Sejarah dan Pembangunan Karakter Bangsa
A
A
A
Eko Sulistyo
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
PRESIDEN RI Pertama Soekarno sebagai bapak bangsa adalah pemimpin yang selalu melihat sejarah bukan masa lalu belaka. Bagi Soekarno, sejarah juga akan menentukan arah bangsa ke depan.
Dalam pidatonya, “Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)”, Soekarno mengingatkan bahwa Indonesia sedang melewati periode genting dalam sejarah yang menentukan arah masa depan bangsa. Soekarno pun menyerukan persatuan bangsanya menghadapi segala macam ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.
Pidato Soekarno tersebut mengingatkan bahwa persoalan sejarah bukanlah sekadar masa lalu. Sejarah bisa menjadi medan pembentukan mental dan karakter bangsa.
Mental bangsa yang hendak dibangun Soekarno tercermin dalam konsep Trisakti yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter dalam budaya.
Tiga landasan pembangunan bangsa ini hilang selama kekuasaan Orde Baru dan kembali bergema ketika Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintahannya berlandaskan pada Pancasila dan Trisakti Soekarno.
Dengan Trisakti, Presiden Jokowi mengambil unsur positif dari sejarah masa lalu untuk menjawab tantangan zaman. Inilah visi sebuah pemerintahan yang “menyejarah”, bukan “memperalat sejarah”. Namun, harus dipahami bahwa penulisan sejarah tidaklah bebas dari ruang dan waktu.
Penulisan dan metode sejarah selalu terikat dengan semangat zaman (zeitgeist). Karena itu, dalam historiografi Indonesia menurut sejarawan Kuntowijoyo terdapat tiga tahap perkembangan (Asvi Warman, 2004).
Pertama, gelombang dekolonisasi sejarah, sebuah tuntutan bangsa yang baru merdeka agar juga berdaulat dalam sejarahnya. Tema ini menjadi sentral dalam Seminar Sejarah Nasional I pada 1957 di Yogyakarta. Para sejarawan yang diliputi semangat nasionalis menghendaki perubahan pendekatan sejarah dari “Belanda-sentris” menjadi “Indonesia-sentris”.
Kedua, penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam penulisan sejarah pada Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta pada 1970. Ketiga, periode reformasi sejarah pasca-Orde Baru, di mana penulisan sejarah Orde Baru ditinjau kembali dalam rangka pelurusan sejarah. Seperti para korban Orde Baru mulai menulis sejarahnya sendiri sebagai alternatif dari versi sejarah resmi negara.
Revolusi Mental
Saat ini pendekatan historiografi telah menggabungkan unsur nasionalis, pendekatan sosial, dan pendekatan kritis terhadap sejarah. Dari tiga pengalaman sejarah yang membentuk historigrafi nasional tersebut, pemerintahan Jokowi-JK mempunyai komitmen menjadikan sejarah sebagai bagian dari revolusi mental.
Dengan demikian, revolusi mental bukanlah sesuatu yang turun dari langit, melainkan berbasis pada pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Dalam tulisannya tentang “Revolusi Mental”, saat menjadi calon presiden, Jokowi menjelaskan semua persoalan ekonomi, politik, dan budaya yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah warisan sejarah masa lalu.
Dengan memahami sejarah, bangsa Indonesia dapat mendiagnosis dengan tepat untuk mengobatinya, menuju Indonesia yang lebih baik dengan jalan revolusi mental.
Revolusi mental tidak hanya melakukan pergantian manusia dan restrukturisasi kelembagaan, tapi harus menyentuh mindset yang mengarah pada pembangunan bangsa atau “nation building”.
Dalam rangka ini pemerintah saat ini memilih pendekatan “Indonesia-sentris”, bukan “Jawa-sentris” lagi dalam kebijakan pembangunan. Tujuannya untuk mempercepat kesejahteraan di wilayah-wilayah timur dan daerah-daerah terluar Indonesia yang kini mulai terasa manfaatnya.
