (77,58 juta), China (52,87 juta), Meksiko (46,03 juta), Filipina (39,82 juta), Jerman (36,82 juta), Inggris (36,45 juta), Turki (33,09 juta), Prancis (30,39 juta), Jepang (28,21 juta), Italia (28,18 juta), Kanada (22,37 juta), dan Spanyol (21,48 juta).
Kini jumlah pengguna media sosial Twitter dan Facebook meningkat berlipat-lipat. Statista.com menyebut, pada kuartal IV 2015, Twitter memiliki 305 juta pengguna aktif. Sementara Facebook per Januari 2015 telah digunakan oleh 1,59 miliar warga dunia. Pendek kata, Twitter telah mengubah gaya hidup banyak orang.
Di arena kebijakan luar negeri dan diplomasi, teknologi telah membawa perubahan besar atas pola diplomasi tradisional yang berlangsung sejak abad ke-18. Seperti dikatakan Hillary Clinton, “Pemakaian internet telah mengubah setiap aspek dari bagaimana orang di seluruh dunia hidup, belajar, mengonsumsi, dan berkomunikasi. Koneksi teknologi telah mengubah strategi diplomasi abad ke-21”.
Thomas L. Friedman menyebut revolusi teknologi sejak 2007 merupakan faktor penting yang mendorong terjadi perubahan lanskap sosial-politik di banyak negara dan diplomasi internasional, tidak terkecuali di Amerika Serikat dengan terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Hal ini ditandai dengan peluncuran iPhone, Facebook, Twitter, Hadoop, Big Data, Cloud, dan Android (New York Times, 19 November 2016) yang telah memberikan pelbagai kemudahan pengguna internet untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi secara langsung meski tinggal di benua yang berbeda.
Eskalasi pemakaian teknologi ini jika tidak diantisipasi, juga bakal melahirkan ochlocracy atau hukum rimba. Protes massa antipemerintah dan pemberontakan bersenjata yang menimpa Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, dan Libia atau populer dengan sebutan Arab Spring adalah gambaran berlakunya hukum rimba saat legitimasi pemerintah anjlok di depan rakyatnya.
Fenomena twiplomacy Trump juga menggambarkan kekuatan individu untuk membangun kelompok kerja ad hoc-nya dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan memengaruhi komunitas diplomasi internasional demi pencapaian kepentingan nasional Amerika Serikat.
Saking berpengaruhnya, Seoul menugaskan staf kementerian luar negerinya untuk memantau dan menganalisis kebijakan luar negeri Amerika Serikat via cuitan Trump (Telegraph, 05/1).
Fakta ini menunjukkan, efek yang paling signifikan dari twiplomacy, kata Claudio Bisogniero (Duta Besar Italia untuk Amerika Serikat), adalah dunia sedang menyaksikan pergeseran geopolitik kekuasaan.
Diplomasi via Twitter telah mendekatkan pelbagai aktor diplomasi/hubungan internasional, baik negara maupun nonnegara. Dominasi aktor negara bahkan seringkali berganti posisi dengan entitas nonnegara seperti pemuka agama, selebritas, dan lembaga swadaya masyarakat. Mengapa hal ini terjadi?
Di dalam masyarakat, kata filsuf berkebangsaan Slovenia Slavoj Zizek, ada keterhubungan aturan yang tidak tertulis, bagaimana politik bekerja dan konsensus terbangun. Fenomena sarkasme twiplomacy Trump membongkar kesadaran publik dan memaksa semua orang kembali berpikir bahwa perjuangan melawan segala bentuk pelecehan dan penjajahan terhadap martabat kemanusiaan belumlah usai.
Alumnus Sekolah Pascasarjana Program Studi Diplomasi Universitas Paramadina, Jakarta;
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Studies for Humanities)
DONALD John Trump resmi menjabat sebagai presiden Amerika Serikat ke-45 pada Jumat (20/1). Dalam pidatonya, Trump menekankan pentingnya jiwa nasionalis-patriotik untuk mengembalikan kejayaan Amerika Serikat (make America great again).