Mengarusutamakan pendekatan sejarah sebagai bagian dari revolusi mental kepada masyarakat harus disesuaikan dengan situasi zaman dan generasi baru yang hidup pada era globalisasi yang telah disatukan oleh internet. Pada zaman internet ini berbagai sumber informasi, akses pengetahuan, dan rujukan generasi saat ini jauh lebih luas dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Mesin bernama Google menjadi alat pencari paling cepat ke sumber informasi dari seluruh dunia. Demikian berbagai platform media sosial lain seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah membuat komunikasi antarmasyarakat menjadi tak berjarak. Sesuatu yang tentu tidak pernah terbayangkan pada abad ke-20. Karena itu, metode sejarah harus mampu menyesuaikan dengan kondisi era digital dan new media.
Kebijakan Negara
Bila dalam sejarah resmi pada era sebelumnya pendidikan sejarah di sekolah dijadikan alat legitimasi kekuasaan, visi pendidikan sejarah sekarang harus mampu mewariskan nilai-nilai kebinekaan, pluralisme, kemanusiaan, solidaritas, perdamaian, kemandirian, dan persatuan bangsa. Pelajaran sejarah memainkan peran didaktif kepada anak bangsa agar nilai-nilai sejarah bangsa dapat diwariskan kepada generasi muda sekarang sesuai dengan zamannya.
Dengan model seperti itu, sejarah tidak lagi diajarkan secara hitam-putih dan penuh hafalan yang membosankan, tapi menggali lebih substantif nilai-nilai yang ada dalam setiap jejak peristiwa masa lalu.
Pelajaran sejarah juga harus mengadopsi dan mengangkat sejarah di tingkat lokal, sejarah daerah pinggiran, dan teritori terluar dari Indonesia. Harus diakui ada kesan selama ini sejarah ditulis dengan “pendekatan nasional yang sentralistis,” dan terkesan “Jawa-sentris”.
Dengan demikian, sejarah lokal perlu diberi peran penting dalam pewarisan nilai-nilai sejarah sebab sejarah lokal dianggap lebih dekat secara sosial dan kultural dengan sebuah masyarakat.
Saudara-saudara kita di Indonesia timur yang merasa dimarginalkan selama ini dapat dirangkul kembali dengan mengangkat sejarah dan pahlawan lokal mereka dalam penulisan sejarah nasional. Pencantuman gambar pahlawan dari berbagai daerah dalam uang kertas baru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia beberapa waktu lalu bisa menjadi contoh dalam upaya ini.
Museum dan monumen sejarah juga dapat dijadikan alat pendidikan sejarah populer kepada masyarakat. Di negeri yang sudah maju, museum dan monumen menjadi alat pendidikan sejarah yang efektif kepada generasi muda. Tidak pernah ada ceritanya di negara maju museum sepi dari pengunjung, terutama dari kalangan pelajar.
Sebaliknya, di Indonesia museum masih seperti kuburan, sepi dan tidak dianggap sebagai bagian dari pendidikan publik mengenal sejarah. Namun, kini Dirjen Kebudayaan Kemendikbud sedang menyusun strategi baru untuk mengintegrasikan museum dengan kegiatan ekstrakurikuler dan pelajaran sejarah di sekolah agar murid dapat melihat langsung warisan sejarah yang tersimpan di berbagai museum. Langkah ini perlu didukung semua pihak sehingga bangsa ini tidak melupakan pesan pendiri bangsa—Jasmerah.
Selanjutnya fasilitas pendukung untuk penulisan dan penelitian sejarah perlu dikelola dengan baik. Diharapkan, di tingkat nasional proses digitalisasi perpustakaan dan arsip nasional dapat dilanjutkan sehingga mudah untuk diakses.
Dalam rangka itu, sebuah katalog online perlu terus dilengkapi dan diperbaharui karena dengan cara itu penulisan dan pembelajaran sejarah menjadi lebih mudah.
Dengan langkah dan kebijakan strategis ini, pemerintah menempatkan sejarah sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa sehingga sejarah tidak sekadar pengetahuan tentang masa lalu yang diwariskan, tapi lebih penting lagi dapat menjadi alat pembelajaran bangsa untuk melangkah ke depan, menuju Indonesia yang lebih baik.
Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden
PRESIDEN RI Pertama Soekarno sebagai bapak bangsa adalah pemimpin yang selalu melihat sejarah bukan masa lalu belaka. Bagi Soekarno, sejarah juga akan menentukan arah bangsa ke depan.
Dalam pidatonya, “Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)”, Soekarno mengingatkan bahwa Indonesia sedang melewati periode genting dalam sejarah yang menentukan arah masa depan bangsa. Soekarno pun menyerukan persatuan bangsanya menghadapi segala macam ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.
Pidato Soekarno tersebut mengingatkan bahwa persoalan sejarah bukanlah sekadar masa lalu. Sejarah bisa menjadi medan pembentukan mental dan karakter bangsa.
Mental bangsa yang hendak dibangun Soekarno tercermin dalam konsep Trisakti yaitu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkarakter dalam budaya.
Tiga landasan pembangunan bangsa ini hilang selama kekuasaan Orde Baru dan kembali bergema ketika Presiden Jokowi menyatakan bahwa pemerintahannya berlandaskan pada Pancasila dan Trisakti Soekarno.
Dengan Trisakti, Presiden Jokowi mengambil unsur positif dari sejarah masa lalu untuk menjawab tantangan zaman. Inilah visi sebuah pemerintahan yang “menyejarah”, bukan “memperalat sejarah”. Namun, harus dipahami bahwa penulisan sejarah tidaklah bebas dari ruang dan waktu.
Penulisan dan metode sejarah selalu terikat dengan semangat zaman (zeitgeist). Karena itu, dalam historiografi Indonesia menurut sejarawan Kuntowijoyo terdapat tiga tahap perkembangan (Asvi Warman, 2004).
Pertama, gelombang dekolonisasi sejarah, sebuah tuntutan bangsa yang baru merdeka agar juga berdaulat dalam sejarahnya. Tema ini menjadi sentral dalam Seminar Sejarah Nasional I pada 1957 di Yogyakarta. Para sejarawan yang diliputi semangat nasionalis menghendaki perubahan pendekatan sejarah dari “Belanda-sentris” menjadi “Indonesia-sentris”.
Kedua, penggunaan ilmu-ilmu sosial dalam penulisan sejarah pada Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta pada 1970. Ketiga, periode reformasi sejarah pasca-Orde Baru, di mana penulisan sejarah Orde Baru ditinjau kembali dalam rangka pelurusan sejarah. Seperti para korban Orde Baru mulai menulis sejarahnya sendiri sebagai alternatif dari versi sejarah resmi negara.
Revolusi Mental
Saat ini pendekatan historiografi telah menggabungkan unsur nasionalis, pendekatan sosial, dan pendekatan kritis terhadap sejarah. Dari tiga pengalaman sejarah yang membentuk historigrafi nasional tersebut, pemerintahan Jokowi-JK mempunyai komitmen menjadikan sejarah sebagai bagian dari revolusi mental.
Dengan demikian, revolusi mental bukanlah sesuatu yang turun dari langit, melainkan berbasis pada pengalaman sejarah bangsa Indonesia sendiri. Dalam tulisannya tentang “Revolusi Mental”, saat menjadi calon presiden, Jokowi menjelaskan semua persoalan ekonomi, politik, dan budaya yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah warisan sejarah masa lalu.
Dengan memahami sejarah, bangsa Indonesia dapat mendiagnosis dengan tepat untuk mengobatinya, menuju Indonesia yang lebih baik dengan jalan revolusi mental.
Revolusi mental tidak hanya melakukan pergantian manusia dan restrukturisasi kelembagaan, tapi harus menyentuh mindset yang mengarah pada pembangunan bangsa atau “nation building”.
Dalam rangka ini pemerintah saat ini memilih pendekatan “Indonesia-sentris”, bukan “Jawa-sentris” lagi dalam kebijakan pembangunan. Tujuannya untuk mempercepat kesejahteraan di wilayah-wilayah timur dan daerah-daerah terluar Indonesia yang kini mulai terasa manfaatnya.