Di ranah hubungan internasional, Trump menegaskan penghormatannya terhadap kepentingan bangsa-bangsa lain sembari memprioritaskan kepentingan diplomasi Amerika Serikat. Pidato ini diunggah ke Twitter dan Facebook miliknya. Tak pelak, pidatonya disukai oleh lebih dari 344.000 dan dibagikan kembali oleh 76.426 pengikut (followers) Trump di Twitter dan Facebook.
Seperti kita ketahui, Trump menulis beragam cuitan diplomatik yang ditujukan kepada negara sekutu atau mereka yang dianggap sebagai ancaman. Kepada Israel, Trump berpesan “stay strong” karena 20 Januari kian dekat (25 Desember 2016) dan mengolok-olok Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai klub hiburan (27 Desember 2016) menyusul resolusinya untuk menghentikan pendudukan Israel atas Palestina.
Tidak hanya itu, Trump juga menyoal inkonsistensi China di Laut China Selatan dan pembiaran terhadap perilaku Korea Utara (3 Januari 2017). Ia menambahkan, “Korea Utara menebar kebohongan terkait dengan senjata nuklir yang diklaim bisa menjangkau Amerika Serikat” pada 3 Januari.
Menariknya, Trump juga menyinggung Rusia dengan menyebut, “memiliki relasi konstruktif dengan Rusia merupakan hal baik dalam mengatasi pelbagai isu dan problem dunia” (7 Januari).
Trump menyadari sepenuhnya manfaat dan dampak yang timbul dari penggunaan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Betapa tidak, dengan akun @realDonaldTrump, Presiden Amerika Serikat ini memiliki jumlah pengikut (followers) sebanyak 21.562.994.
Sementara di Facebook, followers-nya mencapai 18.583.364. Dengan perkataan lain, sekali cuitan di Twitter dan Facebook, Trump bisa menjangkau 40.146.358 orang secara langsung.
Akankah Trump mengubah gaya diplomasi Twitter-nya? Sepertinya Trump bakal berkata sebaliknya. Apalagi banyak pemimpin dunia dan pelaku diplomatik yang menggunakan media sosial sebagai sarana informasi dan komunikasi politik internasional.
Selain Trump, pemimpin dan pelaku diplomasi dunia yang merasakan manfaat penggunaan media sosial antara lain Presiden Republik Iran Hassan Rouhani (jumlah followers sebanyak 565.353), Presiden Republik Prancis Francois Hollande (followers 1.852.451), Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin (560.665), Kanselir Jerman Angela Merkel (83.770), Paus Francis (10.268.194), Hillary Clinton (12.504.745), Presiden Amerika Serikat Barack Obama (83.059.518), Perdana Menteri Inggris Theresa May (215.244), Direktur IMF Christine Lagarde (386.949), dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (6.709.115).
Inilah era “Twiplomacy”, medium baru diplomasi publik yang digunakan tidak hanya oleh pemimpin dunia atau aktor negara, melainkan juga melibatkan hampir 2 miliar penduduk dunia (non-state actors).
Dalam buku Twitter for Diplomats, Menteri Luar Negeri Italia Giulio Terzi (November 2011-26 Maret 2013) menyebut Twitter memberikan dua dampak positif yang sangat besar: (i) mempercepat pertukaran ide antara pemangku kebijakan (policymakers) dan masyarakat sipil; dan (ii) meningkatkan kemampuan diplomat-diplomat dalam pengumpulan informasi, antisipasi, analisis, kontrol, dan memberi reaksi atas peristiwa-peristiwa tertentu (2013: 7).
Betapa tidak, hanya dengan 140 karakter, Twitter memudahkan penyebaran berita dan opini secara real time, dengan cara yang sederhana dan ringkas, untuk mempercepat pencapaian tujuan kebijakan luar negeri suatu negara.
Statista.com mencatat, pemakai Twitter terbesar berada di Amerika Serikat (67,54 juta), diikuti India (41,19 juta), Indonesia (24,34 juta), Jepang (22,4 juta), China (19,19 juta), Brasil (17,97 juta), Inggris (14,06 juta), dan Meksiko (9,62 juta).