Mengarusutamakan pendekatan sejarah sebagai bagian dari revolusi mental kepada masyarakat harus disesuaikan dengan situasi zaman dan generasi baru yang hidup pada era globalisasi yang telah disatukan oleh internet. Pada zaman internet ini berbagai sumber informasi, akses pengetahuan, dan rujukan generasi saat ini jauh lebih luas dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Mesin bernama Google menjadi alat pencari paling cepat ke sumber informasi dari seluruh dunia. Demikian berbagai platform media sosial lain seperti Facebook, Twitter, dan Instagram telah membuat komunikasi antarmasyarakat menjadi tak berjarak. Sesuatu yang tentu tidak pernah terbayangkan pada abad ke-20. Karena itu, metode sejarah harus mampu menyesuaikan dengan kondisi era digital dan new media.
Kebijakan Negara
Bila dalam sejarah resmi pada era sebelumnya pendidikan sejarah di sekolah dijadikan alat legitimasi kekuasaan, visi pendidikan sejarah sekarang harus mampu mewariskan nilai-nilai kebinekaan, pluralisme, kemanusiaan, solidaritas, perdamaian, kemandirian, dan persatuan bangsa. Pelajaran sejarah memainkan peran didaktif kepada anak bangsa agar nilai-nilai sejarah bangsa dapat diwariskan kepada generasi muda sekarang sesuai dengan zamannya.
Dengan model seperti itu, sejarah tidak lagi diajarkan secara hitam-putih dan penuh hafalan yang membosankan, tapi menggali lebih substantif nilai-nilai yang ada dalam setiap jejak peristiwa masa lalu.
Pelajaran sejarah juga harus mengadopsi dan mengangkat sejarah di tingkat lokal, sejarah daerah pinggiran, dan teritori terluar dari Indonesia. Harus diakui ada kesan selama ini sejarah ditulis dengan “pendekatan nasional yang sentralistis,” dan terkesan “Jawa-sentris”.
Dengan demikian, sejarah lokal perlu diberi peran penting dalam pewarisan nilai-nilai sejarah sebab sejarah lokal dianggap lebih dekat secara sosial dan kultural dengan sebuah masyarakat.
Saudara-saudara kita di Indonesia timur yang merasa dimarginalkan selama ini dapat dirangkul kembali dengan mengangkat sejarah dan pahlawan lokal mereka dalam penulisan sejarah nasional. Pencantuman gambar pahlawan dari berbagai daerah dalam uang kertas baru yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia beberapa waktu lalu bisa menjadi contoh dalam upaya ini.
Museum dan monumen sejarah juga dapat dijadikan alat pendidikan sejarah populer kepada masyarakat. Di negeri yang sudah maju, museum dan monumen menjadi alat pendidikan sejarah yang efektif kepada generasi muda. Tidak pernah ada ceritanya di negara maju museum sepi dari pengunjung, terutama dari kalangan pelajar.
Sebaliknya, di Indonesia museum masih seperti kuburan, sepi dan tidak dianggap sebagai bagian dari pendidikan publik mengenal sejarah. Namun, kini Dirjen Kebudayaan Kemendikbud sedang menyusun strategi baru untuk mengintegrasikan museum dengan kegiatan ekstrakurikuler dan pelajaran sejarah di sekolah agar murid dapat melihat langsung warisan sejarah yang tersimpan di berbagai museum. Langkah ini perlu didukung semua pihak sehingga bangsa ini tidak melupakan pesan pendiri bangsa—Jasmerah.
Selanjutnya fasilitas pendukung untuk penulisan dan penelitian sejarah perlu dikelola dengan baik. Diharapkan, di tingkat nasional proses digitalisasi perpustakaan dan arsip nasional dapat dilanjutkan sehingga mudah untuk diakses.
Dalam rangka itu, sebuah katalog online perlu terus dilengkapi dan diperbaharui karena dengan cara itu penulisan dan pembelajaran sejarah menjadi lebih mudah.
Dengan langkah dan kebijakan strategis ini, pemerintah menempatkan sejarah sebagai bagian dari pembentukan karakter bangsa sehingga sejarah tidak sekadar pengetahuan tentang masa lalu yang diwariskan, tapi lebih penting lagi dapat menjadi alat pembelajaran bangsa untuk melangkah ke depan, menuju Indonesia yang lebih baik.
(poe)