Bagaimana dengan pengguna Facebook? Statista.com menunjukkan, pengguna Facebook terbesar kelima belas di dunia tersebar di India (195,16 juta), Amerika Serikat (191,3 juta), Brasil (90,11 juta), Indonesia (77,58 juta), China (52,87 juta), Meksiko (46,03 juta), Filipina (39,82 juta), Jerman (36,82 juta), Inggris (36,45 juta), Turki (33,09 juta), Prancis (30,39 juta), Jepang (28,21 juta), Italia (28,18 juta), Kanada (22,37 juta), dan Spanyol (21,48 juta).
Kini jumlah pengguna media sosial Twitter dan Facebook meningkat berlipat-lipat. Statista.com menyebut, pada kuartal IV 2015, Twitter memiliki 305 juta pengguna aktif. Sementara Facebook per Januari 2015 telah digunakan oleh 1,59 miliar warga dunia. Pendek kata, Twitter telah mengubah gaya hidup banyak orang.
Di arena kebijakan luar negeri dan diplomasi, teknologi telah membawa perubahan besar atas pola diplomasi tradisional yang berlangsung sejak abad ke-18. Seperti dikatakan Hillary Clinton, “Pemakaian internet telah mengubah setiap aspek dari bagaimana orang di seluruh dunia hidup, belajar, mengonsumsi, dan berkomunikasi. Koneksi teknologi telah mengubah strategi diplomasi abad ke-21”.
Thomas L. Friedman menyebut revolusi teknologi sejak 2007 merupakan faktor penting yang mendorong terjadi perubahan lanskap sosial-politik di banyak negara dan diplomasi internasional, tidak terkecuali di Amerika Serikat dengan terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat.
Hal ini ditandai dengan peluncuran iPhone, Facebook, Twitter, Hadoop, Big Data, Cloud, dan Android (New York Times, 19 November 2016) yang telah memberikan pelbagai kemudahan pengguna internet untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi secara langsung meski tinggal di benua yang berbeda.
Eskalasi pemakaian teknologi ini jika tidak diantisipasi, juga bakal melahirkan ochlocracy atau hukum rimba. Protes massa antipemerintah dan pemberontakan bersenjata yang menimpa Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, dan Libia atau populer dengan sebutan Arab Spring adalah gambaran berlakunya hukum rimba saat legitimasi pemerintah anjlok di depan rakyatnya.
Fenomena twiplomacy Trump juga menggambarkan kekuatan individu untuk membangun kelompok kerja ad hoc-nya dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan memengaruhi komunitas diplomasi internasional demi pencapaian kepentingan nasional Amerika Serikat.
Saking berpengaruhnya, Seoul menugaskan staf kementerian luar negerinya untuk memantau dan menganalisis kebijakan luar negeri Amerika Serikat via cuitan Trump (Telegraph, 05/1).
Fakta ini menunjukkan, efek yang paling signifikan dari twiplomacy, kata Claudio Bisogniero (Duta Besar Italia untuk Amerika Serikat), adalah dunia sedang menyaksikan pergeseran geopolitik kekuasaan.
Diplomasi via Twitter telah mendekatkan pelbagai aktor diplomasi/hubungan internasional, baik negara maupun nonnegara. Dominasi aktor negara bahkan seringkali berganti posisi dengan entitas nonnegara seperti pemuka agama, selebritas, dan lembaga swadaya masyarakat. Mengapa hal ini terjadi?
Di dalam masyarakat, kata filsuf berkebangsaan Slovenia Slavoj Zizek, ada keterhubungan aturan yang tidak tertulis, bagaimana politik bekerja dan konsensus terbangun. Fenomena sarkasme twiplomacy Trump membongkar kesadaran publik dan memaksa semua orang kembali berpikir bahwa perjuangan melawan segala bentuk pelecehan dan penjajahan terhadap martabat kemanusiaan belumlah usai.
(poe)